Zea dan Aira adalah dua gadis yang sejak kecil tak pernah terpisahkan. Dari bangku taman kanak-kanak hingga kini mereka duduk di kelas sebelas, semua orang mengenal mereka sebagai "dua bayangan yang selalu berjalan bersama".
Mereka sering menghabiskan sore di taman kota, bercengkerama sambil menikmati es krim. Zea, yang selalu ceria dan penuh semangat, kerap bercanda, sedangkan Aira lebih pendiam namun pandai mendengarkan. Perbedaan itu justru membuat persahabatan mereka terasa lengkap.
"Zea, kalau suatu hari aku nggak bisa nemenin kamu lagi, kamu bakal gimana?" tanya Aira tiba-tiba pada suatu sore.
Zea tertawa kecil. "Apaan sih, Ra? Jangan ngomong aneh-aneh. Kamu pikir aku bisa hidup tanpa kamu?"
Aira hanya tersenyum samar, menunduk, menyembunyikan sesuatu di matanya.
Hari-hari berlalu. Zea mulai memperhatikan perubahan sahabatnya. Aira sering terlihat pucat, cepat lelah, dan kadang menghilang tanpa kabar. Namun setiap kali ditanya, Aira hanya menjawab singkat, "Aku cuma kecapekan."
Sampai akhirnya, suatu pagi, kabar itu datang. Aira dilarikan ke rumah sakit. Zea berlari dengan napas tersengal, menembus lorong putih yang dingin. Ia menemukan Aira terbaring lemah dengan selang infus menempel di tangannya.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku?" suara Zea bergetar, menahan tangis.
Aira tersenyum tipis, "Aku nggak mau kamu khawatir. Aku pengin kamu tetap bahagia, tanpa beban mikirin aku."
Air mata Zea jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tapi aku sahabat kamu, Ra. Seharusnya aku tahu segalanya."
"Justru karena kamu sahabatku… aku nggak sanggup lihat kamu sedih," jawab Aira lirih.
Beberapa hari kemudian, kabar duka itu datang. Aira pergi selamanya, meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi siapa pun.
Di taman kota, tempat biasa mereka bertemu, Zea duduk sendirian dengan sebungkus es krim yang meleleh di tangannya. Angin sore berhembus lembut, seolah membisikkan suara sahabatnya.
"Aku janji, Ra… aku nggak akan pernah lupa sama kamu," ucap Zea dengan mata berkaca-kaca.
Sejak saat itu, setiap kali Zea merasa sendiri, ia akan datang ke taman kota, duduk di bangku yang sama, sambil memandang langit. Karena di sana, di antara hembusan angin dan cahaya senja, Zea merasa Aira masih menemaninya—walau hanya dalam kenangan.