Namanya Queena Aaradhya.
Ia menyukai senja, tapi lebih sering berteman dengan hujan. Katanya, hujan punya cara
sendiri untuk meredam suara patah hati yang terlalu gaduh dalam dada. Tak ada yang tahu
betapa sesaknya kepergian seseorang sampai mereka duduk diam di balik jendela, melihat
dunia tetap berjalan sementara hatinya tak bergerak ke mana-mana.
Hari itu, hujan datang begitu tiba-tiba. Tanpa awan yang cukup gelap untuk memberi
peringatan, tanpa angin yang biasanya membisikkan isyarat. Aline berdiri di depan jendela
kamarnya, memeluk secangkir teh yang sudah kehilangan hangat.
Ponselnya diam. Sudah beberapa hari terakhir begitu. Tak ada pesan, tak ada panggilan
dari Khail—mantan kekasihnya. Khail benar-benar ingin menutup semua akses komunikasi
dari hidup Queena.
Bukan hanya dari hidupnya, tapi dari semua kemungkinan yang dulu mereka rancang
bersama. Janji-janji kecil di sela obrolan malam, tawa yang mereka bagi saat dunia terasa
berat, semuanya kini menguap bersama rintik yang memukul kaca jendela dengan pelan.
"Datang terlalu cepat, lalu pergi tanpa pamit... Bukankah itu tak sopan?" gumam Aline,
matanya buram menatap hujan.
Tapi dia tahu, hidup tak bekerja seperti dongeng. Orang datang, orang pergi. Terkadang
tanpa alasan yang bisa dimengerti.
Pelan-pelan, Aline mulai belajar. Bahwa kehilangan bukan akhir, hanya tanda bahwa
seseorang pernah benar-benar berarti. Ia mencoba menerima, seperti daun yang luruh
karena musim berganti, bukan karena ia lemah. Seperti langit yang merelakan hujan, bukan
karena tak mencintainya.
Ia menyalakan radio lama di sudut kamar. Lagu lawas mengalun—tentang perpisahan,
tentang kenangan, tentang melepaskan. Suara penyanyinya serak, seperti suara hatinya
sendiri.
Aline berjalan keluar, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Anak-anak kecil
berlarian di gang kecil, tertawa dan menendang genangan.
Hujan bisa berarti banyak hal untuk banyak orang.
Bagi Aline, hari itu, hujan adalah surat. Surat yang ingin ia titipkan untuk Rey.
Tolong sampaikan padanya,
bahwa aku baik-baik saja.
Bahwa aku sudah belajar menerima.
Bahwa meskipun perpisahan ini berat,
aku tidak akan lagi menoleh ke belakang dengan sesal.
Karena, seperti hujan,
kehilangan pun bisa jadi hal yang mendewasakan,
bukan melukai.
Aline menutup mata, membiarkan hujan meresap. Dalam hati, ia tersenyum. Mungkin ini
bukan akhir yang ia harapkan, tapi ini awal yang ia butuhkan.
“Kakak! Ayo main hujan bareng Ana.” ajak gadis kecil yang tengah menghampiri Queena.
Queena tersenyum getir. “Kakak mau disini aja, sayang.”
Teman gadis kecil itu ikut menghampiri kearahnya. “Kak Queen, pasti lagi patah hati ya,
kak?”
“Anak kecil, sok tahu banget sih.” ungkap Queen dengan tangan yang mencubit pelan pipi
tembem gadis kecil dihadapannya.
“Kak Queen jangan galau dong, masa kayak gitu doang galau sih? Mending main hujan
sama kita, pasti langsung senyum.”
“Kak Queen nggak galau,”
“Kak, kenapa hujan turun tanpa diminta?” jawab anak lelaki diseberang sana yang sedang
melihat mereka.
“Menurut, Rey. Gimana?”
Anak lelaki itu tampak sedang berpikir. “Menurut, Rey. Hujan itu kayak manusia yang
tiba-tiba datang tanpa diminta, namun pergi meninggalkan jejak yang begitu dalam. Tapi ya
kak, pasti lama-lama jejaknya mengering karena sinar matahari.”
Queen tertegun sejenak, ia berusaha mencerna perkataan lelaki yang berusia sembilan
tahun itu. Setelahnya, ia tersenyum manis menatap langit yang sedang menangis.
“Kak Queen, ayoo! Kan nggak semua hujan seperti yang Kak Rey bilang.”
Tubuh Queen terbawa oleh anak-anak yang menariknya untuk menari ditengah hujan.
Queen hanya bisa tersenyum dan mengikuti alunan musik yang terdengar dari seberang
sana, karena pada dasarnya perpisahan yang begitu tiba-tiba hanya membawa kita ketitik
yang terendah.