"Hanya Untukmu, Inan"
Malam di kota itu turun perlahan. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk garis cahaya yang menemani orang-orang yang pulang. Sky menyalakan mesin mobilnya, menunggu seseorang di lobi sebuah gedung kafe yang baru saja merayakan acara ulang tahun temannya. Orang itu adalah Inan.
Inan keluar dengan langkah pelan, gaunnya sederhana tapi memantulkan keanggunan yang tak bisa ditawar. Sky sempat menghela napas panjang. Meski sudah lama mengenalnya, ada sesuatu dari Inan yang selalu membuat hatinya berdebar—seolah mereka baru saja bertemu kemarin.
“Lama ya nunggu?” tanya Inan sambil membuka pintu penumpang.
“Enggak, aku baru aja nyampe,” jawab Sky dengan senyum kecil. Padahal sudah dua puluh menit dia menunggu, tapi ia tidak pernah merasa menunggu Inan sebagai beban.
Mobil melaju pelan menembus keramaian. Hening sempat mengisi ruang kabin, hanya suara radio yang samar. Sky melirik Inan sekilas. Gadis itu menatap keluar jendela, tangannya memainkan pita kecil di tasnya. Ada sesuatu di wajah Inan malam itu, seakan pikirannya tidak benar-benar berada di sini.
“Kamu capek?” Sky akhirnya bertanya.
Inan menggeleng pelan. “Bukan capek. Cuma… banyak mikir.”
Tentang apa? Sky ingin bertanya, tapi menahan diri. Ia tahu Inan butuh waktu untuk membuka diri. Sejak awal mereka dekat, Sky sadar Inan bukan tipe gadis yang mudah bercerita. Namun, justru itu yang membuat Sky semakin ingin ada di sisinya—untuk jadi tempat pulang, tempat ia bisa merasa aman.
---
Mobil berhenti di taman kota. Langit malam cerah, bintang-bintang jarang muncul tapi udara segar cukup membuat hati lebih ringan.
“Kenapa di sini?” tanya Inan.
Sky mengangkat bahu. “Aku tahu kamu suka tempat sepi. Lagipula, aku juga pengen ngobrol sama kamu. Boleh?”
Inan tersenyum tipis. “Boleh, kok.”
Mereka duduk di bangku panjang dekat danau buatan. Air berkilau terkena pantulan lampu. Sesekali angin membawa aroma tanah basah, menenangkan.
Sky menatap Inan dengan serius. “Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Kalau kamu mau cerita, aku janji aku dengerin. Tapi kalau kamu belum siap, aku juga nggak akan maksa.”
Inan menarik napas panjang, menatap permukaan danau. “Aku cuma… takut.”
“Takut apa?”
“Takut kalau perasaan aku terlalu besar, tapi akhirnya bikin aku sakit sendiri.”
Sky menahan diri untuk tidak langsung menggenggam tangannya. Ia ingin memberi ruang. “Kalau perasaan itu buat aku?” tanyanya hati-hati.
Inan menoleh pelan. Mata mereka bertemu. Ada ragu, ada kehangatan, ada juga luka lama yang tak sepenuhnya hilang.
“Sky… aku nggak pernah seserius ini sama orang lain sebelumnya. Kamu baik, perhatian, selalu ada. Tapi aku juga tahu… semua itu bisa hilang kapan aja. Aku takut kalau suatu hari kamu pergi, aku nggak akan sanggup.”
Sky akhirnya menarik tangan Inan, lembut tapi pasti. “Dengar, Inan. Aku nggak pernah main-main sama kamu. Kalau aku ada di sini, kalau aku milih tetap ada di sebelah kamu… itu karena aku memang mau. Aku nggak janji dunia bakal selalu baik, tapi aku janji satu hal: aku nggak akan ninggalin kamu.”
Inan terdiam. Matanya memanas, tapi ia menunduk, menahan air mata. Sky meremas jemarinya pelan.
“Kalau kamu jatuh, biar aku yang tangkap. Kalau kamu takut, biar aku yang jadi tenang. Jangan pikir kamu sendirian lagi.”
Butuh beberapa detik sebelum Inan berani menatap lagi. Dan saat ia melihat ketulusan itu di mata Sky, sebagian ketakutannya luluh.
“Kenapa kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan?” bisiknya.
Sky tersenyum kecil. “Karena aku selalu perhatiin kamu. Bahkan waktu kamu nggak sadar.”
Hening kembali, tapi bukan hening yang canggung. Itu adalah hening yang hangat—seperti pelukan tanpa sentuhan.
Waktu berjalan, hubungan mereka semakin erat. Sky sering menjemput Inan pulang kerja, atau sekadar menemani makan malam sederhana di warung dekat kantor. Tidak ada yang mewah, tapi justru di situlah mereka menemukan kebahagiaan.
Suatu sore, Inan terjebak hujan di halte. Sky datang dengan jas hujan yang sudah basah kuyup.
“Kamu gila, kenapa hujan-hujanan?” seru Inan, menahan tawa sekaligus khawatir.
“Biar bisa jemput kamu. Masa aku biarin kamu nunggu sendirian?” jawab Sky enteng.
Inan akhirnya ikut basah karena Sky menyerahkan jas hujannya. Mereka berlari menuju mobil, tertawa di bawah derasnya hujan. Dan saat itu, Inan merasakan sesuatu yang kuat di dadanya: rasa aman, rasa pulang.
Namun, cinta tidak selalu mulus.
Suatu malam, Inan mendapat tawaran kerja di luar kota. Kesempatan besar, tapi juga berarti ia harus meninggalkan Sky untuk waktu yang lama. Ia gelisah, ragu apakah harus menerima atau tidak.
Sky tahu kabar itu dari mulut Inan sendiri. Mereka duduk di kafe kecil, kopi di depan mereka sudah dingin karena terlalu lama didiamkan.
“Kamu harus ambil kesempatan itu,” kata Sky akhirnya.
Inan menatapnya tak percaya. “Kamu nggak marah? Nggak kecewa?”
“Tentu aja aku kecewa. Tapi kalau itu yang terbaik buat masa depan kamu, aku nggak punya hak buat nahan. Cinta itu bukan soal ngiket, Nan. Tapi soal ngebebasin orang yang kita sayang, biar dia bisa tumbuh.”
Air mata Inan akhirnya jatuh. “Tapi aku takut kehilangan kamu.”
Sky tersenyum, menghapus air matanya dengan ibu jari. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Jarak nggak bisa bikin aku berhenti sayang sama kamu.”
---
Hari keberangkatan tiba. Bandara penuh dengan suara pengumuman dan langkah kaki tergesa. Inan menggenggam tiket dengan tangan gemetar. Sky ada di sisinya, menenteng koper.
“Inan,” panggil Sky pelan.
Inan menoleh.
“Aku cuma mau bilang satu hal sebelum kamu pergi. Kamu boleh sejauh apapun, tapi hati aku cuma buat kamu. Jadi jangan pernah ragu sama aku, ya.”
Inan mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku janji nggak akan ragu lagi.”
Mereka berpelukan lama, seolah enggan melepas. Dan ketika akhirnya Inan harus melangkah masuk ke ruang keberangkatan, Sky berdiri di sana, melambaikan tangan sambil menyembunyikan perasaan kosong di dadanya.
---
Bulan berganti. Mereka berhubungan lewat telepon, video call, dan pesan singkat. Jarak bukan hal mudah, tapi keduanya berusaha. Sky tetap setia menunggu, dan Inan semakin yakin: cinta yang tulus memang tidak pernah hilang.
Suatu malam, Inan mengirim pesan.
📩 “Aku rindu.”
Sky membalas cepat.
📩 “Aku lebih.”
Inan tersenyum di balik layar. Ia tahu, sejauh apapun jarak, ada satu hal yang tidak bisa dipisahkan: hati yang saling memilih.
---
Beberapa bulan kemudian, Inan kembali ke kota. Sky menjemputnya di bandara. Kali ini, Inan tidak lagi menyembunyikan perasaan. Ia berlari kecil, menabrak pelukan Sky.
“Sky…”
“Ya?”
“Jangan pergi kemana-mana lagi, ya. Aku nggak mau jauh dari kamu.”
Sky mengusap rambutnya lembut. “Aku juga nggak pernah niat pergi. Aku selalu di sini, nunggu kamu pulang.”
Dan di tengah hiruk pikuk bandara, mereka berciuman untuk pertama kalinya. Bukan ciuman yang terburu-buru, tapi ciuman yang penuh janji: janji untuk tetap ada, janji untuk tetap memilih, janji untuk selalu mencintai.
---
Hari-hari berikutnya mereka jalani dengan lebih ringan. Tidak ada lagi ragu. Inan belajar percaya, Sky belajar sabar. Dan cinta yang mereka bangun tumbuh—bukan dari janji manis, tapi dari keberanian untuk tetap bertahan.
Karena pada akhirnya, cinta bukan hanya tentang rasa. Cinta adalah tentang keberanian untuk memilih satu orang, setiap hari, tanpa pernah berhenti.
Dan Sky sudah tahu, pilihannya akan selalu sama.
“Hanya kamu, Inan.”