Malam telah larut, Arini masih terpekur dalam do’a panjangnya. Air mata tampak menganak sungai dipipinya. Entah apa yang dia minta pada Tuhan hingga begitu khusuknya dia berdo’a. dua tahun ini seperti mimpi buruk baginya. Mimpi buruk yang tak tahu ujungnya. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding kamarnya. Tak berapa lama kemudian dia tertidur. Mungkin dia lelah menangis.
“Rin, bangun sayang, waktunya solat subuh.” Sebuah suara lembut yang sudah sangat dikenalnya itu membangunkannya dari tidur. Dilihtnya senyum manis mamanya yang begitu dia rindukan tampak didepannya. Entah kenapa dia merasa asing dengan keadaan ini. Dia mengusap-usap matanya kemudian bangun dengan malas.
“Ayo buruan ambil air wudlu sudah ditunggu papa dimushola.” Tanpa menunggu jawabannya, sang mama sudah beranjak dari kamarnya. Dia segera bangun kemudian mengambil air wudlu kemudian berjalan kemushola. Dalam diamnya dia masih cukup bingung. “kenapa ini terasa begitu asing? Rasanya aku sudah lama sekali tidak mengalami keadaan seperti ini. Apa yang aneh? Apa yang tidak normal?” bisiknya dalam hati.
Seusai sholat dia kembali kerumah bersama mama papanya. Seperti biasa papa kembali melanjutkan tidurnya sambil nunggu jam berangkat kerja. Sedang Arini mengkuti mamanya kedapur untuk membantu memasak. Sesekali dia memandangi mamanya. Entah kenapa dia merasa aneh dengan keberadaan mamanya. “kenapa to Rin, dari tadi bengong aja, buruan dipotongin itu sayurannya keburu siang”. Ucapan mamanya membuatnya tersentak kaget.
“I… Iya ma” sahutnya terbata-bata. “sudahlah mungkin Cuma perasaanku aja yang aneh” dia berucap pada diinya sendiri. Dia mulai berkonsentrasi pada pekerjaannya sambil berusaha tak terlalu memikirkan hal-hal yang tdak masuk akal.
Setelah semua selesai, Arini pergi mandi kemuadian sarapan bersama keluarganya baru kemudian dia pergi ke kampus. Sepanjang hari dia terus kepikiran tentang mamanya bahkan kuliah pun dia tak bisa konsentrasi. “tunggu, tunggu”. Seperti mendapat angin segar dia kemudian bangkit dari duduknya. “Sa, izinin aku ya, aku gak bisa ikut kuliahnya pak Rofiqi.” Ucapnya pada Sasa, sahabatnya. Tanpa banyak kata dia mulai mengemas barang-barangnya.
“kenapa Rin?” Tanya Sasa yang bingung melihat tingkah aneh sahabatnya ini. Tak biasanya dia gak masuk kuliah.
“Bilang aja aku sakit.” Tanpa memperdulikan sahabatnya yang masih bengong saking bingung dengan tngkahnya, dia menyandang tasnya dan berlalu meninggalkan ruang kelas yang hanya tinggal menunggu dosen datang saja.
Tak perlu waktu lama buat Arini sampai dirumah, karna jarak rumahnya kekampus hanya butuh waktu 15 menit dengan mengendarai motor. Sesampai di rumah dia memarkirkan motornya sembarangan saja. Dia kemudian masuk kedalam rumahnya. “mama, mama” teriaknya sambil mencari-cari mamanya.
Mamanya menghampirinya dengan tergopoh-gopoh karna kaget. “ada apa Rin? Kok sudah pulang gak ada dosennya?”. Tanya mamanya.
“Mama, berarti tadi malem Arini Cuma mimpi.” Ucapannya membuat mamanya bingung.
“mimpi apa Rin.”
“Rini mimpi mama pergi ma, mama pergi gak pernah kembali. Rini mimpi lama sekali ma, sampai Rini kira itu nyata, makanya dari tadi Rini agak bingung. Syukurlah mama ada disini.” Arini berkata dengan berapi-api kemudian memeluk mamanya.
“Mama kan memang baru pulang kemarin malam sayang. Kamu lupa ya?” Tanya mamanya sambil tersenyum dan balas memeluk putrid semata wayangnya itu. Arini tak menjawab, dia semakin erat memeluk mamanya, takut mamanya menghilang.
ÑÑÑ
“Allahuakbar, Allaaaahuakbar”. Suara azan membangunkan Arini dari tidurnya. Dia bingung mendapati dirinya tertidur ditempatnya sholat. Hari masih gelap. Mimpi yang panjang nan indah, namun mengecewakan. “mama, mama beneran udah gak ada, aku mimpi begini lagi”. Air matanya mengalir deras. Antara bersyukur dipertemukan dengan mamanya yang sudah 2 tahun ini berpulang kerahmatullah, namun juga kekecewaan bahwa, lagi-lagi Cuma mimpi mamanya gak pernah pulang, mamanya benar-benar pergi dan tak kan pernah kembali lagi, tak pernah bisa ditemuinya lagi secara nyata.
Dia pergi kekamar mandi dan mengambil air wudlu kemudian mulai menunaikan ibadah wajibnya. Setelah salam dia sujud kembali tak lama kemudian bangun dan menengadahkan tangannya. “Ya Allah, ampunilah dosaku, dosa orang tuaku, dosa guru-guruku dan dosa seluruh umat muslim didunia ini. Khusus untuk ibuku ampuni dosanya semasa hidupnya ya Allah, jangan siksa beliau di dalam kuburnya, jangan biarkan beliau bersedih disana, Ya Allah masukkan beliau kedalam golongan orang-orang yang engkau ridloi, dan masukkan beliau kedalam syurgamu ya Allah. Jangan Kau siksa beliu karna kesalahanku ya Allah, karna aku tahu aku terlalu banyak dosa, dan sering kali dosa itu kuperbuat dengan sadar bahwa itu laranganmu. Aku seperti ini bukan karna orang tuaku yang salah mendidikku, mereka sudah mendidikku dengan lebih dari cukup tentang kebaikan, tentang agama. Bukan salah mereka ya Allah, Engkau maha tahu atas segala sesuatu. Engkaupun tahu itu murni kesalahanku, itu dosaku, bukan lantaran orang tuaku yang salah mendidikku ya Allah. Ya Allah hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya pada-Mu aku mengadu. Ampunilah kedua orang tuaku ya Allah. Amin. Istajib du’a’ana ya Allah, Al-fatikhah”. Selesai membaca Al-fatikhah dia mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah baru kemudian dia melipat mukena dan meninggalkan tempatnya bersujud.