📖 Jejak di Balik Senja
Daftar Isi
1. Bab 1 – Langkah di Senja Hari
2. Bab 2 – Gadis di Bangku Seberang
3. Bab 3 – Percakapan Pertama
4. Bab 4 – Nama yang Tersimpan
5. Bab 5 – Luka Lama
6. Bab 6 – Rahasia di Balik Tatapan
7. Bab 7 – Senja yang Berbeda
8. Bab 8 – Pertemuan yang Tertunda
9. Bab 9 – Jejak yang Hilang
10. Bab 10 – Saat Semua Terungkap
11. Bab 11 – Keputusan
12. Bab 12 – Jejak yang Tersisa
Sinopsis
Raka, seorang mahasiswa yang gemar menulis di taman kota, selalu menemukan ketenangan dalam senja. Suatu hari ia bertemu seorang gadis misterius bernama Aksara. Pertemuan yang awalnya sederhana berubah menjadi rangkaian cerita penuh rahasia, luka masa lalu, dan pertanyaan tentang makna hidup.
Aksara menyimpan beban berat dari keluarganya yang hancur, sementara Raka sendiri sedang mencari arah hidupnya. Dalam percakapan-percakapan singkat di bawah langit jingga, keduanya perlahan saling membuka diri. Namun, ketika kebenaran tentang Aksara terungkap, Raka harus belajar menerima kehilangan.
“Jejak di Balik Senja” bukan sekadar kisah pertemuan dan perpisahan, melainkan perjalanan tentang keberanian menghadapi luka, menerima kenyataan, dan menemukan makna baru di balik setiap senja yang datang.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 1 – Langkah di Senja Hari
Langit sore itu seperti kanvas raksasa. Warna oranye merembes dari ufuk barat, perlahan bercampur dengan semburat ungu yang lembut. Di taman kota yang mulai sepi, hanya terdengar kicau burung yang pulang ke sarang dan suara gesekan dedaunan yang tertiup angin.
Di salah satu bangku kayu yang catnya sudah mengelupas, duduk seorang pemuda dengan buku lusuh di pangkuannya. Namanya Raka. Mahasiswa tingkat akhir yang hidupnya lebih banyak dihabiskan bersama buku dan pikiran-pikiran sendiri ketimbang bersama keramaian.
Ia membalik halaman buku catatannya. Ada coretan puisi setengah jadi:
"Senja bukan sekadar perpisahan,
ia adalah janji bahwa esok selalu datang."
Raka menatap kalimat itu lama, lalu tersenyum tipis. Baginya, menulis adalah cara melawan sepi.
Namun sore itu, kesepiannya terasa berbeda.
Ada seseorang di bangku seberang. Seorang gadis. Rambut panjangnya tergerai ditiup angin, wajahnya menoleh ke langit, seakan sedang berbincang dengan sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk dengan tenang, tidak memainkan ponsel, tidak membaca buku—hanya diam, menatap langit.
Raka mengernyit. Jarang sekali ada orang yang bisa betah duduk lama hanya untuk memandangi senja. Apalagi di taman yang biasanya ramai anak-anak bermain atau pasangan muda bercengkerama.
Tanpa sadar, tatapan Raka sering mencuri pandang. Ada aura tenang sekaligus misterius dari gadis itu. Entah kenapa, kehadirannya membuat suasana senja jadi berbeda.
Raka mencoba mengalihkan perhatian ke bukunya, tapi pikiran tak bisa diam. Siapa dia? Kenapa sendirian? Kenapa rasanya aku pernah melihat wajah itu…
Angin bertiup sedikit lebih kencang. Daun kering jatuh di antara mereka. Gadis itu menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil. Senyum itu sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya—seperti senyum seseorang yang menyimpan banyak cerita.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Raka merasa ingin membuka percakapan dengan orang asing. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap pena di tangannya, mengetuk-ngetuk buku, seakan mencari alasan.
“Indah ya, langit sore ini…” suara itu tiba-tiba terdengar.
Raka kaget. Gadis itu menoleh padanya, senyumnya ramah tapi tatapannya dalam, seolah menembus.
“I… iya, indah sekali,” jawab Raka gugup.
Gadis itu tertawa kecil, lalu kembali menatap langit. “Senja selalu mengingatkan kita bahwa semua ada akhirnya. Tapi… akhir itu nggak selalu buruk.”
Kalimat itu menancap dalam di kepala Raka. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi entah kenapa ada rasa takut—takut merusak momen, takut terdengar bodoh. Jadi ia hanya diam, pura-pura menulis sesuatu di bukunya.
Namun, di halaman kosong itu, tangannya malah menulis satu kata:
“Nayla.”
Ia sendiri tidak tahu kenapa nama itu muncul begitu saja.
🌇 Bab 1 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 2 – Pertemuan Pertama
Keesokan harinya, Raka kembali ke taman. Entah kebetulan atau memang takdir, ia duduk lagi di bangku tua yang sama, dengan buku catatan lusuh di pangkuannya. Senja belum sepenuhnya turun, tapi langit sudah mulai berubah warna.
Dalam hati, ia sebenarnya tidak yakin apakah gadis itu akan muncul lagi. Ia menatap sekeliling—taman sepi, hanya beberapa orang tua yang berjalan santai, dan seorang anak kecil yang bermain layang-layang.
Namun ketika matahari condong sedikit lebih rendah, sosok itu muncul.
Gadis berambut panjang itu berjalan pelan menuju bangku yang sama seperti kemarin. Gerakannya tenang, seakan ia bagian dari ritme sore. Raka terdiam, jantungnya berdegup lebih cepat.
Dia datang lagi.
Raka menunduk, berpura-pura sibuk menulis. Tapi matanya terus melirik. Kali ini, gadis itu mengenakan gaun sederhana warna biru muda. Cahaya senja memantul di wajahnya, membuatnya terlihat hampir tak nyata.
Beberapa menit berlalu tanpa kata. Hanya ada keheningan yang diwarnai suara burung dan gesekan dedaunan. Hingga akhirnya, gadis itu menoleh.
“Kamu suka nulis, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Raka kaget, hampir menjatuhkan penanya. Ia menoleh cepat, menatap gadis itu dengan wajah gugup.
“Eh… iya, cuma iseng nulis aja,” jawabnya pelan.
Gadis itu tersenyum tipis. “Iseng tapi serius. Dari cara kamu pegang pena, aku bisa lihat kalau nulis itu penting buat kamu.”
Raka terdiam. Ia merasa aneh, bagaimana bisa seseorang yang baru ditemuinya bisa bicara seolah mengenalnya.
“Kamu bisa tahu dari mana?” tanyanya ragu.
“Kadang orang yang sering menulis itu terlihat… berbeda. Matanya suka nyari sesuatu yang nggak semua orang lihat.” Ia lalu menatap langit yang mulai jingga. “Seperti langit ini. Orang-orang hanya lihat indahnya, tapi nggak semua bisa merasakan tenangnya.”
Kata-kata itu membuat Raka terpaku. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi ragu. Namun akhirnya, ia memberanikan diri.
“Kalau boleh tahu, namamu siapa?”
Gadis itu menoleh, tersenyum lagi. “Nayla.”
Raka tertegun. Kata itu sama persis dengan yang kemarin ia tulis tanpa sadar di bukunya. Dadanya terasa sesak.
“Na… Nayla?” suaranya hampir bergetar.
“Iya,” jawabnya ringan, seolah tidak ada yang aneh. “Namamu siapa?”
“Raka,” jawabnya cepat.
Nayla mengangguk pelan. “Nama yang bagus. Kuat tapi sederhana.”
Raka mencoba membalas dengan senyum, meski pikirannya penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin ia menulis nama itu kemarin, sebelum tahu siapa dia? Apakah ini kebetulan, atau sesuatu yang lebih?
Mereka kembali terdiam beberapa saat. Senja turun semakin pekat, menciptakan siluet di sekeliling taman. Angin sore bertiup, membawa aroma tanah dan dedaunan basah.
“Nayla,” Raka akhirnya bicara lagi, “kamu sering ke taman ini?”
Nayla menoleh sebentar, lalu menatap lurus ke langit. “Hanya saat senja.”
“Kenapa harus senja?” tanya Raka penasaran.
Nayla tersenyum samar. “Karena hanya di waktu inilah aku bisa merasa… ada.”
Jawaban itu membuat Raka terdiam. Ada sesuatu dalam kalimat itu—misterius, tapi juga menyedihkan. Namun sebelum ia bisa bertanya lagi, Nayla berdiri.
“Sudah malam, aku harus pergi.”
Raka buru-buru bangkit. “Tunggu! Bisa kita ketemu lagi besok?”
Nayla berhenti, menoleh sebentar. Matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara lembut, jauh, dan penuh rahasia.
“Kalau senja masih ada, mungkin kita akan bertemu lagi.”
Ia lalu melangkah pergi, meninggalkan Raka yang berdiri kaku di bawah langit jingga yang memudar.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa senja tidak hanya indah, tapi juga menyimpan misteri yang menuntunnya pada sesuatu yang belum ia mengerti.
🌇 Bab 2 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 3 – Catatan yang Hilang
Perpustakaan kampus selalu jadi tempat favorit Raka ketika pikirannya terlalu penuh. Ruangannya sunyi, bau kertas tua bercampur debu selalu memberinya ketenangan. Setelah pertemuan keduanya dengan Nayla kemarin sore, kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan.
Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa hanya muncul saat senja? Dan mengapa namanya sama persis dengan yang tiba-tiba ia tulis di bukunya?
Hari itu, Raka duduk di sudut perpustakaan dengan buku catatannya yang sudah penuh coretan. Ia mencoba menulis ulang momen pertemuannya dengan Nayla, tapi kalimat-kalimatnya terasa kaku. Setiap kata yang ia tulis seolah tidak mampu menangkap perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya.
Saat ia mulai kehilangan konsentrasi, matanya tertarik pada sebuah rak di pojok yang jarang disentuh mahasiswa lain. Rak itu berisi tumpukan buku tua yang sampulnya sudah pudar. Raka berdiri, menarik satu buku dengan kulit cokelat lusuh.
Tanpa judul di sampul, buku itu tampak seperti catatan pribadi. Ia membuka perlahan, dan benar saja—halaman pertamanya dipenuhi tulisan tangan. Raka duduk lagi, mulai membaca.
Isi buku itu bukan catatan akademik. Lebih mirip diary. Ada kalimat-kalimat puitis, ada coretan tentang langit, dan berulang kali kata “senja” muncul di sana.
Raka menelan ludah. Rasanya seperti membaca isi pikirannya sendiri.
Ia membalik beberapa halaman, sampai matanya membelalak. Di sana tertulis sebuah kalimat:
"Senja selalu jadi tempatku kembali. Kalau suatu hari aku hilang, carilah aku di antara langit jingga itu. – Nayla."
Jantung Raka berdetak keras. Ia menatap lekat tulisan itu, seolah memastikan ia tidak salah baca. Nama itu. Lagi-lagi nama itu.
Tangannya bergetar ketika menyentuh kertas yang sudah menguning. Rasanya dingin, padahal ruangan itu tidak ber-AC. Ia buru-buru menutup buku, menekannya ke dada, seakan takut ada sesuatu yang keluar dari dalamnya.
“Buku itu…” suara serak tiba-tiba terdengar.
Raka menoleh kaget. Dari balik rak, muncul seorang pria tua—Pak Surya, penjaga perpustakaan yang sudah puluhan tahun bekerja di kampus itu. Wajahnya keriput, matanya tajam tapi teduh.
“Itu bukan sembarang buku,” lanjutnya pelan. “Sudah lama tidak ada yang menyentuhnya.”
“Pak Surya?” Raka mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Ini… catatan siapa, Pak?”
Pak Surya menatap buku itu lama, lalu menghela napas berat. “Kau tidak akan percaya, Nak. Itu catatan seorang mahasiswi… bertahun-tahun lalu.”
“Siapa namanya?” suara Raka bergetar.
Pak Surya menatap langsung ke mata Raka. “Nayla.”
Tubuh Raka membeku. Kata itu menghantam kepalanya seperti palu. Buku yang sedang ia pegang terasa semakin berat, seakan menekan dadanya.
Sementara di luar jendela, matahari mulai turun perlahan. Senja mendekat, dan Raka tahu, pertemuan berikutnya dengan Nayla akan membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
🌇 Bab 3 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 4 – Rahasia Tersimpan
Raka berjalan cepat menuju taman kota. Buku catatan tua itu masih ada di dalam tasnya, seolah membakar punggungnya dengan beban rahasia. Kata-kata Pak Surya terus terngiang di kepalanya:
"Itu catatan seorang mahasiswi… bertahun-tahun lalu. Namanya Nayla."
Nama itu bukan sekadar kebetulan. Mustahil.
Ketika ia sampai di taman, senja sudah mulai turun. Cahaya jingga membalut pepohonan, menciptakan bayangan panjang di tanah. Bangku kayu tua di seberang tampak kosong. Raka menarik napas lega bercampur cemas. Mungkin hari ini Nayla tidak datang.
Namun seperti kemarin, sosok itu muncul. Nayla berjalan perlahan dari arah jalan setapak, rambutnya diterpa angin sore. Gaun putih sederhana yang ia kenakan berkibar pelan, seolah ia bagian dari senja itu sendiri.
Raka menelan ludah. Ia ingin lari, tapi kakinya menolak bergerak. Ia ingin bicara, tapi mulutnya terkunci.
Nayla tersenyum samar saat melihatnya. “Kamu datang lagi.”
Raka mengangguk kaku. “Iya… aku… aku memang sering di sini.”
Mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh jalan setapak kecil. Beberapa menit hanya terisi suara angin dan burung yang kembali ke sarang. Raka akhirnya membuka tas, mengeluarkan buku catatan tua itu.
“Nayla… aku menemukan ini di perpustakaan kampus,” ucapnya pelan. Ia membuka halaman yang berisi tulisan: ‘Kalau suatu hari aku hilang, carilah aku di antara langit jingga itu. – Nayla.’
Mata Nayla berubah. Dari teduh menjadi sendu. Ia menatap halaman itu lama, lalu menutup matanya sejenak.
“Itu milikku,” katanya lirih.
Raka membeku. “Milikmu? Tapi… itu catatan mahasiswi bertahun-tahun lalu. Bagaimana mungkin—”
Nayla mengangkat tangan, memberi isyarat agar Raka berhenti. “Tidak semua pertanyaan harus dijawab sekarang. Ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti… di waktu yang tepat.”
“Kenapa namamu ada di sana? Kenapa aku bisa bertemu denganmu? Siapa sebenarnya kamu?” suara Raka meninggi, dipenuhi rasa penasaran bercampur takut.
Nayla menatapnya dalam-dalam. Tatapan yang membuat dada Raka sesak, seolah ia sedang menatap seseorang yang separuh ada, separuh tiada.
“Aku hanya bisa muncul ketika senja,” ucapnya akhirnya. “Di luar waktu itu, aku… bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa?” Raka mengulang dengan bingung.
Nayla tersenyum pahit. “Senja adalah waktuku untuk kembali. Hanya sebentar. Setelah itu, aku lenyap lagi, seperti bayangan yang hilang bersama malam.”
Raka merinding. Tubuhnya dingin meski angin sore masih hangat. Ia ingin percaya, tapi logikanya menolak. Namun, kata-kata Nayla terasa terlalu nyata untuk dianggap omong kosong.
“Kenapa aku? Kenapa kau memilih bicara denganku?” tanya Raka pelan, hampir berbisik.
Nayla menunduk, mengusap ujung rambutnya yang ditiup angin. “Karena kau menulis namaku… bahkan sebelum kita bertemu. Itu berarti… sebagian dari dirimu sudah memanggilku.”
Deg. Jantung Raka seakan berhenti berdetak sesaat.
Matahari kian tenggelam, dan cahaya senja semakin pudar. Nayla berdiri perlahan, wajahnya semakin sayu.
“Aku harus pergi.”
Raka spontan bangkit. “Tunggu! Jangan pergi dulu, aku masih banyak yang ingin kutanyakan!”
Nayla menatapnya sekali lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus, meski menyimpan kesedihan. “Besok… kalau senja masih ada, aku akan kembali.”
Ia lalu berjalan perlahan, dan dalam sekejap sosoknya memudar di balik cahaya jingga terakhir. Raka terpaku, kedua tangannya gemetar menggenggam buku catatan tua itu.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa Nayla bukan gadis biasa. Ia adalah rahasia yang disembunyikan senja.
🌇 Bab 4 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 5 – Pak Surya Bercerita
Hari berikutnya, Raka tidak langsung ke taman. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang terus berputar. Malam sebelumnya ia hampir tidak tidur, memikirkan perkataan Nayla:
"Aku hanya bisa muncul ketika senja… setelah itu aku lenyap lagi."
Kalimat itu menghantam logikanya, tapi juga membuat hatinya semakin ingin tahu.
Pagi harinya, Raka kembali ke perpustakaan. Ruangan itu masih sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan buku tebal. Di pojok, duduk Pak Surya, penjaga perpustakaan yang sudah seperti bagian dari tempat itu sendiri.
Raka mendekat, membawa buku catatan tua yang kemarin ia temukan. Ia menaruhnya di meja.
“Pak, saya perlu tahu tentang ini.”
Pak Surya menatap buku itu lama, lalu menghela napas berat. Wajahnya menunjukkan keraguan, seolah ia menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama terkubur.
“Apa kau yakin ingin tahu, Nak?” tanya Pak Surya perlahan. “Kadang kebenaran justru membuat kita sulit tenang.”
Raka mengangguk mantap. “Saya harus tahu, Pak. Tentang Nayla.”
Mata Pak Surya sedikit melebar mendengar nama itu. Tangannya bergetar halus sebelum ia menyilangkan jari-jarinya di atas meja.
“Sudah lama sekali tidak ada yang menyebut nama itu…” gumamnya.
Ia diam sejenak, lalu mulai bercerita.
“Nayla adalah mahasiswi di kampus ini, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Cantik, cerdas, tapi pendiam. Sama seperti kamu, dia suka menulis. Bahkan hampir setiap sore, ia duduk di taman kota… di bangku yang sama tempat kamu sering duduk.”
Raka menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat, seolah setiap kata yang keluar dari mulut Pak Surya menambah beban di dadanya.
“Suatu hari, Nayla tidak pernah kembali lagi ke kelas. Kami semua dikejutkan oleh kabar buruk—ia mengalami kecelakaan… saat perjalanan pulang dari taman, tepat ketika senja. Usianya waktu itu baru dua puluh satu tahun.”
Pak Surya terdiam, menatap jauh ke arah jendela perpustakaan. Matanya tampak berkaca-kaca, meski ia berusaha tegar.
“Buku catatan itu adalah peninggalannya. Setelah Nayla pergi, buku itu ditemukan di perpustakaan, di rak yang jarang disentuh. Sejak saat itu… seolah menunggu seseorang yang tepat untuk menemukannya.”
Raka menggenggam ujung meja erat-erat. Suara Pak Surya bergema di kepalanya.
“Jadi… Nayla sudah meninggal?”
Pak Surya menoleh, menatapnya dalam. “Ya. Sudah lama sekali.”
Hening menyelimuti mereka. Raka merasa seluruh tubuhnya dingin. Jika Nayla benar sudah tiada, lalu siapa yang ia temui di taman selama beberapa hari terakhir?
Ia ingin menceritakan semuanya pada Pak Surya, tapi kata-katanya tertahan. Bagaimana mungkin ia bisa bilang bahwa Nayla masih menemuinya setiap senja?
Akhirnya, Raka hanya bisa memeluk buku catatan itu erat-erat. Kini ia sadar, pertemuannya dengan Nayla bukan hal biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melampaui batas antara hidup dan mati.
🌇 Bab 5 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 6 – Bayangan Masa Lalu
Sore itu, langkah Raka terasa berat saat menuju taman. Sejak obrolannya dengan Pak Surya, hatinya penuh dilema. Logikanya berkata bahwa Nayla sudah meninggal dua puluh tahun lalu. Tapi hatinya menolak. Karena ia merasakan sendiri senyuman, suara, dan tatapan Nayla—semuanya nyata.
Bangku tua itu kembali menyambutnya. Ia duduk, menatap langit yang perlahan memerah. Udara sore itu lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja.
Raka menunggu dengan gelisah. Sesekali ia menatap jam di tangannya. Lima belas menit berlalu, dan bangku seberang masih kosong. Jantungnya mulai berdebar lebih kencang. Mungkin dia tidak akan datang…
Namun tiba-tiba, dari arah jalan setapak, sosok itu muncul. Nayla. Rambutnya tertiup angin, wajahnya tenang, seolah tidak ada yang berubah.
“Maaf, aku terlambat,” katanya sambil tersenyum.
Raka hanya menggeleng, menahan kata-kata yang ingin meledak keluar dari mulutnya. Ia ingin langsung bertanya: Benarkah kau sudah meninggal? Tapi suaranya tercekat.
Mereka duduk berhadapan. Senja menebarkan cahaya keemasan di antara mereka. Raka menggenggam buku catatan tua itu di pangkuannya, dan Nayla memperhatikannya.
“Itu milikku, kan?” tanya Nayla pelan.
Raka mengangguk. “Pak Surya… dia bilang kamu sudah tiada.”
Wajah Nayla berubah sendu. Ia menunduk, jemarinya memainkan ujung gaun putihnya. “Jadi dia masih menyimpan rahasia itu…” gumamnya.
“Jadi… benar?” suara Raka serak. “Kamu… sudah meninggal?”
Nayla mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tajam tapi penuh kelembutan. “Aku tidak sepenuhnya ada di dunia ini, Raka. Yang kau temui hanyalah bayangan… sisa jejak yang tertinggal di antara waktu. Senja adalah pintu yang membawaku kembali, walau sebentar.”
Raka merinding. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi matanya tak bisa lepas dari Nayla. Kata-kata itu bukan lagi sekadar misteri—itu adalah pengakuan.
“Tapi… aku bisa menyentuhmu, aku bisa mendengar suaramu. Kamu terasa nyata.”
Nayla tersenyum samar. “Karena hatimu yang membuatku nyata. Kau menulis namaku sebelum kita bertemu, bukan? Itu artinya ada bagian dari dirimu yang memanggilku kembali.”
Raka terdiam. Ia ingat jelas bagaimana tanpa sadar menulis nama “Nayla” di bukunya. Semua terasa tidak masuk akal, tapi semakin ia mencoba menolak, semakin besar keyakinan bahwa gadis di depannya bukan sekadar khayalan.
Senja semakin dalam. Bayangan pepohonan memanjang, dan langit jingga perlahan berubah keunguan.
“Aku ingin tahu semuanya,” kata Raka akhirnya. “Kenapa kamu memilihku? Kenapa kamu masih ada di sini? Dan… apa yang kamu inginkan dariku?”
Nayla menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak bisa menjawab semuanya sekarang. Tapi satu hal yang pasti… aku butuh kamu untuk menyelesaikan jejak yang kutinggalkan.”
Sebelum Raka sempat bertanya lagi, angin bertiup kencang. Daun-daun kering beterbangan di antara mereka. Saat Raka menutup mata karena debu, ia mendengar suara lembut Nayla berbisik:
“Kita akan bertemu lagi… di senja berikutnya.”
Ketika ia membuka mata, bangku seberang kosong.
Raka terdiam, hanya ditemani sisa cahaya senja yang memudar. Tangannya gemetar menggenggam buku tua itu, seakan memegang kunci antara dunia nyata dan dunia lain.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar: Nayla bukan lagi sekadar gadis misterius. Ia adalah bayangan masa lalu—jejak yang tertinggal di balik senja.
🌇 Bab 6 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 7 – Antara Nyata dan Ilusi
Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Suara jam dinding di kamarnya berdetak begitu keras, seolah menertawakan kebingungannya. Berkali-kali ia membuka buku catatan tua itu, membaca tulisan-tulisan puitis yang penuh dengan nama Nayla. Semakin dibaca, semakin terasa seperti pesan rahasia yang ditinggalkan untuknya.
Di luar jendela, bulan separuh menggantung sendu, memantulkan cahaya pucat yang menembus tirai kamar. Raka duduk di tepi ranjang, menatap langit malam, berusaha mengurai pertanyaan yang menyesakkan dadanya.
Apakah aku gila? Atau Nayla benar-benar ada?
Keesokan harinya, di sekolah, pikirannya melayang. Ia tidak bisa fokus pada pelajaran. Guru berulang kali menegurnya, tapi pandangan Raka tetap kosong, melayang entah ke mana.
Ketika bel pulang berbunyi, langkahnya tidak menuju gerbang sekolah, melainkan kembali ke taman. Bangku tua itu seakan memanggilnya, menjadi satu-satunya tempat di mana ia merasa mendekati kebenaran.
Sore itu, langit mendung. Senja tidak lagi keemasan, melainkan kelabu, seolah ikut menyembunyikan sesuatu. Raka menunggu dengan sabar, meski jantungnya berdegup tak menentu.
Dan benar saja, perlahan sosok Nayla kembali muncul. Namun kali ini wajahnya terlihat berbeda. Tidak ada senyum cerah, hanya tatapan sayu yang dalam.
“Kau datang lagi,” ucap Raka pelan.
Nayla duduk di hadapannya, tanpa banyak bicara. Beberapa saat mereka hanya terdiam, mendengar suara angin yang menyapu daun-daun kering.
“Aku takut, Nayla,” kata Raka akhirnya. “Aku takut kalau semua ini cuma ada di kepalaku. Aku takut… aku jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata.”
Nayla menatapnya, matanya berkilat oleh cahaya senja yang samar. “Raka… apakah menurutmu aku nyata?”
Pertanyaan itu membuat dada Raka terasa sesak. Ia ingin menjawab ya, karena setiap detik bersama Nayla terasa begitu hidup. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kata-kata Pak Surya, atau kenyataan bahwa gadis itu mengaku hanya “bayangan.”
“Aku tidak tahu,” jawab Raka akhirnya, jujur. “Kamu seperti nyata, tapi sekaligus tidak.”
Senyum tipis muncul di bibir Nayla. “Itulah diriku. Antara nyata dan ilusi. Aku ada, tapi tidak sepenuhnya di dunia ini. Aku bisa tersentuh oleh perasaanmu, tapi tidak oleh dunia yang lain.”
Raka merasakan bulu kuduknya meremang. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk logikanya.
“Kalau begitu… kenapa aku? Kenapa kamu bisa ada di sini bersamaku?”
Nayla menghela napas panjang, lalu menatap ke langit kelabu. “Karena aku belum selesai. Ada sesuatu yang masih tertinggal… sesuatu yang mengikatku. Dan entah bagaimana, kau yang bisa melihatku, mendengar suaraku. Kau yang membangunkanku dari senyap panjang yang tak berujung.”
Raka terdiam. Hatinya bimbang antara takut dan kagum. Ada rasa ingin menjauh, tapi ada juga rasa ingin mendekat lebih dalam.
“Kalau aku membantu menyelesaikan apa yang tertinggal itu… apakah kamu akan pergi?” tanyanya dengan suara serak.
Nayla menunduk, lalu perlahan mengangguk. “Ya. Saat semua jejakku terselesaikan, aku akan benar-benar hilang. Tak ada lagi senja untukku.”
Jawaban itu menusuk hati Raka. Ada rasa kehilangan yang sudah membayangi, meski Nayla belum benar-benar pergi.
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin dan detak jantung Raka yang terdengar jelas di telinganya sendiri.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar langit kelabu. Hujan turun deras, membasahi taman dalam sekejap. Raka berdiri tergesa, tapi ketika ia menoleh—bangku seberang sudah kosong.
Nayla menghilang begitu saja, seperti tersapu hujan.
Raka berdiri terpaku, bajunya basah kuyup, sementara dadanya bergetar hebat. Kini ia tahu satu hal pasti: semakin ia mendekat pada Nayla, semakin ia terjebak di antara dua dunia—antara nyata dan ilusi.
Dan ia tidak yakin apakah masih bisa kembali.
🌧️ Bab 7 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 8 – Jejak yang Terkunci
Malam itu hujan belum reda. Raka duduk di meja belajarnya, rambut masih basah, baju ganti pun terasa dingin. Di hadapannya, buku catatan tua milik Nayla terbuka. Lampu kamar yang redup membuat tulisan di halaman itu tampak lebih muram, seperti menyimpan rahasia kelam yang enggan diungkap.
Ia membalik halaman demi halaman. Awalnya hanya coretan-coretan puisi, kata-kata indah tentang senja, tentang waktu, tentang perpisahan. Tapi di halaman tengah, ia menemukan sesuatu yang berbeda: sebuah kalimat yang ditulis lebih dalam, dengan goresan pena yang tajam—
> “Aku terkunci di antara janji dan kehilangan.”
Raka terdiam. Kata-kata itu terasa seperti bisikan, menembus dadanya. Ia menyentuh tulisan itu dengan jemari bergetar. Terkunci… apa maksudnya?
Di halaman berikutnya, ia menemukan sketsa sederhana. Gambar sebuah pohon besar, dengan akar menjalar ke segala arah. Di bawahnya ada simbol kecil, mirip kunci.
“Pohon…” gumam Raka. Ia mengingat taman, tempat ia selalu bertemu Nayla. Ada pohon besar di dekat bangku tua itu—pohon yang sudah berumur puluhan tahun.
Pikirannya langsung menghubungkan semuanya. Mungkin jawaban tentang Nayla ada di sana.
---
Keesokan harinya, Raka kembali ke taman, bahkan sebelum senja datang. Udara masih lembap setelah hujan semalam. Ia berjalan mendekati pohon besar itu, meneliti batang dan akarnya.
Tangannya meraba celah di antara kulit pohon. Ada bagian yang terasa berbeda—lebih menonjol, seolah menyembunyikan sesuatu. Dengan hati-hati, ia mencongkel sedikit menggunakan ujung pulpen yang dibawanya.
Dan benar. Di dalam celah itu, ada sebuah benda kecil yang terbungkus kain lusuh. Raka menariknya keluar dengan jantung berdegup kencang.
Saat kain itu terbuka, terlihat sebuah kunci tua berkarat.
Raka ternganga. Ini bukan kebetulan. Gambar di buku Nayla, tulisan tentang terkunci, semuanya mengarah ke benda ini.
“Ini… jejak yang kau maksud, Nayla?” bisiknya pelan.
---
Senja datang perlahan, langit memerah lembut. Raka kembali duduk di bangku tua dengan kunci itu tergenggam erat. Ia menunggu, matanya sesekali melirik pohon, berharap Nayla muncul seperti biasa.
Dan benar, beberapa saat kemudian, sosok itu datang. Rambutnya tertiup angin sore, wajahnya teduh meski ada bayangan kesedihan yang tak pernah hilang.
“Kamu menemukannya…” suara Nayla lirih, matanya langsung tertuju pada kunci di tangan Raka.
Raka menatapnya serius. “Ini milikmu, kan? Apa yang sebenarnya terkunci, Nayla?”
Nayla duduk perlahan, menatap kunci itu dengan tatapan dalam, seakan sedang melihat masa lalu yang ingin ia lupakan.
“Itu… milik keluargaku. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sesuatu yang membuatku terikat di sini.”
“Apa itu? Di mana aku bisa menemukannya?”
Nayla menggeleng pelan, air matanya menetes. “Aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya tahu… kunci itu adalah jalan. Dan kau… harus menemukannya sendiri.”
Raka terdiam, bingung sekaligus takut. Tapi satu hal pasti: ia sudah masuk terlalu jauh. Mundur bukan lagi pilihan.
Senja semakin meredup, dan bayangan malam merayap cepat. Nayla berdiri, lalu menatap Raka dengan mata yang berkilat oleh cahaya senja terakhir.
“Raka… jangan pernah berhenti. Kau satu-satunya yang bisa menyelesaikan jejak ini. Jika tidak… aku akan tetap terjebak di balik senja, selamanya.”
Lalu, seperti biasa, ia menghilang perlahan, menyisakan udara dingin dan keheningan.
Raka menggenggam kunci tua itu erat-erat. Kini ia tahu: perjalanannya baru saja dimulai.
🔑 Bab 8 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 9 – Pintu yang Tersembunyi
Keesokan paginya, Raka berangkat sekolah dengan kepala penuh pertanyaan. Kunci tua itu ia simpan rapat di saku jaketnya. Rasanya seperti membawa beban yang tidak terlihat—bukan sekadar besi berkarat, tapi rahasia masa lalu yang belum terungkap.
Sepanjang jam pelajaran, pikirannya terus melayang ke satu hal: Apa yang bisa dibuka oleh kunci ini?
---
Selesai sekolah, ia tidak langsung pulang. Sebaliknya, ia menuju perpustakaan kecil di kota, berharap menemukan petunjuk. Ia mencari buku-buku tentang sejarah daerah itu, tentang taman, bahkan tentang keluarga lama yang mungkin pernah tinggal di sekitar sana.
Salah satu buku tua menarik perhatiannya. Sampulnya lusuh, berjudul “Keluarga Surya: Sejarah dan Warisan”. Nama itu membuatnya teringat pada Pak Surya, penjaga taman yang dulu memberinya catatan Nayla.
Dengan hati berdebar, Raka membuka halaman demi halaman. Dan di sana, ia menemukan sesuatu—foto lama sebuah rumah besar bergaya kolonial, dengan pohon besar di halaman depannya. Di bawah foto tertulis:
> “Rumah keluarga Surya, dibangun tahun 1920. Kini terbengkalai.”
Raka terdiam. Rumah itu terlihat asing, tapi pohon besar di depannya sangat mirip dengan pohon di taman tempat ia bertemu Nayla.
---
Sore itu, alih-alih langsung ke bangku tua, Raka menyusuri jalan kecil di belakang taman. Jalan itu sepi, dipenuhi ilalang tinggi. Setelah berjalan beberapa menit, ia tiba di depan pagar besi tua yang setengah berkarat.
Di balik pagar itu, berdiri rumah besar yang sama seperti di foto—tua, kusam, dan seolah ditelan waktu. Jendela-jendelanya pecah, cat dindingnya mengelupas, tapi aura misteriusnya begitu kuat.
Raka merinding. Tangannya spontan meraih kunci tua di saku. Apakah ini tempatnya?
Ia mencoba mendorong pagar, dan ternyata tidak terkunci. Dengan langkah hati-hati, ia masuk ke halaman. Rumput liar menutupi tanah, dan suasana hening membuat bulu kuduknya berdiri.
Di depan pintu kayu besar, ia mencoba kunci tua itu. Tangannya gemetar ketika memasukkan kunci ke lubang. Awalnya seret, tapi setelah diputar sedikit—klik! Pintu itu terbuka dengan suara berderit panjang.
Raka menahan napas, lalu melangkah masuk.
---
Di dalam, udara pengap menyambutnya. Bau debu dan kayu lapuk memenuhi ruangan. Cahaya matahari masuk lewat celah-celah atap yang rusak, menyorot meja tua, kursi reyot, dan foto-foto lawas yang masih tergantung di dinding.
Ia berjalan perlahan, jantungnya berdetak kencang. Matanya terpaku pada sebuah foto besar di ruang utama: seorang gadis muda dengan gaun putih, berdiri di samping seorang pria tua berwibawa.
Raka terpaku. Gadis itu—tak salah lagi—adalah Nayla.
Tenggorokannya tercekat. Foto itu sudah menguning dimakan waktu, tapi wajah Nayla begitu jelas. Ia tidak berubah sedikit pun, sama persis dengan gadis yang duduk di bangku taman bersamanya.
“Jadi… benar. Kamu… nyata.” suara Raka bergetar sendiri.
---
Saat ia masih menatap foto itu, suara berderit terdengar dari lantai atas. Raka menoleh cepat. Suara langkah kaki samar-samar terdengar, padahal rumah ini seharusnya kosong.
“Siapa di sana?” teriak Raka dengan suara yang lebih berani dari hatinya.
Tidak ada jawaban, hanya suara angin yang menyusup lewat jendela pecah.
Ia melangkah ke tangga kayu tua, naik perlahan meski setiap pijakan berderit keras. Sesampainya di lantai dua, ia menemukan lorong panjang dengan pintu-pintu di kiri kanan.
Salah satu pintu di ujung lorong terlihat berbeda—ada bekas gembok tua yang kini sudah lepas.
Raka menelan ludah, lalu berjalan mendekat. Dengan tangan bergetar, ia membuka pintu itu.
Ruangan di dalamnya gelap, tapi cahaya senja menembus celah jendela, menyorot sesuatu di tengah ruangan: sebuah peti kayu besar yang terkunci dengan rantai.
Dan di atas peti itu, ada secarik kertas kuno dengan tulisan samar:
> “Hanya yang memahami jejakku, yang bisa membuka pintu ini.”
🗝️ Bab 9 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 10 – Peti yang Terkubur Rahasia
Ruangan itu sunyi, hanya suara napas Raka yang terdengar berat. Ia berdiri terpaku di depan peti kayu besar yang terikat rantai berkarat. Cahaya senja masuk dari celah jendela, memantul pada permukaan logam kunci yang ia genggam erat.
Tangannya gemetar. “Apakah ini… yang Nayla maksud dengan jejaknya?”
Ia merunduk, mencoba mencari celah. Rantai itu terkunci dengan gembok tua, persis ukuran kunci yang ditemukan di pohon. Dengan ragu, ia memasukkan kunci. Berputar dengan suara seret… klik! Gembok itu terbuka, jatuh menghantam lantai dengan bunyi nyaring.
Raka menarik rantai perlahan, lalu membuka tutup peti. Bunyi derit kayu membuat bulu kuduknya berdiri.
Di dalamnya, ia menemukan benda-benda yang tampak seperti peninggalan keluarga lama: gaun putih yang sudah lusuh, sebuah boneka kain dengan mata satu hilang, dan beberapa buku harian tua.
Namun ada satu benda yang membuatnya membeku: sebuah foto berbingkai kecil. Foto itu memperlihatkan Nayla bersama seorang pria muda yang tersenyum hangat, memegang tangannya.
Raka merasakan dadanya sesak. Siapa pria itu? Apakah dia kekasih Nayla di masa lalu?
Ia menatap lebih lama, lalu memperhatikan bagian bawah bingkai. Ada tulisan tangan tipis:
> “Nayla & Arman – 2005.”
Nama itu menggema di kepalanya. Arman… siapa dia?
---
Raka mengambil salah satu buku harian, membuka halaman pertamanya. Tulisan di dalamnya indah tapi penuh kegelisahan:
> “Hari ini aku bertemu Arman di taman. Dia membuatku merasa hidup, tapi Ayah tidak pernah setuju. Katanya, aku tidak boleh dekat dengan keluarga itu. Aku tidak mengerti, kenapa cinta harus menjadi dosa?”
Raka menelan ludah. Setiap kalimat terasa berat, seperti membuka luka lama. Ia membalik halaman berikutnya, dan menemukan catatan yang lebih gelap:
> “Ayah mengurungku di kamar. Katanya aku harus melupakan Arman. Tapi aku tidak bisa. Aku berjanji, suatu hari aku akan kembali ke bangku tua di taman, tempat pertama kali aku bertemu dengannya.”
Raka tertegun. Jadi itu sebabnya Nayla selalu muncul di bangku taman. Itu adalah janji yang tidak pernah terpenuhi.
Di halaman terakhir, tulisan itu semakin kacau, seolah ditulis dengan air mata:
> “Aku tidak kuat lagi… jika senja ini jadi yang terakhir, semoga seseorang suatu hari bisa menemukan jejakku. Aku ingin bebas…”
Tangan Raka bergetar hebat. Matanya panas, seakan ikut merasakan penderitaan gadis itu.
---
Tiba-tiba, suara langkah terdengar di lorong. Raka terlonjak, buru-buru menutup buku harian dan memasukkan foto ke saku. Ia menoleh ke arah pintu—dan di sana, samar, ia melihat bayangan putih berdiri.
“Nayla…” bisiknya.
Sosok itu perlahan masuk, wajahnya terlihat jelas. Itu memang Nayla, tapi kali ini ekspresinya berbeda. Ada campuran lega dan sedih yang sulit dijelaskan.
“Kamu menemukannya,” katanya lirih. “Jejak yang kusembunyikan selama ini…”
Air mata Raka menetes tanpa ia sadari. “Kenapa harus kau alami semua ini, Nayla?”
Nayla mendekat, tangannya terulur seakan ingin menyentuh wajah Raka. Tapi sebelum jarinya menyentuh kulit, cahaya senja di luar meredup. Wajahnya mulai kabur, tubuhnya memudar.
“Raka… ingatlah. Jejakku tidak hanya di peti itu. Masih ada yang lebih dalam. Temukan, sebelum semuanya terlambat.”
Dan dalam sekejap, ia lenyap, meninggalkan Raka sendirian bersama peti terbuka dan rasa kehilangan yang makin dalam.
📖 Bab 10 selesai.
📖 Jejak di Balik Senja
Bab 11 – Luka Lama Keluarga Surya
Sejak malam itu, pikiran Raka terus dihantui oleh catatan harian Nayla dan foto bersama pria bernama Arman. Nama itu seakan membisikkan misteri baru. Siapa sebenarnya Arman? Kenapa keluarga Nayla melarang hubungan mereka? Dan apa kaitannya dengan jejak yang membuatnya terikat?
Raka tahu satu hal: jawabannya mungkin ada pada orang-orang yang masih mengenal masa lalu keluarga Surya.
---
Hari Sabtu siang, Raka memberanikan diri kembali ke taman. Ia mencari Pak Surya, penjaga taman yang pernah bercerita tentang gadis bernama Nayla. Untungnya, pria tua itu sedang menyapu jalan setapak, wajahnya keriput tapi tatapannya masih tajam.
“Pak Surya,” panggil Raka hati-hati.
Pria itu menoleh. “Oh, Raka. Kau lagi. Ada apa? Wajahmu pucat sekali.”
Raka menggenggam buku harian lusuh itu, lalu mengangkat sedikit foto Nayla dan Arman yang ia temukan di peti. “Pak… saya perlu tahu kebenarannya. Tentang Nayla… dan tentang keluarga Surya.”
Pak Surya terpaku. Tatapannya membeku saat melihat foto itu, lalu tangannya gemetar. “Dari mana kau dapat ini?”
“Dari rumah tua di belakang taman,” jawab Raka jujur. “Saya menemukan peti, buku harian, semuanya.”
Pak Surya menarik napas panjang, lalu menatap ke arah pohon besar di dekat bangku tua. Matanya berkaca-kaca. “Aku sudah lama menduga hari ini akan datang… saat jejak masa lalu tidak lagi bisa dikubur.”
---
Mereka duduk di bangku tua. Angin siang berhembus pelan, membawa suara daun yang bergesekan. Pak Surya mulai bercerita dengan suara berat:
“Nayla adalah putri tunggal keluarga Surya. Ayahnya, Tuan Surya, orang kaya terpandang, keras kepala, dan penuh aturan. Dia mengatur hidup Nayla sejak kecil, termasuk urusan hatinya. Ketika Nayla jatuh cinta pada seorang pemuda sederhana bernama Arman, keluarganya menentang habis-habisan.”
Raka mendengarkan dengan dada sesak. Kata-kata dalam buku harian kini semakin jelas kebenarannya.
“Arman bukan orang jahat,” lanjut Pak Surya. “Dia anak baik, pekerja keras. Tapi karena keluarganya miskin, cinta mereka dianggap noda. Tuan Surya mengurung Nayla di rumah, memaksanya melupakan Arman. Tapi gadis itu keras kepala—ia berjanji akan selalu kembali ke bangku tua di taman ini, tempat mereka pertama kali bertemu.”
Air mata menetes dari sudut mata Pak Surya. “Tapi janji itu tak pernah terpenuhi. Suatu malam… Nayla ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Orang-orang bilang karena sakit, tapi aku tahu—itu karena patah hati yang terlalu dalam. Sejak saat itu… keluarga Surya hancur. Rumah besar itu ditinggalkan, menjadi bangunan kosong yang kau temui.”
Raka menggenggam buku harian erat-erat. Hatanya perih. Semua cerita itu sesuai dengan tulisan terakhir Nayla: “Aku tidak kuat lagi…”
---
“Pak Surya…” suara Raka bergetar. “Kalau begitu, kenapa saya bisa bertemu dengan Nayla? Kenapa dia muncul setiap senja?”
Pak Surya menatapnya lekat-lekat. “Mungkin karena hatimu memanggilnya. Kau menemukan catatan itu, kau menulis namanya sebelum bertemu. Itu bukan kebetulan. Ada ikatan di antara kalian. Dan mungkin… Nayla masih punya sesuatu yang belum tersampaikan, yang mengikat jiwanya pada bangku tua itu.”
Raka tercekat. Kata-kata Pak Surya hanya memperkuat perasaan yang ia pendam: bahwa kehadiran Nayla bukan ilusi semata. Ia nyata, meski dalam wujud yang berbeda.
---
Senja mulai turun perlahan, langit berubah jingga. Raka kembali duduk di bangku, menunggu. Dan benar—sosok itu muncul, seperti biasa. Nayla berdiri di bawah cahaya lembut senja, wajahnya sendu tapi indah.
“Aku melihatmu bicara dengan Pak Surya,” katanya lirih. “Sekarang kau tahu ceritaku…”
Raka menatapnya, hatinya penuh luka. “Kenapa kau tidak bilang dari awal, Nayla? Kenapa harus aku yang mencari sendiri?”
Air mata Nayla menetes, membaur dengan cahaya senja. “Karena aku tidak ingin kau melihatku hanya sebagai bayangan masa lalu. Aku ingin kau mengenalku… sebagai diriku, Nayla yang kau temui, bukan hanya gadis malang yang terkurung oleh kisah lama.”
Raka terdiam, lalu perlahan mengulurkan tangannya. “Aku tidak peduli bagaimana masa lalumu. Yang aku tahu… aku ingin menolongmu, sampai jejakmu selesai.”
Nayla menatap tangannya, ragu sejenak. Lalu ia tersenyum, tipis tapi tulus, sebelum tubuhnya mulai memudar lagi.
“Kalau begitu, Raka… bersiaplah. Karena luka lama keluargaku… lebih dalam dari yang kau bayangkan.”
Dan sekali lagi, ia lenyap, menyisakan Raka dengan beban yang semakin berat—sebuah janji untuk menyelesaikan jejak yang bahkan keluarga Surya sendiri tidak mampu menghapus.
🌑 Bab 11 selesai.
Bab 12 – Jejak yang Tersisa
Malam itu, setelah kepergian Aksara, Raka kembali ke bangku tua di taman. La ngit gelap, hanya ditemani lampu jalan dan cahaya bulan yang separuh tertutup awan. Di hadapannya, catatan lusuh terbuka, namun tangannya tak lagi menulis.
Ia merasa sepi, tetapi bukan kesepian yang menakutkan. Lebih seperti ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Aksara sudah pergi, entah ke mana, tapi jejaknya tertinggal di setiap senja, di setiap desah angin sore.
Raka tahu, hidupnya berubah. Ia bukan lagi anak muda yang sekadar mengagumi langit jingga; ia kini seseorang yang mengerti arti pertemuan, kehilangan, dan keberanian untuk melanjutkan langkah.
“Jejak di balik senja,” bisiknya pelan, “bukan tentang siapa yang kutemui, tapi tentang siapa aku setelah semua ini.”
Ia menutup buku catatan, bangkit, lalu berjalan meninggalkan taman. Senja mungkin selalu datang dan pergi, tapi maknanya akan terus hidup dalam dirinya.
Dan di balik setiap senja berikutnya, Raka tahu, Aksara tetap ada—bukan dalam wujud, tapi dalam kenangan yang abadi.
Tamat.