Langit sudah mulai gelap, meskipun begitu ibukota memang selalu ramai bahkan di tengah malam sekalipun. Saudariku tidak ada lelahnya memang, sejak dua jam yang lalu terus terusan mengelilingi kota yang tidak pernah sepi ini sekalipun di gang sempit.
Kerlap kerlip lampu taman kota menyinari beberapa pemuda yang terlihat nakal, dua diantaranya mengenakan tindik di telinga dan satunya memiliki tato di lehernya. Pakaian mereka terlihat lusuh dan dekil. Saudariku menarik pergelangan tanganku untuk berjalan ke arah mereka.
" Cewek! Berdua aja nih..." Mereka mulai menggoda. Setelah di lihat ternyata mereka semua punya tato, hanya saja tempatnya berbeda.
Saudariku menjatuhkan novelnya tepat di depan mereka, jalan nya di percepat. Ketika salah satunya memanggil untuk mengembalikan bukunya, saudariku berlagak tuli.
"Woah... Namanya bagus, eh ada alamatnya... Kita kembaliin, siapa tau bisa kenalan" ujar salah satunya.
"Aku nggak ikut, ibuku nggak ada yang nemenin di rumah" yang lain nya menimpali,
"Kalau begitu, kami berdua saja yang pergi"
Aku melirik saudari ku denga ekor mata. Di hanya tersenyum kecewa. Hah dasar! Bagaimana bisa saudariku memilih manusia buruk rupa. Apa enaknya kulit bertato, belum lagi keliatan kalau mereka jarang mandi, harus ekstra di bersihkan. Kenapa nggak cari yang berkulit mulus aja si?! Padahal bagian paling enak, ya kulitnya. Masa makan kulit bertinta.
"Digulai kayaknya enak. Nanti kulitnya nggak usah di ikutin, kasih aja ke bagas" dasar nggak pinter nyari mangsa! Besok besok biar aku aja yang nyari.