Malam itu, hujan tak kunjung reda.
Butir-butirnya jatuh tanpa henti, membasuh jalanan kota yang lengang, berbaur dengan kabut tipis yang melahap cahaya bulan.
Di sudut gelap sebuah gang sempit, seorang anak perempuan terbaring lemas. Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat, matanya kosong menatap langit yang tak pernah berubah.
Ah… apakah hidupku akan berakhir di sini? pikirnya. yah, Hidup pun tak pernah punya arti.
Ia hanyalah anak kecil tanpa orang tua atau siapa pun. Hidup di jalanan, kelaparan, terlupakan. Pernah, sekali, ia berdiri memandang kuil-kuil megah yang menjulang di kejauhan. Saat itu, ia bertanya dalam hati—apakah dewa benar-benar ada? Jika ya… mengapa mereka membiarkan manusia menderita seperti ini?
Waktu bergulir, napasnya semakin berat, tubuhnya kian lemah. Hingga ketika kelopak matanya nyaris menutup, terdengar suara langkah kaki. Gaungnya memantul di dinding gang, semakin lama semakin dekat.
Dari balik kabut muncul seorang pria berjubah hitam. Ia berdiri di ujung jalan sempit, rambut peraknya terurai, matanya bagai malam tanpa bintang. Tatapannya tajam dan dingin—namun terselip iba samar.
“Bahkan di tempat kotor ini…” suaranya rendah, datar. “…aku bisa menemukan mana yang begitu kuat. Sepertinya aku cukup beruntung.”
Gadis kecil itu menatapnya tanpa mengerti apa yang ia katakan.
Pria itu melangkah mendekat. Ia berjongkok hingga wajahnya sejajar dengan si gadis.
“Hei, nak. Kau lapar?” tanyanya, dingin tapi jernih. “Aku bisa memberimu makanan”
Mata si gadis sedikit bergetar. Apakah… aku masih bisa hidup?
“Aku tanya sekali lagi.” Tatapannya menusuk, penuh kepastian. “Mau ikut denganku? Aku bisa memberimu kehidupan yang jauh lebih baik daripada ini.”
Sejenak hanya ada suara hujan yang jatuh. Lalu, dengan sisa tenaga, gadis itu menelan ludah.
“…A-aku… mau.”
Senyum tipis muncul di wajah pria itu. Senyum dingin, tapi jujur. Ia mengulurkan tangan, mengangkat tubuh kecil yang nyaris tak bertenaga itu.
“Mulai sekarang, kau muridku.”
Gadis itu menatapnya heran, seakan tak percaya. “…Si… siapa kau…?”
“Namaku Ruan. Ruan Eryxx,” jawabnya. Senyum tipisnya bertahan. “Dan mulai hari ini, kau akan memanggilku… Guru.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, gadis kecil itu merasakan sesuatu yang mirip dengan harapan. Dadanya hangat meski tubuhnya dingin. Ia mengangguk pelan.
Ruan membawanya keluar dari gang, melewati jalanan kota yang diliputi hujan dan kabut. Mereka mendaki bukit hingga tiba di sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh di puncaknya.
Begitu pintu aula besar terbuka, puluhan wajah menoleh. Anak-anak berhenti bermain, lalu berlari menghampiri, penuh rasa ingin tahu.
“Guru! Siapa dia?” tanya salah seorang dengan mata berbinar.
Ruan menepuk kepala gadis kecil di sampingnya. “Anak-anak, guru membawa teman baru untuk kalian.”
Gadis itu menunduk. Bibirnya gemetar. “…Aku… tak punya nama.”
Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Ruan menunduk, menatapnya dalam-dalam, lalu mengelus rambutnya dengan lembut.
“Kalau begitu, mulai sekarang… namamu adalah Lyneve.”
Anak-anak saling pandang, lalu kembali riuh.
“Namanya Lyneve?”
“Bagus sekali!”
“Dia juga murid Guru?”
Ada yang menyodorkan roti hangat, ada yang menarik tangannya untuk ikut bermain. Lyneve kaku, tak terbiasa dengan keramaian. Namun tangan Ruan kembali menepuk kepalanya, suara tenangnya menegaskan:
“Namanya Lyneve. Mulai sekarang, dia bagian dari kalian.”
Suasana seketika berubah hangat. Senyum-senyum ramah menyambutnya. Lyneve menunduk, perutnya berdenyut karena lapar, lalu air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Apakah ini… yang disebut rumah?
Lyneve duduk kaku di tengah keramaian. Roti hangat disodorkan, tangan kecil menariknya, tawa polos mengelilinginya. Kehangatan itu asing, terlalu asing hingga dadanya sesak.
Air mata jatuh sebelum ia sempat menyadari. Panik, ia mengusap wajahnya. “A-aku… maaf… aku tidak tahu kenapa…”
Sebuah tangan menepuk kepalanya. Ruan berdiri di sampingnya, tatapannya tenang.
“Tidak apa-apa, Lyneve. Menangis bukan tanda lemah. Itu hanya berarti… kau bahagia.”
Lyneve tertegun. Tangisnya malah semakin pecah, bahunya terguncang. Ruan tidak banyak bicara lagi, hanya mengelus kepalanya perlahan, membiarkannya menangis sepuasnya di tengah keramaian.
Anak-anak yang lain sempat terdiam, lalu ikut mendekat, menyelimuti Lyneve dengan keceriaan polos mereka.
“Tidak apa-apa, Eve. Kami di sini.”
“Mulai sekarang kau tidak sendirian lagi.”
Untuk pertama kalinya, Lyneve merasakan apa yang disebut rumah dan kehangatan orang-orang.
Hari-hari berlalu dengan cepat.
Lyneve tumbuh bersama anak-anak lain, tertawa, berlatih, dan mengenal dunia baru yang penuh warna. Awalnya ia hanya mampu menyalakan percikan api kecil, namun dalam waktu singkat ia menguasai air, tanah, angin—bahkan kabut.
Setiap kali ia berhasil, anak-anak bersorak kagum. Jake, murid yang paling dekat dengannya, sering berteriak, “Eve, kau jenius! Kami tak akan pernah bisa menyusulmu!”
Lyneve hanya tertawa kecil, meski hatinya bingung—bahagia, tetapi juga takut akan semua ini.
Di sisi lain, Ruan sering memperhatikannya dari kejauhan. Matanya memancarkan rasa bangga, namun ada juga bayangan kekhawatiran. Suatu malam, saat berdiri di balkon menara dan menatap langit yang tertutup kabut tipis, ia bergumam pelan:
“Jika mereka tumbuh secepat ini… para dewa pasti akan menyadarinya.”
Kenangan pahit menghantamnya kembali—bagaimana para dewa menekan manusia, merampas kebebasan, memperbudak dunia. Ia tahu, cepat atau lambat, mata mereka akan tertuju pada tempat ini.
Namun bagi murid-muridnya, hari-hari itu masih terasa indah.
Suatu sore, Lyneve mengisi seluruh aula dengan kabut pekat hingga anak-anak berteriak-teriak kebingungan.
“Eve! Hentikan kabutmu!” seru Jake, tersesat dalam putih kelam itu.
Lyneve terkikik, suaranya bergema samar. “Kalau kau bisa menembus kabutku, aku berhenti!”
Anak-anak lain tertawa meski kesulitan. Tapi kegembiraan itu terhenti saat suara Ruan menggema, tegas dan dingin.
“Cukup.”
Sekejap kabut lenyap. Anak-anak terdiam, wajah mereka pucat karena jarang sekali sang guru berbicara dengan nada keras.
“Dengar baik-baik,” kata Ruan dengan sorot mata tajam. “Kekuatan kalian adalah anugerah… sekaligus kutukan. Jangan sembarangan menunjukkannya. Dunia ini tidak ramah pada manusia yang melampaui batas.”
Lyneve menatapnya bingung. “Apa maksudmu, Guru?”
Ruan hanya terdiam. Ia tidak sanggup mengungkapkan ketakutannya tentang para dewa. Ia hanya tahu: semakin mereka kuat, semakin dekat bahaya datang.
Dan benar saja.
Pada suatu malam dingin, kabut turun lebih pekat dari biasanya. Di ruang latihan, suara riang anak-anak yang biasanya ramai… berubah menjadi hening.
Di sudut ruangan, tubuh seorang murid terbaring kaku. Darah mengalir dari luka yang tak wajar.
Jeritan pecah.
“Ka-kau lihat sendiri kan!? Siapa yang tega melakukan ini!?”
“Apakah ada iblis!?”
Anak-anak menangis, berlari mencari perlindungan. Mereka ketakutan, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Hanya Ruan yang berdiri tenang. Tatapannya dingin menelusuri luka itu.
Ia tahu… ini bukan ulah iblis.
Ini tanda. Tanda bahwa para dewa sudah menaruh mata mereka di tempat ini.
“Sial… cepat sekali mereka menyadarinya,” pikirnya.
Namun ia tak bisa mengatakannya pada murid-murid. Tidak. Kebenaran itu terlalu kejam.
“Dengar baik-baik!” suara Ruan menggelegar, menenggelamkan tangisan. “Mulai malam ini, tidak ada seorang pun keluar dari aula tanpa izin. Aku akan melindungi kalian. Jangan takut.”
Anak-anak mengangguk, meski mata mereka penuh air mata. Mereka tidak tahu—bahwa di balik jubah hitam gurunya, hati Ruan sudah dipenuhi amarah. Amarah pada para dewa.
Hari-hari setelah kematian pertama berubah jadi mimpi buruk.
Tawa anak-anak lenyap, diganti bisikan ketakutan di setiap malam.
Namun bayangan gelap tak berhenti.
Murid lain ditemukan mati di halaman, matanya membiru seakan dicekik udara.
Yang lain hangus terbakar api tak terlihat di perpustakaan.
Satu per satu, mereka hilang.
Lyneve menangis setiap kali kehilangan teman. Anak-anak yang tersisa hanya bisa berpegangan erat, menatap guru mereka dengan harapan putus asa.
“Guru… tolong kami… kenapa ini terjadi…?”
Ruan ingin berteriak bahwa semua ini ulah dewa. Ia ingin mengutuk mereka. Tapi kata-kata itu hanya akan menghancurkan hati anak-anak.
Jadi ia hanya tersenyum tipis, senyum palsu yang menutupi kepedihan.
“Tenanglah… aku di sini.”
Namun jauh di dalam dirinya, sesuatu retak.
Setiap jasad murid yang ia temui menambah luka di jiwanya.
“Ini salahku… kalau saja aku tidak mengajari mereka… kalau saja aku tidak membiarkan mereka tumbuh terlalu kuat…”
Malam ketujuh, saat tubuh seorang murid lagi ditemukan, Ruan akhirnya runtuh.
Ia berlutut di ruang gelap, darah menodai tangannya. Obor padam, kabut merayap.
Dengan suara patah, ia berbisik pada kegelapan:
“Jika cahaya tak bisa melindungi mereka… maka aku akan meminjam kekuatan gelap.”
Mantra terlarang pun keluar dari bibirnya. Kabut menelan ruangan. Bayangan tangan-tangan hitam merayap, masuk ke dalam tubuhnya. Ruan merelakan jiwanya terkoyak demi satu hal: membalas dendam pada para dewa.
Malam itu lahirlah sosok baru.
Bukan lagi Ruan sang guru yang lembut, melainkan Ruan Eryxx, Penyihir Hitam—pria yang menanggung dosa demi menyelamatkan anak-anaknya.
Namun di saat yang sama, Lyneve dan Jake yang tidak bisa tidur, mendengar suara aneh dari ruang bawah tanah. Mereka mengintip… dan melihat Ruan di lingkar sihir hitam, tubuhnya dililit bayangan.
Jake gemetar. “Itu… itu sihir terlarang…”
Lyneve menutup mulutnya dengan tangan, air matanya jatuh. Guru… apa yang kau lakukan…
Namun Ruan menyadari keberadaan mereka. Matanya berkilat hitam, kosong.
“Keluar.”
Suara itu menggema, menusuk tulang.
Mereka berlari ketakutan.
Dan sejak malam itu, mereka tau, bahwa guru mereka bukanlah guru yang mereka kenal lagi.
Hari-hari setelah itu hanyalah deretan mimpi buruk.
Anak-anak terus berguguran, hingga hanya segelintir yang tersisa—Lyneve, Jake, dan beberapa murid lemah yang masih bertahan.
Lyneve mulai berubah.
Air matanya habis, rasa takutnya terkikis. Dari gadis kecil yang dulu tak berdaya, ia menjelma menjadi penyihir elemen jenius yang semakin hari semakin dingin. Kabutnya tak lagi sekadar permainan, melainkan belati mematikan. Ia membunuh makhluk bayangan yang dikirim dewa… dan lambat laun, juga manusia yang berani menghalangi jalannya.
Jake menatapnya dengan ngeri.
“Eve… kau… membunuh orang.”
Lyneve hanya menatap balik dengan mata dingin, kabut berputar liar di sekeliling tubuhnya.
“Kalau mereka ingin mengambil nyawaku, kenapa aku harus memberi mereka kesempatan?”
Ruan memperhatikan perubahan muridnya itu. Di matanya, ada kebanggaan sekaligus pedih. Ia tahu… Lyneve sedang berjalan di jalan yang sama dengannya.
Waktu berlalu.
Legenda kabut mulai beredar—tentang seorang anak perempuan yang bisa menyelimuti satu kota dalam gelap, menusuk jantung lawan tanpa pernah terlihat. Dunia mulai mengenalnya dengan nama baru: Pembunuh Kabut.
Namun kebangkitan mereka akhirnya menarik perhatian langsung para dewa.
Dan malam itu, langit pecah.
Petir membelah cakrawala, hujan darah mengguyur bumi. Dua belas dewa turun, menuding Ruan dan murid-muridnya sebagai makhluk terkutuk.
“Keberadaan kalian adalah dosa. Dunia ini harus dimurnikan. Kalian… harus dimusnahkan!”
Dan perang pun pecah.
Tanah hancur porak-poranda. Gunung runtuh, sungai darah mengalir. Langit tampak koyak, dipenuhi api ungu dan kabut hitam.
Tiga manusia berdiri di tengah medan perang:
Ruan, sang guru, separuh tubuhnya sudah ditelan bayangan.
Jake, dengan pedang cahaya retak di tangannya.
Lyneve, tubuhnya berlumuran darah, tapi kabut hitam pekat berputar liar melindungi dirinya.
Enam dewa tersisa. Tubuh emas mereka penuh luka, wajah agung mereka untuk pertama kalinya memancarkan rasa takut.
“Ini… mustahil,” salah satu berbisik. “Tiga manusia… memojokkan para penguasa surga?”
Ruan menyeringai, darah menetes dari bibirnya.
“Kau benar. Ini mustahil. Tapi nyatanya… kami ada di sini. Dan kami akan menyeret kalian ke neraka bersama kami!”
Jeritan perang menggema.
Jake melompat maju, pedangnya menghantam perisai cahaya hingga pecah berkeping. Lyneve menyapu medan dengan kabutnya, mengoyak tubuh dewa demi dewa. Ruan memanggil bayangan raksasa yang menelan altar-altar langit, menghancurkan simbol suci yang turun ke bumi.
Satu demi satu, para dewa jatuh berlutut. Darah emas menggenang di tanah. Untuk sesaat, kemenangan terasa begitu dekat.
Namun cahaya aneh tiba-tiba menyelubungi keenam dewa yang tersisa. Simbol kuno bercahaya muncul dari tanah, langit, dan udara.
Ruan membelalak.
“Tidak… itu segel Eternium! Ritual terlarang yang bahkan dilarang para dewa sendiri…”
Salah satu dewa menatap penuh dendam.
“Jika kami harus binasa, maka kalian pun akan kami bawa mati bersama. Tak ada manusia yang boleh hidup setelah menyentuh surga!”
Mantra selesai.
Ledakan cahaya membutakan langit.
Jake menjerit saat cahaya menusuk dadanya. Tubuhnya terbakar dari dalam.
“EVE—!!!”
Pedang cahaya di tangannya pecah, lalu seluruh tubuhnya meledak jadi serpihan cahaya, lenyap tanpa jejak.
Lyneve menjerit histeris. Kabutnya pecah tak terkendali. Ia berusaha menahan tubuh Jake dengan kabutnya, tapi hanya abu yang tersisa di tangannya.
“Tidak… JAKE!!”
Amarahnya meledak. Matanya bersinar putih, kabutnya menjelma pedang-pedang hitam raksasa yang menghantam para dewa tanpa henti.
“Aku… aku tidak akan membiarkan kalian!!”
Namun segel Eternium terus menelan segalanya. Kabutnya terkikis, tubuhnya ikut terbakar. Kulitnya retak, darah hitam menetes.
Ruan berlari ke arahnya, panik.
“Eve! Hentikan! Kau akan—”
Lyneve menoleh, darah membasahi bibirnya. Senyum samar muncul di wajahnya.
“…Guru… terima kasih… sudah memberiku rumah.”
Tubuhnya hancur, kabutnya pecah jadi ribuan belati yang menghilang bersama angin.
Ruan membeku. Tubuhnya gemetar hebat.
Kedua murid yang ia lindungi dengan seluruh jiwanya… mati di depan matanya.
“Aku bersumpah…” suaranya rendah, pecah oleh tangis dan amarah. “…kalian semua… AKU AKAN HABISI KALIAN!!”
Ia meledakkan seluruh kegelapan dalam dirinya. Bayangan raksasa tumbuh, menelan setengah langit. Jeritan dewa menggema ketika tubuh agung mereka hancur terbakar oleh amukan terakhirnya.
Namun sebelum Ruan bisa meraih kemenangan, segel Eternium menutup rapat. Simbol bercahaya mengikat tubuhnya, merantai jiwanya, menyeretnya ke dalam pusaran gelap tanpa akhir.
Ruan meraung, suara patah bercampur amarah.
“LYNEVE!!! JAKE!!!”
Suara itu mengguncang dunia… lalu lenyap.
Para dewa yang tersisa berdiri di atas reruntuhan dunia yang hampir binasa. Tubuh emas mereka retak seperti kaca, darah mengalir, tapi kemenangan akhirnya milik mereka.
Namun mereka tahu: nama-nama itu—Ruan, Lyneve, Jake—tidak boleh dibiarkan hidup di ingatan dunia. Karena legenda melahirkan pemberontakan baru.
Dengan suara bulat, mereka mengucapkan mantra terakhir: menghapus jejak mereka dari sejarah.
Dan seketika dunia seolah tak pernah mengenal mereka. Murid-murid Ruan yang dulu pernah ada, hilang dari ingatan orang-orang. Sahabat-sahabat mereka lupa. Bahkan bumi pun tak lagi mencatat jejak mereka.
Hanya para dewa yang masih mengingat tragedi itu—dan mereka menyimpannya sebagai rahasia yang tak boleh terungkap.
Namun semangat mereka tetap ada.
bagaikan kabut gelap yang lahir dari darah dan tangisan para roh pendendam… jejak mereka tetap ada, walaupun sebagai rahasia dunia yang paling dalam. Mereka tetaplah hidup di benak para dewa, sebagai mimpi buruk yang tiada akhir.