Arena itu tak pernah hening. Suara kursi berderit bercampur dengan tawa kecil, desis plastik bungkus makanan, dan gelegar kerupuk yang dipatahkan tanpa ampun. Aroma nasi bungkus dengan sambal menyengat bercampur dengan wangi minyak rambut murah, bahkan sesekali tercium bau spidol yang entah dari mana asalnya.
Beberapa petualang tengkurap di meja batu, menulis dengan gerakan malas atau sekadar pura-pura pingsan. Di sudut lain, ada yang sarapan dengan lahap, mulut penuh tapi tetap berceloteh. Tak jauh dari sana, terdengar suara kunyah renyah dari seorang petualang yang sibuk memainkan peran: kedua matanya melotot, tangannya melambai seakan sedang mengucapkan mantra untuk menghipnotis monster imajiner.
Di tengah kekacauan itu, Penjaga Arena berdiri sambil membawa gulungan tugas. Suaranya terdengar setengah tegas, setengah pasrah.
“Ndang dikerjakan, Rek! Jangan sampai aku ngajar sama bayangan,” katanya, dengan nada separuh serius.
Beberapa petualang cekikikan. Yang lain tetap asyik dengan dunia masing-masing. Ada yang menggambar di sudut kertas, goresannya bukan naga atau pedang, melainkan sandal jepit bersayap. Ada pula yang menyusun rencana gosip terbaru, lengkap dengan sketsa bagan alur: siapa suka siapa, siapa ketahuan curi bekal, hingga siapa yang sedang dicurigai punya jurus andalan mencontek.
Pertanyaan pun mulai meluncur. “Penjaga, soal ini maksudnya apa? Kok aku nggak ngerti?”
Suara itu datang dari petualang yang sejak tadi sibuk mengunyah keripik, remahannya jatuh ke gulungan suci. Penjaga hanya bisa menatap, setengah heran, setengah putus asa.
Padahal, soal yang sama kemarin sudah dijelaskan. Bahkan sudah dicatat di gulungan suci dengan tinta biru sakti yang sekarang pudar terkena bekas kuah mie instan. Tapi entah kenapa, setiap pertanyaan muncul seolah sedang respawn seperti slime tak ada habisnya—muncul dengan wajah berbeda, tapi nyawa pertanyaannya tetap sama.
Di barisan belakang, seorang petualang lain mendadak mengangkat tangan, tapi ternyata bukan untuk bertanya. Ia hanya ingin izin ke “sumur” karena kantong airnya bocor terlalu sering. Arena pun makin gaduh, setengah serius, setengah seperti pasar malam.
Saat Penjaga mencoba menjawab pertanyaan slime itu, seorang petualang di pojok mendadak mengangkat gulungan bercahaya. Gulungan itu bukan kitab suci, melainkan lembar yang ditempeli gambar wajah Penjaga dengan ekspresi teraneh: mata melotot seakan melihat hantu sandal, mulut separuh terbuka seperti baru saja diganggu nyamuk.
“Penjaga! Wajahmu sudah jadi stiker guild, lho!” teriaknya dengan bangga, seolah menemukan harta karun.
Arena pun berguncang tawa. Ada yang sampai memukul meja, ada yang terbatuk karena cemilannya nyangkut di tenggorokan, ada juga yang refleks menirukan ekspresi stiker itu hingga wajahnya sendiri berubah seperti karakter kartun gagal.
Penjaga menggeleng, pura-pura sewot. “Harusnya kalian bayar royalti! Minimal satu koin emas setiap stiker yang meluncur!” katanya, mencoba menjaga wibawa yang sebenarnya sudah luntur sejak tadi.
Sontak makin ramai. Seorang petualang di barisan depan bahkan pura-pura menawarkan bayaran dengan kelereng, sambil berkata lantang, “Penjaga, aku punya koin edisi terbatas! Bisa buat beli kerupuk dua bungkus!”
Gelak tawa meledak lagi. Gulungan suci pun hampir terbang tersapu angin akibat hentakan meja yang dipukul berirama oleh para petualang.
Langkah berat terdengar dari kejauhan. Dumm… dumm… dumm…
Setiap kali kaki raksasa itu menghantam tanah, arena bergetar seperti hendak runtuh. Retakan menjalar, menganga, seolah siap menelan siapa pun yang tak sigap.
Lalu terdengar deru napasnya—bukan sekadar hembusan, melainkan badai yang menyapu kertas, meniup rambut para petualang sampai berantakan. Satu dua gulungan tugas hampir terbang ke langit-langit.
Dan ketika akhirnya wujudnya muncul, tatapan matanya menyapu ruangan. Dua sinar merah menyala, memotong udara seperti laser. Siapa pun yang tertangkap dalam sorot itu, langsung menegakkan punggung, menahan napas, pura-pura sibuk dengan gulungan masing-masing.
Boss Dungeon berdiri di pintu, diam, tapi aura tekanan menjalar ke setiap sudut arena. Seakan waktu berhenti, bahkan sendok nasi bungkus pun mendadak membeku di udara, nyaris jatuh.
Arena yang tadinya riuh mendadak membeku. Petualang yang tadi tengkurap pura-pura pingsan, kini mendadak sadar total, duduk tegak lurus seakan tulangnya ditarik kawat baja.
Yang tadi sarapan nasi bungkus langsung menyembunyikan sendok ke balik gulungan tugas, pura-pura menulis sambil masih ada nasi di mulut. Krupuk yang sudah setengah dimakan ditaruh di bawah meja, diam-diam berderak krek… krek… menahan protes.
Seseorang yang tadi berlagak bisa menghipnotis monster, buru-buru mengayunkan tangan ke teman di sebelahnya, berbisik, “Kamu sekarang ayam. Cepat, berkokok biar dia pergi.”
Tapi temannya malah refleks “Kukuruyuuukkk!” — dan seketika seluruh arena menahan tawa, dada bergetar, bibir digigit agar tak meledak.
Ada pula yang panik kebablasan: gulungan tugasnya jatuh, buru-buru dipungut tapi malah terselip di sandal.
Penjaga Arena cuma bisa menghela napas panjang, setengah ingin tertawa, setengah ingin amnesia.
Sementara itu, Boss Dungeon berdiri kaku di pintu, tatapan laser masih menyapu. Setiap petualang berpura-pura khusyuk, menulis seolah-olah sedang mencatat wahyu terakhir sebelum kiamat.
Tatapan laser Boss Dungeon makin tajam. Arena mendadak sepi bagai kuburan. Hanya bunyi kruk… kruk… kerupuk di bawah meja yang masih berusaha hidup, seperti makhluk terakhir yang menolak punah.
Lalu, dengan kode tak tertulis, para petualang sepakat melakukan manuver absurd untuk menyelamatkan diri.
Petualang pertama — yang terkenal paling malas — tiba-tiba berdiri, mengangkat gulungan tugas tinggi-tinggi. Dengan suara penuh wibawa (padahal gemetar), ia berseru,
“Bos, lihat! Kami semua sedang mencatat dengan penuh semangat dan… mendalam!”
Padahal isi gulungan cuma coretan naga stickman yang terlihat lebih mirip cacing tersenyum.
Petualang kedua merogoh saku. Dari sana, keluarlah kipas kecil USB yang entah kenapa selalu dibawa ke arena. Ia menyalakannya, lalu diarahkan ke wajah Boss Dungeon.
“Biar nggak gerah, Bos. Angin segar, angin segar…” katanya, nyengir sambil hampir keringetan sendiri.
Petualang ketiga — si jago drama — mendadak batuk berat. “Uhuk, uhuk… aduh, aku tak sanggup bertahan kalau aura Boss terus begini… kasihanilah kami yang lemah ini…”
Ia menjatuhkan diri ke lantai, berguling sekali biar lebih meyakinkan, lalu berpose seperti korban peperangan epik.
Dan klimaksnya, seisi arena bangkit kompak, menyanyikan lagu random yang entah darimana datangnya. Suaranya fals, nadanya kacau, tapi penuh semangat:
🎶 “Bila hati bosan, marilah pulang, jangan kau lama-lama di sini…” 🎶
Boss Dungeon tertegun. Tatapan lasernya meredup, berganti ekspresi antara jengkel, bingung, dan mungkin sedikit nyesek.
Arena menahan napas.
Mungkinkah… strategi absurd ini berhasil?
Boss Dungeon akhirnya berbalik, melangkah pergi dengan langkah berat yang membuat lantai arena bergetar. Pintu menutup pelan.
Hening sesaat. Lalu—
“YEEEEESSSSS!!!”
Arena pecah. Petualang yang tadi pura-pura pingsan langsung salto kecil. Yang kipasan USB menyalakan kipasnya lebih kencang, seakan merayakan kemenangan. Si jago drama berdiri dari lantai, langsung mengganti pose menjadi gaya heroik.
Penjaga Arena hanya bisa menepuk jidat, tapi senyum tipis tak bisa ia sembunyikan.
“Rek, ayo kumpul, foto dulu buat kenang-kenangan. Kapan lagi kita survive dari Boss Dungeon?” seru salah satu petualang.
Maka berjejerlah mereka, masih dengan ekspresi absurd masing-masing: ada yang megang kerupuk sisa, ada yang pamer gulungan stickman, ada yang pasang wajah hero padahal keringetan. Penjaga Arena ikut terseret ke tengah, dipaksa senyum.
Klik! Cahaya kilat kristal magis menyambar, mengabadikan momen.
Foto itu penuh wajah tak selaras: ada yang masih menggenggam kerupuk, ada yang menyorongkan stickman naga dengan bangga, ada yang berpose bak pahlawan murahan, dan Penjaga Arena yang akhirnya ikut terseret di tengah.
Tawa pun pecah, deras, tak terbendung. Seakan segala tegang yang tadi memenuhi udara runtuh begitu saja.
Dari luar, arena tampak seperti ruang yang riuh tanpa aturan—kacau, tapi hangat. Sebuah tempat di mana absurditas justru menjelma cara bertahan.
Dan ketika riuh itu perlahan mereda, yang tersisa hanyalah sekelebat rasa lega, ringan, nyaris tak terdengar.