Kos tua di ujung gang, itu terkenal angker. Dari sepuluh kamar, hanya sembilan yang terisi. Kamar nomor tujuh selalu terkunci, meski pemilik kos bilang tak ada masalah di dalamnya.
Rina, salah satu penghuni baru, sering merasa merinding tiap kali melewati pintu kamar itu. Bau amis samar kadang tercium, dan lampu di lorong sering berkedip hanya di dekat pintu nomor tujuh.
Suatu malam, saat hendak ke dapur, Rina menemukan sebuah amplop cokelat terselip di bawah pintu kamar kosong itu. Tangannya gemetar saat ia memungutnya. Tertulis: "Untuk yang membaca, tolong bebaskan aku."
Dada Rina berdegup keras. Ia menatap sekeliling dengan sunyi. Dengan ragu, ia membuka amplop itu. Di dalamnya ada kertas kusut, bertuliskan huruf-huruf bergerak:
"Jangan percaya pemilik kos. Aku masih di sini. Tolong buka kamar ini, sebelum aku benar-benar tak bisa keluar."
Rina terperangkap. Ia tahu, kunci kamar nomor tujuh selalu digantung di ruang tamu, tepat di samping pintu masuk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kunci itu dan kembali ke lorong.
Dengan tangan bergetar, ia memasukkan kunci ke lubang. Begitu pintu terbuka, udara dingin menyerang. Ruangan itu kosong—tidak ada ranjang, tidak ada lemari. Hanya sebuah lantai berdebu... dan sebuah cermin besar di dinding.
Di permukaannya, Rina melihat suatu bayangannya sendiri. Tapi ada sesuatu yang aneh,dari bayangan itu, tersenyum padanya, padahal ia tidak.
Sebelum sempat mundur, suara lembut terdengar dari dalam cermin:
"Akhirnya... ada yang mau menukar tempat denganku."
Lampu lorong padam. Pintu menutup dengan sendirinya dengan keras. Dan sejak malam itu, kamar nomor tujuh kembali terkunci—namun kini, jika ada yang berani mengetuk, kadang terdengar seseorang menangis dari dalam kamar itu.