Angin musim semi bertiup lembut, membawa serta kelopak-kelopak sakura yang berguguran seperti hujan pink yang lembut. Arata berjalan pelan di bawah terowongan pohon sakura di Taman Ueno, Tokyo. Sebagai seorang mahasiswa seni, ia datang ke sini bukan hanya untuk menikmati keindahan bunga nasional Jepang, tetapi juga untuk mencari inspirasi. Kanvas putih di pangkuannya masih kosong, menunggu sentuhan kuasnya yang penuh perasaan.
Di tengah kerumunan orang yang berfoto dan tertawa, matanya tiba-tiba tertangkap pada sebuah sosok di kejauhan. Seorang wanita muda berdiri di bawah pohon sakura yang paling rimbun, mengenakan kimono berwarna biru laut dengan motif burung bangau putih yang terbang bebas. Rambut hitam panjangnya diikat dengan sederhana, memamerkan leher jenjangnya yang anggun. Tapi yang paling menarik perhatian Arata adalah senyumnya. Senyum yang tidak terlalu lebar, namun begitu tulus dan hangat, seolah-olah cahaya matahari musim semi yang berhasil menembus awan.
Arata terpaku. Ia lupa bahwa ia datang ke sini untuk melukis. Ia lupa bahwa angin semakin kencang dan kelopak sakura semakin banyak berguguran. Dunianya seolah-olah berhenti berputar, dan hanya ada wanita itu di dalamnya. Tanpa sadar, tangannya mengambil pensil dan mulai membuat sketsa di bukunya, mencoba mengabadikan sosok yang baru pertama kali dilihatnya namun sudah berhasil merebut seluruh perhatiannya.
Wanita itu bergerak, dan Arata panik. Ia tidak ingin kehilangan sosok itu. Dengan cepat, ia menyimpan buku sketsanya dan berjalan mendekat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria mendekati wanita itu dan membungkuk hormat. Arata menghela nafas, merasa kecewa. Mungkin wanita itu sudah memiliki kekasih.
Dengan hati yang sedikit berat, Arata memutuskan untuk kembali ke tempat semula dan mencoba melukis dari ingatannya. Namun, ia tidak bisa. Pikirannya hanya penuh dengan sosok wanita berkimono biru itu.
Beberapa hari berlalu, dan Arata tidak bisa melupakan wanita itu. Ia kembali ke Taman Ueno setiap hari, berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ia bahkan sudah menyelesaikan lukisan wanita itu, meskipun hanya dari ingatan, dan hasilnya sangat memukau. Lukisan itu memancarkan kebahagiaan dan kedamaian yang ia rasakan saat melihat wanita itu untuk pertama kali.
Pada suatu sore, ketika Arata duduk di bangku taman sambil menatap lukisannya, ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Ketika ia menoleh, jantungnya hampir berhenti berdetak. Wanita berkimono biru itu berdiri di sampingnya, tersenyum.
"Sumimasen," ucapnya lembut. "Apakah ini saya?"
Arata terkejut dan bingung. Ia mengangguk pelan, tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
Wanita itu tertawa kecil, suaranya seperti lonceng kecil yang berbunyi. "Aku melihatmu sedang melukisku beberapa hari yang lalu. Aku penasaran dengan hasilnya."
Arata akhirnya bisa mengendalikan dirinya. "Aku... aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman. Aku tidak bermaksud..."
"Tidak, tidak apa-apa," potong wanita itu. "Aku justru terhormat. Lukisanmu sangat indah."
Mereka duduk di bangku itu, berbicara tentang banyak hal. Arata mengetahui bahwa namanya adalah Yuki, seorang mahasiswi sastra yang juga sedang mencari inspirasi di taman itu. Pria yang ia lihat beberapa hari yang lalu adalah kakaknya yang datang untuk menjemputnya.
"Kenapa kau memakai kimono di taman itu hari itu?" tanya Arata penasaran.
Yuki tersenyum. "Hari itu adalah hari ulang tahun kakekku. Beliau sangat menyukai sakura, jadi setiap tahunnya, aku datang ke sini untuk mengenangnya dan membawakan bunga."
Arata terdiam, merasa tersentuh dengan cerita Yuki. Ia pun menceritakan tentang dirinya, tentang passion-nya dalam melukis, dan bagaimana Yuki memberinya inspirasi yang selama ini ia cari.
Mereka bertemu lagi di taman itu keesokan harinya, dan hari berikutnya. Arata membawa kanvasnya dan melukis pemandangan taman dengan Yuki di sisinya. Yuki membawa buku sastranya dan membacakan puisi untuk Arata. Mereka tidak pernah kehabisan kata-kata, seolah-olah sudah saling mengenal sejak lama.
Pada hari terakhir festival sakura, Arata membawa Yuki ke sebuah bukit kecil di dekat taman yang menawarkan pemandangan seluruh taman yang dipenuhi dengan bunga sakura. Dari atas sana, mereka bisa melihat lautan pink yang membentang luas.
"Kenapa kau membawaku kemari?" tanya Yuki.
Arata mengambil nafas dalam-dalam. "Karena aku ingin mengatakan sesuatu. Hari pertama aku melihatmu di bawah pohon sakura itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku merasa seperti sudah mengenalmu selamanya. Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku... aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama."
Yuki menatap Arata dengan mata berbinar. Ia tidak menjawab langsung, tapi menggenggam tangan Arata. "Aku juga merasakannya. Ketika aku melihatmu sedang melukis di kejauhan, ada perasaan aneh yang menyelinap di hatiku. Aku merasa tenang dan bahagia."
Arata tersenyum bahagia. Ia mendekat dan perlahan memegang tangan Yuki. "Bisakah aku melukismu lagi? Kali ini, sebagai kekasihku?"
Yuki mengangguk, air mata bahagia mengalir di pipinya. "Hanya jika kau mengizinkanku menjadi muse-mu selamanya."
Di bawah langit senja yang berwarna jingga, dengan kelopak sakura yang berguguran di sekitar mereka, Arata dan Yuki berjanji untuk menghabiskan sisa hidup mereka bersama. Cinta yang dimulai dengan sebuah pandangan di bawah pohon sakura itu akan tumbuh dan berkembang, sekuat dan seindah pohon itu sendiri.
Dan setiap musim semi, mereka akan kembali ke Taman Ueno, duduk di bawah pohon sakura yang sama, mengenang hari pertama mereka bertemu. Hari ketika cinta mereka mekar, indah dan abadi, seperti bunga sakura yang selalu dinantikan.