Work in Progress
Udara dingin, mentari seakan menyembunyikan diri, meski pagi hari tapi terasa mendung, terdengar rintik bunyi hujan jatuh di atas atap menjadikannya melodi yang indah bagi sebagian orang.
Ceora duduk di bangku belakang kelasnya, sesekali mencoba menutupi bekas memar di lengan serta kakinya, ia bahkan tak menyangka kenapa itu bisa muncul secara tiba tiba, padahal selama ini ia tak pernah terjatuh atau menabrak sesuatu, namun rasa sakit itu nyata.
“Itu, Ceora di pukuli orang tuanya ya?” bisik seorang gadis yang duduk tepat di samping Ceora, namanya Misha, rambutnya gimbal dan sering dikuncir dua. “Gak nyangka cewek secantik dia diperlakukan kayak gitu.”
Sementara Ceora hanya menundukkan kepalanya, ia sudah berusaha memberitahu kalau luka memar di tubuhnya tak ada hubungan dengan pembullyan atau KDRT, tapi siapa yang akan mempercayainya karena ia sendiri tak tahu memar itu muncul.
Saat lonceng tanda pelajaran di mulai, Ceora merasakan banyak pasang mata menatap dirinya, walau bukan dalam artian jahat, ada yang penasaran, merasa sedih atau bahkan ingin membantu.
Tanpa terasa pelajaran selesai, dan sudah waktunya untuk istirahat, Misha yang awalnya duduk di samping akhirnya berdiri dan menghampiri Ceora, ia menarik salah satu bangku dan duduk di sana.
“Cherry, kamu kenapa? Apa dipukul lagi?” tanya Misha, suaranya terdengar sedih seolah dirinya lah yang mengalami itu. “Kamu bisa cerita sama aku kok~”
“Makasih loh, Mimi, tapi—” Ceora menarik nafas perlahan sembari menutupi memar di tubuhnya. “Kalaupun aku bilang, kamu pasti tak akan mempercayainya kan?”
“Aku janji gak bakal.” ucap Misha dengan mata berkilat. “Apapun ucapanmu pasti akan aku dengarkan.”
Namun sebelum Ceora sempat mengatakan sesuatu, seorang pemuda berambut pirang acak acakan masuk ke kelas itu, ia langsung berjalan hingga ke depan meja.
“Udah mau selesai istirahatnya, tapi kalian malah berleha leha di sini.” ucap pemuda itu setengah bercanda. “Kuy ikut ke kantin, keburu kantinnya ilang.”
“Mana bisa kantin ilang?” Misha memutar matanya dengan malas, tapi ia tetap berdiri, lalu dengan perlahan ia menarik lengan Ceora. “Nanti aku traktir deh.”
“Ngomongnya traktir, tapi ujung ujungnya bayar sendiri juga.” sambung cowok pirang itu, ia berjalan ke arah pintu seolah berperan sebagai seorang pangeran, walau perbedaanya sejauh langit dari bumi.
Karena Ceora di tarik, ia pun terpaksa harus ikut, dalam perjalanan di lorong, ia melihat seorang cowok mengenakan kacamata bundar tapi sepertinya tak ada lensa, di tangannya banyak sekali snack yang sepertinya bukan milik cowok itu.
Ketika mereka berpapasan, mata mereka tertaut selama beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan masing masing, tapi dalam hati Ceora terdapat rasa penasaran dan menoleh ke belakang, melihat punggung cowok itu yang perlahan menghilang ketika berbelok.
“Itu siapa?” tanya Ceora, sembari melangkahkan kaki ke kantin.
“Kalau gak salah namanya Reza, tapi entahlah.” Misha berkata sambil mengangkat pundaknya. “Tapi jangan salah paham, dia itu tak seperti yang terlihat.”
Sementara cowok pirang yang ternyata bernama Leonel, hanya menatap ke arah tatapan Ceora sebelum akhirnya melihat ponselnya, ia bahkan tak peduli apapun selain makan di kantin.
Saat sampai di kantin, Misha langsung berdiri dan memesan beberapa makanan, ia bahkan sudah hafal pesanan dari dua temannya itu, sampai alergi mereka tanpa terlewat satu detail pun.
Beberapa saat kemudian Misha kembali dengan tiga trayek makanan, bahkan ia malah terlihat seperti seorang akrobat ketika beraksi, langkahnya pelan seolah mencegah agar tray dalam tangan dan di atas kepalanya tak jatuh.
“Mimi, kenapa kamu segitu amat?” Ceora bertanya setelah melihat temannya seperti tengah kesusahan. “Mau aku bantu?”
“Ya elah, di rumah kayak gini mah biasa aja.” Misha berkata, lalu meletakkan trayek di tangan kirinya dan diberikan pada Lionel. “Kamu alergi kacang kan? Jadi aku pastikan tak ada di dalam makananmu, bahkan sudah kucek sampai 10 kali.”
“Pantesan lama.” Lionel menggerutu tapi tetap mengambil tray makanan itu.
“Kalau Ceora gak suka yang pedes, jadi aku minta ke penjaga kantin biar makanannya yang bisa di makan anak usia 3 tahun.” ucap Misha sambil menyodorkan tray dari tangan kirinya.
Setelah tangannya bebas, Misha membungkuk sedikit dan meletakkan tray dari atas kepalanya ke atas meja. “Kalau aku mah bisa makan apa aja.” ucapnya setengah bangga.
Makanannya sangat merah seperti lautan api, membuat Ceora sedikit bergidik. “Apa gak pedes tuh?” tanyanya sedikit penasaran. “Kebanyakan bisa sakit perut loh.”
“Santai aja kali, toh gak ada yang peduli...” Misha terdiam dan bahkan sendok di tangannya terjatuh, karena ia melihat wajah dua temannya penasaran akhirnya ia tertawa. “Serius amat sih jadi orang, btw jangan lupa tugas dari pak Surya, kalau lupa nanti di suruh berdiri di tengah lapangan loh.”
“Kita peduli sama kamu kok, bener gak Cherry?” tanya Lionel sambil menatap ke depan. “Bukankah kita ini teman abadi? Btw besok biar aku traktir ya?”
“Nah bener tuh kata Leo, teman itu harus saling membantu.” ucap Ceora sambil sesekali mengusap punggung Misha. “Kalau ada masalah jangan ragu bagikan sama kita.”
“Banget dong.” ucap Misha sambil tersenyum lebar.
Mereka pun melanjutkan makan seperti biasa, kadang membicarakan hal hal random seperti upacara bendera beberapa hari lalu yang menjadi tragedi karena lagu sudah selesai tapi bendera masih di tengah, terus pas udah selesai dan bendera naik, 5 menit kemudian malah merosot dan akhirnya jadi setengah tiang.
“Itu gila sih ceritanya.” ucap Lionel, ia bahkan sampai ketawa ngakak dan memukul meja saking bersemangat. “kelas kita emang agak lain.”
“Kamu mah kelas 10D, kocak.” tambah Ceora. “tapi bener sih kelas 10F kayak isinya berandal semua.”
“Aku manis kok.” ucap Misha, sambil memasang wajah lucunya. “Berandal mah itu si Rahmat, dia sering bikin guru stress, padahal cuma ngomong doang, apalagi kalau nakal beneran, bisa meninggoy para guru ngadepin dia.”
Mereka pun tertawa terbahak bahak, sampai akhirnya lonceng tanda istirahat berakhir pun berbunyi, Misha segera mengumpulkan tray dan membawanya ke depan konter.
“Aku balik dulu ya.” Lionel melambai dan berjalan ke kelasnya dengan tangan dalam saku.
Ceora yang merasa harus menunggu Misha, akhirnya pergi ke depan konter. “Mau ke kelas bareng?” tanyanya sambil menyandarkan punggung dekat konter.
“Gak usah nungguin, aku masih harus urusin pembayaran.” ucap Misha, ia mengeluarkan dompet dan menghitung beberapa lembar berwarna merah.
“Kalau mau, aku bisa bayar setengahnya.” Ceora berkata saat menawarkan bantuan. “Kita temen kok.”
“Udah, ga apa apa, lagian bukannya Cherry sering traktir ke kita?” ucap Misha, ia lalu menatap ke arah Ceora. “Mungkin dalam hati kamu berkata itu hanya uang dan tak masalah—tapi aku tidak mau berhutang budi pada siapapun.”
Ceora terdiam, matanya seketika basah, ia pun memeluk Misha dengan sangat erat, seolah baru saja menyadari kalau mereka bukan hanya sekedar teman namun mungkin lebih dari itu, keluarga tanpa hubungan darah.
Misha menepuk pundak Ceora, sesekali mengelusnya pelan. “Aku... Gak bisa... Nafas...”
Ceora segera melepaskan pelukannya, wajahnya memerah karena malu, sambil menyeka matanya dengan punggung tangan. “Maaf, aku terlalu bersemangat kayaknya.” tapi begitu pandangannya melihat lembaran uang Misha ia pun merasa penasaran. “Uangmu dapat dari mana? Perasaan anak SMA kayak kita belum bisa pendapatan banyak.”
“Itu karena...” Misha menggigit bibirnya, wajahnya terlihat pucat tapi ia segera menepisnya. “Dari ayah dan ibu kok, gak ada yang aneh.”
“Kalau begitu aku balik kelas dulu ya?” Ceora melambaikan tangan, tapi karena beberapa alasan ia malah berjalan mundur. “Jangan kelamaan ya?”
“Cherry, jalan yang bener!” teriak Misha dari arah konter.
Setelah melewati belokan, akhirnya Ceora berbalik dan melewati area taman belakang, entah kenapa langkah kakinya malah membawanya ke gudang belakang halaman sekolah.
“Lah kok?” Ceora merasa bingung sendiri, ia bahkan tak sadar bisa berada di sana.
Tapi alih alih berbalik dan kembali ke kelas, ia justru melangkahkan kakinya ke arah gudang, dari luar ia bahkan bisa mendengar suara dari dalam gudang tersebut.
“Hey, Reza!!” ucap seorang pemuda, suaranya terdengar datar.