Ini hanyalah sebuah cerita tentang sepasang sepatu impianku, sudah sejak berbulan – bulan yang lalu aku mengincarnya. Dia hanya sepatu sederhana yang berwarna hitam dan putih pada umumnya, tetapi aku menyukainya. Aku merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bilang kepada orang tuaku bahwa aku mengiginkan sepatu yang tertata rapi di rak itu. Lagipun semester ini aku berhasil juara 2 di kelas, jadi aku merasa percaya diri untuk meminta ayahku membelikan sepatu itu untukku.
''Ma, aku mau sepatu itu,'' kataku, suatu kala aku lewat di depan kiosnya.
Mama hanya menatapku kemudian tersenyum, dan berkata ''minta pada ayah.''
Aku mengerti aku harus meminta kepada ayah daripada mama. Dari situlah aku mulai membantu pekerjaan rumah, membuatkan ayah kopi setiap pagi, dan melakukan hal – hal kecil lainnya yang menurutku akan membuat orang tuaku menyukainya. Hanya demi sepasang sepatu impianku.
Lalu tibalah pada hari ulang tahunku, aku sudah sangat yakin bahwa ayah akan memberikan sepasang sepatu impianku. Dan benar saja, sore itu ayah memberiku sebuah kotak kado, cukup besar kiranya. Aku dengan senyuman membuka kotak yang menurutku berisi sepasang sepatu. Dan ternyata bukan, kotak itu berisi sebuah boneka beruang berwarna coklat. Aku sedih tidak mendapatkan sepasang sepatu itu, kurasa aku sudah dengan jelas minta kepada ayah.
''Naya, apa hadiahmu?'' tanya saudari kembarku dengan suara riang.
Aku hanya diam tanpa berniat menjawab pertanyaan darinya. Aku lebih memilih untuk menutup kembali kotak tersebut dan tersenyum kearahnya.
''Aku dapet sepatu loh, nih bagus kan,'' ucapnya sambil memperlihatkan hadiahnya pada ku.
Itu dia, sepasang sepatu impianku, sepatu yang sudah ku impikan beberapa bulan terakhir ini. Aku hanya mengangguk saja kemudian pergi.
“Nay, kau kenapa?” tanyanya berteriak di sana, tapi aku malas menanggapinya.
Apakah ayah lupa bahwa aku yang menginginkan sepatu itu bukan Naila, atau memang ayah sengaja memberikan sepatu impianku pada Naila. Aku hanya bisa duduk di ujung ranjang malam ini, tanpa berniat untuk makan bersama yang lainnya. Aku sangat mengiginkan sepatu itu, tetapi aku tidak mungkin mengambilnya begitu saja dari Naila, kembaranku. Dia anak kesayangan di keluarga kami, dia anak yang manis dan ramah, aku tau itu.
''Nay, kamu kenapa?'' sebuah suara membuatku cepat - cepat menghapus buliran bening yang mengalir dipipiku.
''Aku gak papa bang,'' jawabku.
''Ayolah Nay,'' ucap abangku itu.
''Aku hanya mengiginkan sepatu itu bang, tapi ayah memberikan sepatu impianku kepada Naila,'' jelasku kemudian.
''Kamu jangan kekanak – kanakan Nay, kan ayah sudah kasih boneka buatmu,'' ucap sebuah suara yang ku kenal, itu ayah.
Memang salah abang sehingga pintu kamarku terbuka, dan ayah berdiri di ambang pintu.
''Tapi Naya sudah minta kepada ayahkan beberapa hari yang lalu, lantas kenapa Naila yang mendapatkannya?'' ucapku dengan lantang, aku kecewa.
''Naila jelas adikmu Nay,'' ucap ayah tak kalah lantang.
''kami hanya selisih 10 menit Yah, selama ini kalian memang lebih menyayangi Naila. Kalian memberikan segala hal yang Naila mau, bahkan kalian memberikan hal – hal yang ku inginkan kepadanya. Kalian semua lupa bahwa kami hanya berjarak 10 menit saja, bukan 10 tahun. Aku juga masih SMP yah,'' ucapku dengan kecewa.
Mereka selalu memikirkan Naila, mereka melupakanku. Mereka membelikan Naila barang – barang baru yang bagus, mendekor kamar Naila layaknya istana putri mahkota, memberikan Naila barang – barang yang ia suka, memperhatikan Naila, dan hal – hal lain yang bersangkutan dengan Naila. Mereka menuruti semuanya. Tapi perlakuan mereka berbeda padaku. Aku tidak pernah meminta barang – barang seperti yang Naila punya. Hanya kali ini saja, untuk pertama kalinya, aku meminta sepasang sepatu kepada ayah, tetapi ayah memberikan barangnya kepada Naila. Tidak salahkan kalau aku iri pada Naila, aku juga ingin disayagi oleh mama dan ayah, seperti sayang mereka kepada Naila. Tapi aku sadar, itu hanya mimpi belaka.
Aku dengan cepat mendorong abang keluar dari kamarku dan menutup pintu dengan keras. Aku melompat ke ranjang dan membenamkan tubuh sampai kepalaku seluruhnya ke dalam selimut. Aku menagis dalam diam, sampai kantuk pun menyerang.
***
''Naya, kamu bawa bekal ini ya, sekalian buat Naila,'' ucap Mama suatu pagi ketika aku akan berangkat sekolah.
Aku menerimanya dan membawa bekal itu bersamaku.
''Maafin mama dan ayah ya Nay, kamu tau kan tubuh Naila sedang kurang sehat, makannya kami berusaha memberikan apapun untuk Naila. Tolong mengertilah,'' ucap Mama sebelum langkah kakiku keluar dari dapur.
Aku berbalik dan tersenyum kearah mama, ''aku tau ma,''jawabku dan berlalu begitu saja.
Sudahlah, aku sudah melupakan cerita tentang sepasang sepatu impianku itu, biarlah dia pergi ke orang lain. Aku sudah senang bisa melihatnya setiap hari melekat pada sosok yang sama persis wajahnya denganku walaupun itu bukan aku, setiaknya aku masih bisa melihat sepatu impianku. Beberapa hari kemudian keluargaku berjalan baik – baik saja setelah drama sepatu impianku.
Malam itu aku merasa haus, aku memutuskan ke dapur untuk mengambil air minum. Tetapi sebelum langkahku sampai di sana, aku melihat mama dan ayah sedang beradu mulut dengan sengit. Suara mereka lirih, sangat lirih malah, tetapi ekspresi mereka tidak bisa berbohong bahwa mereka sedang terlibat dalam adu argumen yang sengit.
''Aku tidak bisa melihatnya seperti itu yah, keputusan kita untuk melakukan oprasi benar,'' ucap mama.
''Ma, operasinya mahal. Kita tidak punya uang sebanyak itu untuk melakukan operasi ma!'' sekarang giliran ayah yang berucap.
''Tapi Naila anak kita yah, kita tidak boleh diam saja.''
''Aku tau!'' satu ucapan ayah, kemudian hening.
''Ayah sudah memutuskan untuk menggadaikan aset – aset kita, termasuk rumah ini untuk pengobatan Naila,'' ucap ayah setelah beberapa lama.
Aku tertegun, ternyata Naila sedang sakit, apa sakit yang diderita oleh Naila sebenarnya. Satu tanda tanya besar memenuhi otakku. Aku dengan cepat kembali ke kamarku, aku tidak ingin ayah dan mama tau kalau aku mendegar obrolan mereka. Malam itu aku tidak bisa tidur, barang sedetikpun.
***
''Nay, kamu di rumah sama abang ya, hari ini mama sama ayah akan membawa Naila berobat, katanya Naila sakit kepala ya Nak,'' ucap mama kepadaku yang dibenarkan oleh Naila.
''Iya ma,'' jawabku singkat, melihat ketiga orang itu memasuki mobil.
Setelah mobil tidak lagi terlihat, aku masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofa ruang tv tepat di samping abang.
''Naila sakit apa bang?'' tanyaku setelah beberapa detik terdiam.
''Mamakan udah bilang, pusing,'' jawab abang. Tidak sesederhana itu, Naila bukan hanya pusing saja, pasti ada apa – apa dengan Naila.
''Bang, beberapa hari yang lalu aku mendegar perbincangan mama dan ayah. Mereka bilang kondisi Naila tidak baik – baik saja, Naila harus melakukan operasi, apakah hari ini Naila operasi?'' tanyaku.
Abang terdiam, dan aku yakin apa yang kupikirkan benar adanya.
''Ya,'' satu jawaban dari abang membuatku lemas, Naila, kembaranku benar – benar operasi.
''Naila sakit apa bang?'' tanyaku menatap lekat abang kandungku itu.
Tanpa mengatakan sepatah katapun, abang bangkit berdiri, ia masuk ke kamar mama kemudian keluar lagi sambil membawa satu map kertas. Abang duduk kembali dan membuka map itu dengan perlahan. Disana terdapat sebuah lembar hasil rongen dari sebuah tengkorak.
''kamu lihat ini? Ini adalah penyakit yang diderita Naila. Kanker otak namanya,'' kalimat dari abang membuatku terdiam.
''Abang sedang tidak bercandakan?''
''Ini hal yang serius Nay, kami sudah memutuskan untuk membiarkan Naila dioperasi.''
''kenapa kalian tidak memberitahuku? Kenapa kalian menyembunyikan ini dariku? Kenapa bang? Aku memang kekanak – kanakan, tetapi aku sayang sama Naila.''
Jika seperti ini aku mengerti. Aku mengerti kenapa ayah dan mama lebih menyayagi Naila, dan memberikan apapun yang Naila inginkan, bahkan sekalipun itu sepatu impianku.