"Gimana? Mau yang mana gaun untuk resepsinya sayang?", Raka mentapaku dengan intens.
Aku tersenyum kecil, mentapa balik tatapan penuh cinta itu. Hari ini aku dan Raka tengah melakukan fitting baju untuk acara pernikahan kami yang hanya tinggal beberapa hari lagi.
"Bentar, masih mau milih dulu bingung tau semuanya bagus", jawabku sembari terus memilah-milah gaun yang cocok.
Raka menyelipkan tangannya di pinggang ku,wajahnya tampak berseri seri.
"Yang mana aja sayang, kamu pake yang manapun pasti cantik kok", wajah tengilnya tampak menyebalkan.
"Ihh udah ga usah gombal, malu diliatin orang", ucapku seraya menjauh darinya.
Sementara Raka dia hanya mengendikan bahu,langkahnya justru terus mengekoriku. Langkah ku terhenti di hadapan sebuah gaun yang terhalang kaca transparan. Indah sekali gaun ini pikirku.
Warnanya elegan desain yang tidak terlalu rumit, pola payet yang modern menambah kesan indah juga sederhana dari balik gaun ini. Mataku berbinar rasanya aku jatuh hati dengan gaun ini.
"Kamu mau yang ini sayang?", suara Raka memecah ketakjubanku.
Tanpa menjawab aku hanya mengangguk dengan wajah dibuat semanis mungkin. Berusaha merayu nya tentu saja, karena harga gaun ini seharga dua kendaraan bermotor.
"Aduhh jangan memelas gituu sayang, boleh kok apapun buat calon istriku ini", tangannya menjawil hidungku.
"Yeayyy", aku bersorak senang sambil memeluk nya.
Beberapa pegawai langsung mengeluarkan gaun itu, dan membantuku untuk memakainya. Kini aku berdiri tepat didepan sebuah cermin besar. Menatap senang kearah tubuh yang telah dibalut gaun nan indah ini.
"Wah cantik sekali kak, pasti calon suami kakak bakal pangling ini mah", seorang pegawai memujiku.
Aku tersenyum senang segera kulangkahkan kakiku menuju Raka yang juga tengah mencoba pakaiannya. Baru saja aku keluar tatapan Raka sudah mengunciku, tatapan yang amat dalam dan penuh cinta.
"Sayang ini cantik banget", tangannya menyentuh kedua bahuku.
"Kita foto yuk mas, buat percobaan nanti pas kita akad haha", ucapku sambil mengeluarkan benda pipih itu dari balik tas kecilku.
"Siap bosss", ucapnya sembari memberikan hormat padaku.
Kami berfoto dibalik kaca besar, aku bisa melihat bagaimana wajah tengil itu terus berpose di depan kamera. Dia memang sangat mudah membuatku senang.
Hari ini kami habiskan seharian dengan proses fitting baju, setelahnya kami juga meninjau bagaimana persiapan pernikahan ini berlangsung. Karena pernikahan akan dilaksanakan di hotel jadi kami hanya perlu berkoordinasi mengenai desainnya saja.
Malam semakin larut hingga akhirnya kami pun sampai dirumah, Raka dengan cekatan membuka pintu mobilnya lalu membantuku keluar.
"Makasih ya mas, mau masuk dulu gak? Ibu sama ayah kayaknya belum tidur kok", ucapku lirih.
"Gausah sayang ini udah malem, besok aja aku kesini lagi sambil liat sampai mana proses katering kita berjalan",
"Yaudah deh kamu hati-hati ya di jalan jangan ngebut,"
"Iya sayang siap", ucap Raka sembari mengelus rambutku.
Tapi ada yang aneh dari tatapan Raka malam ini, bukan hanya tatapan bahagia tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Mata indahnya justru terlihat berair, beberapa kali ia mencoba mengusap tetesan air matanya itu.
"Hei, ada apa mas kok kamu nangis", ucapku menatapnya khawatir.
"Ngga tau mungkin mas terlalu bahagia, tapi rasanya kayak ini hari terakhir kita ketemu", ucapnya lirih.
Aku menoyor pelan dahinya.
"Kamu ini kenapa sih? Itu cuma perasaanmu aja. Emangnya mau pergi kemana?" tanyaku sambil tersenyum menenangkan.
Raka hanya diam, senyum kecilnya tampak dipaksakan. Ia lalu mencium keningku lama sekali, seolah enggan melepaskan.
"Sayang, apapun yang terjadi… jangan pernah lupain mas ya."
Aku mengernyit, tapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, Raka sudah berbalik menuju mobilnya.
"Mas pulang dulu. Istirahat ya, jangan tidur malem-malem," ucapnya sambil melambaikan tangan.
Aku mengangguk. Entah kenapa dada terasa sesak melihatnya pergi malam itu. Lampu mobilnya perlahan menjauh, lalu lenyap ditelan gelapnya jalan.
Malam itu aku tak bisa tidur. Berkali-kali mataku terjaga, ada rasa tidak enak yang mengganjal. Sesekali aku mendengar suara klakson samar, seperti dari kejauhan. Jantungku berdegup lebih cepat, padahal di luar sepi.
Keesokan paginya, suara ketukan pintu membangunkanku. Jantungku langsung berdebar lega saat kulihat sosok Raka berdiri dengan senyum hangat.
"Sayang, udah bangun? Ayo, hari ini kita masih harus cek katering."
Aku tersenyum lega, tapi di sela rasa bahagia itu… aku sempat merasa dingin saat tangannya menggenggamku.
****
Selama memeriksa katering, Raka lebih banyak diam tatapannya juga agak kosong. Dia yang biasanya tengil kini justru berubah menjadi pendiam.
"Mas kok kamu ga kayak biasanya sih? Kamu lagi ada masalah? Cerita dong sayang siapa tau aku bisa bantu", ucapku sembari menariknya ketempat yang lebih sepi.
Dapat kurasakan kali ini tangannya jauh lebih dingin.
"Nggak ada apa-apa kok, mungkin aku cuma kecapean aja", bibirnya tersenyum manis.
"Mas tapi badan kamu dingin banget, itu juga muka kamu pucat gitu, kita ke dokter yuk biar diperiksa", aku meraba wajahnya yang terlihat sangat pucat itu.
"Ga usah sayang, aku cuma perlu istirahat sebentar nanti juga sehat lagi", ia melepaskan tanganku dari wajahnya.
"Yaudah kalo gitu kita pulang sekarang yuk, aku anterin", ucapku menawarkan.
"Gak usah sayang, aku pulang sendiri aja masih banyak yang harus diperiksa disini. Maaf ya aku ga bisa nemenin kamu ", ucapnya pelan.
"Iya mas gak papa, yang penting sekarang kamu bisa istirahat dulu, hati-hati ya dijalan,inget kamu harus sehat lima hari lagi kita nikah loh",
Raka tersenyum sendu, " iyaa sayang aku pasti bakal sembuh kok", tangannya mengelus pucuk rambutku.
Raka tampak menaiki mobilnya, lalu melambaikan tangannya padaku. Tak menunggu lama mobil itu pun tampak menjauh dari tempat ini. Kulangkahkan kaki ini kembali masuk kedalam gedung. Baru saja sampai di pintu gedung, Indah sahabatku menghampiri.
"Laras, si Raka ga kesini? Kok tumben lo sendiri ", ucapnya sambil menulis beberapa menu yang belum ada di katering.
"Baru aja dia balik, emang lo ga liat dari tadi dia sama gue", ucapku.
"Hah masa sih, kok gue ga liat jangan bohong deh lu gue jadi merinding nih", matanya seperti ketakutan.
"Apaan si orang beneran kok, emang kalian ga liat mobil Raka tadi? Buta lo pada hah", entahlah aku tiba-tiba saja merasa marah ,bisa bisanya mereka ga liat Raka ada disini.
"Jangan marah gitu dong, ya maaf mungkin gue yang ga liat", tangannya kembali menulis dan enggan menatapku.
****
Malam harinya aku mencoba menghubungi Raka tapi, nomernya tidak aktif. Aku benar-benar merasa khawatir bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya. Kubaringkan tubuh ini sambil sesekali menatap layar handphone. Berharap Raka segera menghubungi ku.
Namun nihil jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, Raka tak kunjung menghubungi ku. Saat mata ini akan terpejam tiba-tiba saja gorden kamarku tersibak pelan memperlihatkan kaca jendela yang belum tertutup dengan rapat.
Aku berdiri hendak menutup jendela kamar, namun tangan ku terhenti saat mata ini melihat sosok yang ku kenal tengah duduk di kursi taman depan rumah. Itu Raka, sedang apa dia disana kenapa tidak masuk saja.
Aku berlari kecil, membuka pintu rumah tanpa sempat mengenakan sandal. Rumput yang dingin basah karena embun menempel di telapak kakiku.
“Mas… kenapa di sini? Bukannya harusnya masuk aja ke rumah?” tanyaku setengah kesal.
Raka perlahan menoleh. Senyum itu tetap sama… hangat, penuh cinta, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri. Matanya mata yang biasanya bercahaya kini tampak keruh dan kosong. Seolah ada jarak antara aku dengan dirinya.
“Mas kangen… pengen liat kamu lagi,” ucapnya lirih. Suaranya pelan, bergetar, nyaris tenggelam dalam hembusan angin malam.
Aku menggenggam tangannya. Astaga. Dingin sekali. Bahkan lebih dingin dari embun malam. Jari-jarinya kaku, tidak seperti biasanya. Aku menelan ludah, mencoba menormalkan keadaan.
“Mas ini kenapa? Badan mas dingin banget. Udah ah, ayo masuk,” aku menariknya berdiri.
Namun anehnya, tubuhnya terasa begitu ringan, seperti menarik angin. Dan saat aku menoleh sekilas ke arah jendela kamar… aku melihat bayanganku sendiri tapi di sebelahku tidak ada siapa-siapa.
Aku tertegun. Pandanganku kembali pada Raka yang kini tersenyum samar, wajahnya semakin pucat, hampir transparan disinari cahaya bulan.
“Sayang…” ia menatapku dalam, “…kalau mas ga bisa nemenin kamu di hari pernikahan nanti… jangan benci mas ya.”
Dadaku sesak. Air mataku hampir pecah, entah karena takut atau sedih.
“Mas ngomong apa sih? Jangan bercanda! Kita tinggal lima hari lagi, mas! Jangan gitu… jangan ninggalin aku…”
Raka mengusap lembut pipiku, meski sentuhannya hanya menyisakan dingin yang menusuk.
“Mas selalu ada… meski kamu nggak bisa melihat.”
Seketika angin bertiup kencang, gorden kamarku di lantai atas berderik terbuka, dan lampu jalan di depan rumah berkedip-kedip. Saat aku kembali menatap kursi taman… kursi itu kosong.
Aku berdiri terpaku, tubuhku gemetar hebat. Aroma melati yang kuat tiba-tiba memenuhi hidungku. Malam itu aku menangis tanpa suara, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
*****
Pagi itu aku terbangun dengan mata sembab, wajah masih basah oleh air mata. Aku sempat berpikir semua kejadian semalam hanyalah mimpi buruk. Tapi saat membuka jendela kamar, kursi taman itu masih ada… kosong, basah oleh embun, dan di atasnya tergeletak setangkai bunga melati layu.
Jantungku serasa berhenti. Aku yakin Raka yang menaruhnya.
Belum sempat aku meraih bunga itu, suara gaduh dari luar rumah membuatku terhenti. Beberapa tetangga terlihat berbisik-bisik, wajah mereka muram. Tak lama kemudian ponselku berdering nomor Indah.
“Larasss… lo di rumah kan? Jangan kaget ya… gue baru dapet kabar dari polisi…,”
suaranya terdengar parau, hampir seperti menangis.
“Apa maksud lo, Ndah?!” suaraku meninggi, tubuhku gemetar hebat.
Indah terisak, “Raka… Laras…semalam Raka ditemukan kecelakaan di jalan tol. Mobilnya ringsek parah. Dia… dia udah ga ada, Ras.”
Aku membeku. Ponsel hampir terlepas dari tanganku. Suara di sekitarku mendadak hening, hanya degupan jantungku yang terdengar begitu keras.
“Bo… bohong lo Ndah…! Gue barusan ketemu Raka semalem! Dia duduk di taman depan rumah! Gue ngobrol sama dia! Gue… gue bahkan nyentuh dia…!” suaraku pecah, tangisku meledak.
“Larass… tolong sadar! Itu nggak mungkin… Raka ditemukan meninggal di lokasi kejadian sekitar jam sebelas malam. Gue ikut ke RS tadi subuh. Gue liat sendiri jasadnya…”
Aku langsung terduduk di lantai. Napasku terengah, tanganku menutup mulut tak percaya. Kalau benar Raka meninggal jam sebelas malam… lalu siapa yang duduk di kursi taman, menggenggam tanganku, bahkan mengusap pipiku?
Air mataku jatuh deras. Pandanganku kabur. Di luar jendela, aku masih bisa melihat kursi taman itu. Kursi yang semalam menjadi saksi bisu, bahwa Raka benar-benar datang menemuiku… meski bukan lagi sebagai manusia.
Di sela isak tangis, aku teringat kata-kata terakhirnya:
“Mas selalu ada… meski kamu nggak bisa melihat.”
Tubuhku bergetar hebat. Aku menjerit histeris, berulang kali menyebut namanya.
“Rakaaa… jangan tinggalin aku…! Kita janji nikah, mas! Jangan pergi… jangan tinggalkan aku sendiri!”
Namun yang menjawab hanya bisikan angin dingin yang masuk dari jendela, membawa lagi aroma melati yang menusuk inderaku.
*****
Hari-hari setelah kabar duka itu berjalan bagai mimpi buruk. Semua orang sibuk membicarakan kecelakaan Raka, sementara aku… aku masih terjebak dalam penolakan. Aku tidak mau percaya. Bagiku, Raka belum pergi.
Dan memang… ia belum benar-benar pergi.
Malam-malamku dipenuhi kehadirannya. Kadang aku mendengar ketukan di jendela kamarku, pelan… berulang kali, seolah seseorang ingin masuk. Kadang ada suara langkah kaki di lorong rumah, padahal semua orang sudah tidur. Bau melati semakin sering menyeruak, mengisi seluruh kamar.
Suatu malam, aku terbangun karena mendengar suara lirih tepat di samping telingaku.
“Sayang…”
Aku terlonjak, menoleh ke kanan. Raka duduk di tepi ranjangku. Senyumnya tetap sama, meski wajahnya kini pucat, dan di pelipisnya tampak noda merah samar seperti darah yang kering.
“Mas…” air mataku langsung tumpah. Aku meraih tangannya, meski hanya rasa dingin menusuk yang kutemukan. “Kenapa mas di sini? Bukannya… mas udah…” aku tak sanggup melanjutkan.
Raka menatapku dengan sendu.
“Kita janji, Ras. Mas nggak mau pergi sebelum janji itu terpenuhi. Lima hari lagi… seharusnya hari paling bahagia kita, kan?”
Aku menangis makin keras, memeluk tubuhnya yang kaku itu. Meski rasanya seperti memeluk kabut, aku tak peduli.
“Mas… aku takut… ini bukan lagi kebahagiaan, tapi kutukan…”
Raka tersenyum samar, lalu berbisik di telingaku:
“Jangan takut. Mas akan datang… di hari itu. Meski hanya sebentar.”
Lalu ia menghilang, tubuhnya lenyap dalam pelukan, menyisakan udara dingin dan aroma melati yang menyesakkan.
****
Hari pernikahan semakin dekat. Aneh, semua persiapan berjalan mulus seakan ada yang membantu di balik layar. Gaun pengantin yang kupilih waktu itu, tiba-tiba sudah tersampir rapi di kamarku padahal seharusnya masih di butik.
Lilin-lilin dekorasi di gedung resepsi selalu menyala sendiri meski belum ada yang menyalakan.Indah, sahabatku, mulai curiga dengan tingkahku.
“Laras, lo masih sering ngerasa Raka ada, kan?” tanyanya hati-hati.
Aku menunduk, tak mampu menyangkal.
“Ndah… dia janji. Dia janji masih akan datang. Gue nggak boleh lupain dia.”
Indah menggenggam tanganku erat, wajahnya ketakutan.
“Ras… itu bukan lagi cinta. Itu arwah. Lo harus siap kalau nanti ‘kedatangannya’ bukan cuma buat nemenin, tapi… buat nuntut sesuatu.”
Kata-kata Indah menusuk hatiku. Namun di satu sisi, aku tahu… aku juga tidak bisa lepas dari Raka.
****
Malam sebelum hari akad, aku tak bisa tidur. Ruangan terasa semakin dingin, napas membeku. Lalu… terdengar suara pintu terbuka pelan. Aku menoleh dan di sana, Raka berdiri dalam balutan jas pengantin berwarna putih.
Ia terlihat begitu tampan… sekaligus begitu menakutkan.
“Besok… hari kita, Sayang,” ucapnya lirih.
Aku gemetar, tapi bibirku bergetar mengucapkan, “Iya, Mas… besok hari kita.”
Dan malam itu, aku tahu esok aku akan menikahi seseorang yang tidak lagi hidup.