Bab 1 – Anak yang Tak Diinginkan
Malam di desa itu terasa berat. Langit mendung, dan di rumah kayu tua, seorang gadis kecil duduk menatap lantai. Namanya Alya, yatim piatu sejak usia belia. Ayah dan ibunya meninggalkan dunia dalam kecelakaan yang tak pernah bisa ia lupakan. Kini, ia hanya tinggal bersama kakeknya yang renta.
Namun, bukannya kasih sayang dari keluarga besar, yang ia dapat hanyalah tuduhan. “Kamu pembawa sial,” kata paman dan bibinya. Bagi mereka, sejak Alya lahir, musibah datang bertubi-tubi.
Kakeknya tak bisa berbuat banyak. Di usia yang menua, ia hanya bisa berdoa agar cucunya kuat menghadapi semua cercaan itu. Hingga suatu hari, dengan alasan agar Alya mendapat “pergaulan yang baik”, keluarganya mengirim Alya ke sebuah pesantren di kota kecil.
Bab 2 – Pesantren dan Pertemuan Takdir
Hari-hari di pesantren tak mudah. Alya berusaha menyesuaikan diri, belajar ikhlas meski hatinya penuh luka. Di sanalah ia bertemu Farhan, seorang santri senior yang dikenal baik dan rajin membantu siapa pun. Farhan sering membela Alya saat teman-temannya mengejek latar belakang keluarganya.
Namun, kebaikan itu justru menimbulkan masalah baru. Desas-desus mulai beredar—bahwa Alya dan Farhan terlalu dekat. Fitnah menyebar cepat.
Bab 3 – Pernikahan yang Tergesa
Keluarga Alya yang sejak awal membencinya merasa nama mereka tercoreng. Untuk “menutupi malu”, mereka memaksa Alya menikah dengan Farhan. Tak ada pilihan bagi keduanya. Pernikahan itu berlangsung sederhana, tanpa cinta yang sempat tumbuh, hanya rasa tanggung jawab.
Bagi Alya, pernikahan itu adalah babak baru yang membingungkan. Di satu sisi, ia ingin membangun kehidupan yang layak. Di sisi lain, ia tahu jalan di depannya penuh rintangan—kemiskinan, fitnah, dan luka masa lalu yang belum sembuh.
Bab 4 – Rumah Tangga yang Canggung
Hari-hari pertama setelah akad nikah terasa janggal. Alya duduk di sudut kamar mungil rumah kontrakan sederhana mereka, menatap dinding kosong. Farhan, meski berniat baik, juga kebingungan bagaimana harus bersikap. Mereka tak pernah membayangkan akan dipersatukan dengan cara seperti ini.
“Alya… kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja,” ujar Farhan pelan, mencoba membuka percakapan.
Alya hanya mengangguk, suaranya tercekat. Ia merasa seperti tamu di rumah orang lain.
Tetapi di balik kecanggungan itu, ada rasa aman yang perlahan tumbuh. Farhan tak pernah marah, tak pernah menuntut, hanya berusaha menenangkan. Alya mulai menyadari bahwa mungkin pernikahan ini bukan hanya paksaan, melainkan juga kesempatan untuk memulai hidup baru.
Bab 5 – Ujian Pertama
Belum sebulan pernikahan berjalan, kabar miring kembali berembus. Keluarga besar Alya menuduh pernikahan itu hanya “akting” untuk menutupi aib, dan mereka terus meremehkan Alya.
Di pesantren, beberapa santri mulai menjauhi Alya, menganggapnya terlalu banyak menimbulkan masalah. Alya menangis diam-diam di malam hari, tidak ingin Farhan melihat kelemahannya.
Suatu malam, Farhan mendapati Alya berdoa dengan suara lirih, matanya basah.
“Alya… kamu tidak sendirian,” ucap Farhan lembut. “Aku mungkin bukan orang terbaik, tapi aku akan berusaha melindungimu.”
Itu pertama kalinya Alya merasa hatinya bergetar sejak lama. Namun ia juga takut—takut berharap, takut kecewa lagi.
Di balik rasa takutnya, Alya berjanji pada dirinya sendiri: ia ingin tetap menjalani hidup yang layak, meski dunia seakan menolaknya.
Bab 6 – Cahaya Kecil di Tengah Gelap
Hari-hari berikutnya membawa perubahan kecil. Alya mulai terbiasa dengan rutinitas barunya. Ia membantu Farhan dengan pekerjaan rumah sederhana: memasak, mencuci, menyiapkan kebutuhan sebelum Farhan kembali ke pesantren.
Meski masih banyak bisikan miring dari luar, Alya belajar mengabaikannya. Malam-malamnya kini diisi dengan doa dan tilawah, mencari kekuatan dari ayat demi ayat yang ia baca.
Suatu pagi, ketika Alya sedang menyapu halaman, seorang ibu tetangga mendekat.
“Ndok, masakanmu enak ya… kemarin aku cicipi waktu Farhan kasih ke kami. Kamu bisa buka usaha kecil-kecilan, lho.”
Alya tersenyum ragu, tapi di hatinya ada secercah harapan. Untuk pertama kalinya, ia merasa punya sesuatu yang bisa ia banggakan selain luka masa lalu.
Farhan pun mendukung ide itu. “Kalau kamu mau, aku bisa bantu carikan pembeli pertama. Mulai dari kecil saja, jangan takut gagal.”
Alya menatap Farhan lama. Ada ketulusan yang membuatnya merasa dihargai sebagai seorang manusia, bukan beban. Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Alya mulai percaya bahwa hidupnya mungkin tidak sekelam yang dulu ia bayangkan.
Namun, takdir belum selesai menguji. Bayangan masa lalu dan kebencian keluarga masih mengintai, siap mengguncang langkah kecil yang baru saja ia mulai.
Bab 7 – Ujian Besar Pertama
Usaha kecil Alya mulai berjalan. Ia membuat kue sederhana pesanan para tetangga. Farhan membantu mengantar, bahkan rela berkeliling selepas belajar di pesantren. Meski untungnya belum seberapa, Alya merasa bahagia—setidaknya ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Namun kabar itu segera sampai ke telinga keluarga besarnya.
“Dia pikir siapa dia? Sudah bikin malu keluarga, sekarang sok-sokan buka usaha,” sindir bibinya di hadapan orang-orang.
Ucapan itu menyebar cepat, membuat sebagian tetangga mulai ragu untuk membeli lagi.
Alya terpukul. Malam itu ia menangis di balik pintu, merasa semua jerih payahnya sia-sia. Farhan mengetuk perlahan.
“Alya, buka pintunya… tolong jangan menyerah hanya karena mereka bicara buruk. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”
Ketika pintu terbuka, Alya melihat mata Farhan yang penuh keyakinan. Ada sesuatu di sana yang membuatnya tak ingin lagi bersembunyi.
Keesokan harinya, meski dengan hati bergetar, Alya tetap melanjutkan usahanya. Ia mengantar kue dengan senyum, meski hatinya penuh luka. Dan justru dari keteguhan itu, beberapa tetangga mulai kembali percaya padanya.
Tapi diam-diam, kebencian keluarganya semakin besar. Mereka tidak suka melihat Alya bangkit. Dan suatu hari, sebuah kabar mengejutkan datang—kabar yang akan mengguncang rumah tangga Alya dan Farhan.
Bab 8 – Rahasia yang Terungkap
Hari itu Alya sedang menyiapkan adonan kue ketika seorang tamu tak terduga datang: sepupunya, Rani. Wajahnya penuh cemas.
“Alya… aku tahu aku tak pantas datang. Tapi ada sesuatu yang harus kamu tahu,” katanya dengan suara bergetar.
Alya terdiam, tangannya berhenti mengaduk.
Rani menatapnya, lalu berbisik, “Sejak dulu, keluargamu tidak benar-benar percaya kamu pembawa sial. Itu cuma alasan… mereka takut pada sesuatu yang diwariskan ayahmu. Harta peninggalan itu… masih ada, dan kamu satu-satunya ahli waris sah.”
Kata-kata itu membuat dada Alya berdegup kencang. Jadi, semua hinaan, fitnah, dan pembuangan ke pesantren… hanyalah cara untuk menyingkirkannya dari jalan?
Malam itu Alya duduk lama di teras bersama Farhan. Ia menceritakan semua yang ia dengar. Farhan terdiam, matanya menatap jauh.
“Kalau benar begitu, berarti kita harus siap. Mereka tidak akan berhenti. Tapi, Alya… kamu tidak sendiri. Aku ada di sini.”
Alya menunduk, air matanya jatuh. Untuk pertama kali, ia tidak menangis karena lemah, melainkan karena merasa benar-benar didukung. Perasaan itu tumbuh, hangat, tapi juga menakutkan—karena ia tahu, cinta bisa jadi sumber kekuatan, tapi juga luka baru.
Di balik keheningan malam, Alya berdoa dalam hati: semoga cinta yang mulai tumbuh ini bukan sekadar pelipur lara, tapi benar-benar jalan menuju hidup yang layak.
Namun ia tahu… badai besar akan segera datang.
Bab 9 – Tuntutan Keluarga
Pagi yang tenang berubah menjadi mencekam ketika beberapa kerabat Alya datang tanpa pemberitahuan. Mereka duduk di ruang tamu kontrakan sempit itu dengan wajah keras.
“Kami tidak datang untuk basa-basi,” ucap pamannya dengan nada dingin. “Ada warisan dari ayahmu, Alya. Itu milik keluarga. Jangan coba-coba menguasai sendiri.”
Alya tercekat. “Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang warisan itu. Seumur hidup, aku hanya menerima tuduhan dari kalian…”
“Jangan berlagak polos!” bentak bibinya. “Karena kamu, keluarga kita ditertawakan. Sekarang satu-satunya cara kamu bisa menebusnya adalah menyerahkan semua itu!”
Farhan yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Dengan segala hormat, Alya istri saya. Kalau memang ada warisan, secara hukum dia yang berhak. Kalian tidak bisa seenaknya menekan dia.”
Suasana memanas. Keluarga Alya berdiri, menatap Farhan dengan penuh kebencian.
“Kamu pikir bisa melindungi dia selamanya? Kamu akan menyesal,” ujar pamannya sebelum pergi meninggalkan rumah.
Setelah mereka pergi, Alya duduk lemas. Tangannya gemetar.
“Farhan… aku takut. Mereka tidak akan berhenti.”
Farhan menggenggam tangannya erat. “Aku juga takut, Alya. Tapi kita akan hadapi bersama. Aku tidak akan biarkan kamu jatuh lagi.”
Air mata Alya mengalir, kali ini bukan hanya karena sedih, tapi juga karena ada secercah keyakinan baru: bahwa di balik semua fitnah dan kebencian, ia menemukan seseorang yang benar-benar memilih untuk berdiri di sisinya.
Namun jauh di lubuk hati, Alya tahu—ujian berikutnya tidak hanya akan datang dari keluarga, tapi juga dari dalam rumah tangganya sendiri.
Bab 10 – Retakan yang Tersembunyi
Hari-hari Alya dan Farhan terasa seperti ombak: kadang tenang, kadang bergelora. Meski tekanan dari keluarga masih menghantui, ada juga momen sederhana yang membuat Alya merasa dicintai.
Suatu sore, Farhan pulang lebih cepat dari pesantren sambil membawa sebungkus gorengan.
“Alya, aku tahu kamu suka tempe mendoan. Cuma ini yang bisa aku beli, semoga cukup bikin kamu tersenyum,” katanya sambil tersipu.
Alya tertawa kecil, hatinya hangat. “Kamu selalu tahu caranya bikin aku merasa dihargai.”
Namun, di balik senyum itu, ada kegelisahan. Uang mereka semakin menipis. Usaha kue Alya sempat meredup karena tekanan keluarga, sementara Farhan hanya mendapat sedikit uang saku dari mengajar di pesantren.
Suatu malam, Alya mendengar Farhan berdoa lirih.
“Ya Allah… kuatkan aku. Aku ingin melindungi Alya, tapi aku takut tidak mampu memberi yang terbaik.”
Alya menahan tangisnya. Ia tahu Farhan berjuang keras, tapi ia juga takut—apakah kemiskinan dan tekanan ini akan menjadi jurang yang memisahkan mereka?
Keesokan harinya, seorang tamu tak terduga kembali datang: seorang pria berjas rapi, pengacara yang membawa dokumen warisan ayah Alya.
“Nyai Alya,” ucapnya sopan, “ada aset yang menjadi hak penuh Anda. Tapi, keluarga besar Anda juga sedang menuntut bagian. Jika Anda tidak segera mengambil keputusan, masalah ini bisa masuk ke pengadilan.”
Kata-kata itu menghantam Alya seperti petir. Ia menatap Farhan dengan mata bergetar. Untuk pertama kali sejak menikah, ia merasa ragu—apakah pernikahan mereka cukup kuat menghadapi badai yang semakin besar?
Bab 11 – Hujan yang Membawa Kenangan
Sore itu hujan turun deras. Atap seng rumah kontrakan berisik oleh dentuman air, sementara angin membawa aroma tanah basah. Alya menatap ke luar jendela, hatinya tenang sekaligus sendu.
Farhan mendekat sambil membawa dua gelas teh hangat.
“Kamu suka hujan, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
Alya mengangguk pelan. “Dulu… waktu kecil, aku suka berlari di bawah hujan. Itu satu-satunya saat aku bisa merasa bebas, tanpa teriakan atau cemoohan.”
Farhan terdiam sejenak, lalu menyerahkan teh ke tangannya. “Kalau begitu, biarkan aku jadi orang yang membuatmu merasa bebas, tanpa takut lagi.”
Kata-kata itu membuat dada Alya bergetar. Ia menunduk, malu menatap mata Farhan, tapi hatinya hangat seperti teh yang ia genggam.
Tiba-tiba listrik padam. Rumah kecil itu gelap, hanya diterangi cahaya petir yang sesekali menyambar. Alya mendekat ke Farhan, merasa takut. Farhan tersenyum kecil dan menyalakan lilin.
“Tenang, Alya. Selama aku di sini, kamu tidak sendirian.”
Dalam cahaya redup lilin itu, Alya melihat ketulusan yang sulit ia sangkal. Untuk pertama kalinya, ia berani berdoa dalam hati: semoga cinta ini benar-benar nyata, bukan sekadar pelarian dari luka masa lalu.
Malam itu, meski hujan masih turun deras, hati Alya terasa damai. Ia tahu badai kehidupan masih menunggu, tapi setidaknya kini ia punya tempat untuk bersandar.
Bab 12 – Retakan yang Tak Terelakkan
Beberapa hari setelah hujan besar itu, Alya dan Farhan mulai merasakan tekanan yang semakin nyata. Surat resmi dari pengacara datang, menyatakan bahwa keluarga besar Alya mengajukan gugatan ke pengadilan untuk memperebutkan warisan ayahnya.
Farhan membaca isi surat dengan dahi berkerut. “Mereka serius, Alya. Ini bukan lagi omongan kosong.”
Alya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan. “Aku hanya ingin hidup tenang, Farhan… kenapa mereka tak pernah berhenti membenciku?”
Farhan menggenggam tangannya. “Karena mereka takut kehilangan kendali. Tapi percayalah, kita bisa melewati ini.”
Namun, masalah tidak berhenti di situ. Uang mereka semakin menipis. Pesanan kue Alya berkurang karena sebagian tetangga dipengaruhi keluarganya. Farhan harus menambah jam mengajar di pesantren, pulang larut malam dalam keadaan lelah.
Suatu malam, pertengkaran kecil tak terhindarkan.
“Kamu terlalu keras bekerja, Farhan. Aku tidak mau lihat kamu jatuh sakit,” kata Alya dengan nada khawatir.
“Kalau aku tidak kerja keras, bagaimana kita bertahan, Alya? Kamu pikir aku tidak pusing memikirkan semua ini?” jawab Farhan, suaranya meninggi tanpa ia sadari.
Alya terdiam. Matanya basah, bukan karena marah, tapi takut—takut kehilangan satu-satunya orang yang melindunginya.
“Aku… aku hanya tidak ingin kehilanganmu,” bisiknya lirih.
Kesunyian menyelimuti kamar itu. Farhan menatap wajah Alya yang pucat, lalu menyesal. Ia meraih tangannya kembali. “Maafkan aku, Alya. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu.”
Alya menggeleng pelan. “Aku tahu kamu lelah. Aku pun lelah. Tapi… jangan sampai kita saling melawan. Dunia di luar sudah cukup kejam bagi kita.”
Malam itu, meski luka kecil tergores, mereka berdua belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tapi juga tentang bertahan bersama meski badai mengamuk di luar.
Bab 13 – Sidang Pertama
Hari itu udara kota terasa pengap. Alya menggenggam erat jilbabnya saat berdiri di depan gedung pengadilan agama. Jantungnya berdetak cepat, seakan ingin keluar dari dada. Farhan ada di sampingnya, menatap lurus ke depan dengan wajah tegas meski sorot matanya penuh beban.
Di ruang sidang, suasana makin menekan. Pamannya duduk di kursi lawan dengan wajah sombong, ditemani pengacara mahal.
“Anak itu tidak pernah peduli dengan keluarga,” ujar pamannya lantang. “Sejak lahir dia hanya membawa musibah. Tidak pantas dia mewarisi harta kakakku.”
Alya menunduk, menahan air mata. Hatanya perih mendengar kata-kata yang selama ini menjadi belenggu hidupnya diulang kembali di hadapan orang banyak.
Farhan meraih tangannya di bawah meja. “Jangan goyah,” bisiknya.
Ketika giliran pengacara Alya berbicara, ruangan menjadi hening. “Berdasarkan hukum yang berlaku, semua warisan sah menjadi milik putri almarhum. Tidak ada alasan sah untuk menyingkirkan haknya.”
Wajah pamannya memerah. Ia menatap Alya penuh kebencian. “Kalau pengadilan tidak memihak kami, kami akan pastikan kalian menyesal.”
Selepas sidang, Alya nyaris roboh. Farhan menopangnya.
“Farhan… aku tidak sanggup kalau begini terus.”
Farhan menatapnya lembut. “Alya, mereka boleh mengancam, tapi selama kita bersama, kita bisa melawan. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Alya merasa kekuatan kecil dalam dirinya bangkit. Ia sadar, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan dari cercaan—ia sedang memperjuangkan hak, martabat, dan juga cinta yang perlahan tumbuh dalam hatinya.
Namun ia juga tahu, ini baru permulaan. Pertarungan sebenarnya belum dimulai.
Bab 14 – Fitnah yang Menyakitkan
Hari-hari setelah sidang pertama menjadi semakin berat. Alya berusaha tetap menjalani rutinitasnya di rumah dan sesekali membantu di pesantren, tapi kabar buruk segera menyebar.
Seorang santri berbisik saat Alya lewat,
“Itu istrinya Farhan, kan? Katanya Farhan menikah cuma karena dipaksa nutupin aib.”
Yang lain menambahkan, “Aku dengar keluarga perempuannya rebutan warisan. Hati-hati, jangan dekat-dekat, nanti kita ikut terbawa masalah.”
Alya menunduk, menahan rasa sakit. Ia tahu fitnah itu berasal dari keluarganya sendiri. Mereka tidak hanya menyerangnya di pengadilan, tapi juga berusaha menjatuhkan Farhan di mata masyarakat pesantren.
Farhan pun mulai merasakan tekanan. Beberapa ustaz senior memanggilnya, menanyakan kebenaran gosip yang beredar.
“Farhan, kami percaya padamu,” kata salah satu ustaz, “tapi ingat, nama baik pesantren juga harus dijaga.”
Malam itu Farhan pulang dengan wajah lelah. Alya melihat matanya yang sayu.
“Farhan… mereka menyalahkanmu karena aku, ya?”
Farhan tersenyum tipis. “Jangan salahkan dirimu. Fitnah itu datang dari mereka yang takut kehilangan kuasa. Aku hanya khawatir kalau ini membuatmu patah semangat.”
Alya mendekat, menatapnya dengan mata basah. “Tidak, Farhan. Justru aku ingin lebih kuat. Kalau aku menyerah, mereka menang. Aku tidak mau lagi hidup sebagai anak yang selalu dianggap sial.”
Farhan terdiam. Lalu, dengan lirih ia berkata, “Kamu lebih berani dari yang kamu kira, Alya. Dan aku bangga jadi suamimu.”
Kata-kata itu menyalakan api kecil dalam hati Alya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya dilindungi, tapi juga dihargai. Namun ia juga sadar—semakin ia berdiri tegak, semakin besar pula serangan yang akan datang.
Bab 15 – Pengkhianatan yang Tak Terduga
Hari sidang kedua tiba. Ruang pengadilan terasa lebih tegang daripada sebelumnya. Alya duduk dengan tangan dingin, sementara Farhan mencoba menenangkannya.
Ketika sidang dimulai, pengacara keluarga besar Alya tiba-tiba mengeluarkan dokumen baru—sebuah surat yang katanya ditandatangani oleh almarhum ayah Alya, menyatakan bahwa warisan akan diberikan kepada keluarga besarnya, bukan kepada Alya.
Alya terperangah. “Itu tidak mungkin…” bisiknya.
Namun yang lebih mengejutkan, saksi yang dihadirkan untuk menguatkan surat itu adalah seseorang yang Alya kenal: Rani, sepupunya yang dulu pernah membocorkan rahasia warisan.
“Rani… kenapa?” Alya bergetar, suaranya hampir tak keluar.
Rani menunduk, menghindari tatapan Alya. “Maaf, Alya… aku tidak punya pilihan. Mereka mengancamku.”
Air mata Alya jatuh tanpa bisa ditahan. Pengkhianatan dari orang yang sempat ia percaya membuatnya semakin remuk.
Farhan berdiri, menatap hakim dengan suara tegas.
“Yang Mulia, kami yakin dokumen itu palsu. Kami meminta waktu untuk memverifikasi keasliannya.”
Hakim mengangguk, menunda putusan. Tapi kerusakan sudah terjadi: gosip semakin liar, banyak orang mulai percaya bahwa Alya hanya haus harta.
Sepulang dari pengadilan, Alya terisak di pelukan Farhan.
“Kenapa mereka tidak berhenti, Farhan? Kenapa semua orang yang kucintai justru meninggalkanku?”
Farhan menatap matanya dalam-dalam. “Aku tidak akan pergi. Aku janji, Alya. Bahkan kalau seluruh dunia melawanmu, aku akan tetap berdiri di sampingmu.”
Kata-kata itu menjadi penguat, tapi Alya tahu: jalan yang harus mereka tempuh masih panjang dan penuh duri.
Bab 16 – Kekuatan dari Sujud
Malam itu, setelah sidang yang melelahkan, Alya kembali ke pesantren untuk mengikuti pengajian. Hatinya masih hancur oleh pengkhianatan Rani dan fitnah keluarganya. Namun saat ia duduk di serambi masjid, mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dilantunkan, air matanya mengalir deras.
Ustazah yang membimbingnya berkata lembut,
“Alya, hidup ini bukan tentang bagaimana orang memandangmu. Hidup ini tentang bagaimana kamu berdiri di hadapan Allah. Selama kamu ikhlas, fitnah hanya akan jadi batu loncatan menuju derajat yang lebih tinggi.”
Kata-kata itu menusuk ke dalam hatinya. Malam itu Alya bersujud lebih lama dari biasanya. Ia berdoa, bukan lagi meminta agar ujian cepat berakhir, tapi memohon diberi kekuatan untuk tetap berdiri di tengah badai.
Esok harinya, Alya mulai berubah. Ia kembali membuat kue, meski banyak yang menolak membeli. Ia melakukannya bukan sekadar untuk bertahan, tapi sebagai bentuk ikhtiar. Ia juga lebih aktif membantu ustazah di pesantren, mengajar anak-anak kecil mengaji.
Melihat itu, Farhan tertegun. “Alya… kamu terlihat berbeda sekarang.”
Alya tersenyum kecil. “Mungkin dulu aku terlalu sibuk melawan kebencian mereka. Sekarang aku ingin fokus pada satu hal: membuktikan kalau aku bisa hidup layak, tanpa harus membenci balik.”
Farhan menatapnya penuh kagum. Dalam hatinya, ia semakin yakin: perempuan yang dulu dianggap “anak sial” oleh keluarganya, sebenarnya adalah cahaya yang Allah titipkan untuknya.
Namun, di balik kekuatan baru itu, ancaman keluarga semakin membara. Mereka tak tinggal diam melihat Alya bangkit, dan kini mereka menyiapkan langkah berikutnya yang jauh lebih kejam.
Bab 17 – Ancaman di Ambang Pintu
Suatu malam, ketika Alya dan Farhan baru saja selesai salat isya, terdengar ketukan keras di pintu rumah kontrakan mereka. Farhan membuka pintu, dan di luar berdiri tiga pria asing dengan wajah garang.
Salah satunya melemparkan amplop ke lantai. “Ini peringatan. Kalau Alya masih berani melawan keluarga, jangan salahkan kami kalau ada yang terluka.”
Farhan menahan marah, tubuhnya tegang. “Siapa yang menyuruh kalian?”
Pria itu tersenyum sinis. “Kamu tahu siapa. Dan kamu tahu kami bisa lebih kejam kalau mau.” Lalu mereka pergi, meninggalkan hawa mencekam.
Alya memungut amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada foto dirinya di pasar, jelas diambil diam-diam.
“Farhan… mereka mengikutiku,” bisiknya ketakutan.
Farhan segera meraih tangannya. “Mulai sekarang, jangan keluar sendiri. Aku akan selalu mendampingimu.”
Namun malam itu Alya sulit tidur. Ia sadar, perjuangan ini bukan hanya soal harta warisan, tapi juga keselamatan mereka. Untuk pertama kali, ia merasa benar-benar terancam kehilangan segalanya, termasuk Farhan.
Keesokan harinya, kabar fitnah baru menyebar di pesantren: konon Farhan menikahi Alya hanya karena mengincar harta warisan. Beberapa orang mulai menjauhi mereka, bahkan ada yang terang-terangan menyindir.
Alya menahan air matanya, lalu berkata pada Farhan,
“Kalau aku menyerah, mungkin semua ini berhenti. Tapi kalau aku terus melawan, kita akan jadi sasaran. Apa yang harus kita pilih, Farhan?”
Farhan menatap istrinya dalam-dalam. “Alya, kalau kita menyerah, mereka menang. Tapi kalau kita bertahan, meski sakit, setidaknya kita tahu kita sedang memperjuangkan kebenaran. Dan aku lebih memilih terluka bersama kebenaran daripada hidup nyaman dalam kebohongan.”
Kata-kata itu menancap dalam di hati Alya. Ia tahu, jalan di depan akan lebih gelap dari sebelumnya. Tapi ia juga tahu, ia tidak lagi berjalan sendirian.
Bab 18 – Fitnah di Hadapan Banyak Mata
Hari itu Alya datang ke pesantren untuk membantu ustazah mengajar anak-anak mengaji. Saat ia melangkah ke halaman, suasana terasa berbeda. Bisikan-bisikan terdengar di sekelilingnya, tatapan sinis mengiringi setiap langkahnya.
Seorang ibu santri mendekat dengan wajah tajam.
“Seharusnya kamu malu, Alya. Orang-orang bilang suamimu menikahimu hanya demi harta warisan. Sekarang namanya tercemar, dan kamu masih berani datang ke sini?”
Alya terdiam, jantungnya berdegup kencang. Anak-anak kecil yang biasanya berlari memeluknya kini hanya menatap bingung, ikut terpengaruh oleh bisikan orang dewasa.
Siang itu Farhan dipanggil oleh pimpinan pesantren.
“Farhan, kami mendengar banyak kabar tidak baik. Katanya kamu menikah dengan Alya demi harta. Kami tidak ingin nama pesantren tercemar.”
Farhan mengepalkan tangan, menahan amarah. “Ustaz, itu fitnah. Saya menikahi Alya karena menjaga kehormatan, bukan karena harta.”
Pimpinan pesantren menatap lama, lalu berkata pelan, “Aku percaya padamu, tapi tidak semua orang akan percaya. Kamu harus siap jika posisimu di sini dipertanyakan.”
Ketika Farhan pulang dan menyampaikan itu, Alya menangis tersedu.
“Semua ini salahku, Farhan. Kalau kamu tidak menikahiku, hidupmu pasti lebih mudah.”
Farhan menggenggam wajahnya, menatap penuh keyakinan. “Jangan pernah bilang begitu lagi. Kamu bukan beban, Alya. Kamu alasan aku belajar arti sabar dan ikhlas.”
Malam itu mereka berdua saling berpelukan dalam diam. Di luar, fitnah semakin membesar. Tapi di dalam hati, mereka tahu hanya ada dua pilihan: hancur oleh kebencian orang lain, atau bertahan bersama meski dunia menolak mereka.
Bab 19 – Kesaksian Tak Terduga
Sidang ketiga digelar dengan suasana yang lebih menegangkan. Ruangan penuh oleh kerabat, santri, dan warga yang penasaran. Alya duduk di kursi penggugat dengan tangan dingin, sementara Farhan berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kewaspadaan.
Pengacara keluarga Alya mengeluarkan bukti baru: rekaman suara yang katanya milik Farhan, sedang membicarakan soal warisan dengan nada serakah.
“Dengar baik-baik,” ucapnya sambil memutar rekaman. Suara itu terdengar mirip dengan Farhan:
“Warisan itu harus jatuh ke tangan kita. Kalau tidak, pernikahan ini sia-sia.”
Ruangan bergemuruh. Beberapa orang berbisik, sebagian menatap Alya dengan kasihan. Alya menutup mulutnya, hatinya serasa diremuk. Ia tahu itu bukan suara Farhan, tapi siapa yang akan percaya?
Farhan berdiri dengan wajah merah padam. “Itu palsu! Saya tidak pernah mengucapkan kata-kata itu!”
Namun hakim mengangkat tangan, meminta ketenangan. “Kami akan memverifikasi kebenaran bukti ini.”
Saat suasana semakin menekan, tiba-tiba pintu ruang sidang terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan langkah tegas. Alya terbelalak: itu adalah sahabat lama ayahnya, Pak Harun, yang selama ini hilang kontak.
“Yang Mulia,” ucap Pak Harun dengan suara lantang, “saya datang membawa bukti asli tulisan tangan almarhum ayah Alya. Semua harta memang dititipkan untuk putrinya. Dan tentang rekaman itu, saya tahu siapa yang memalsukannya—orang dalam keluarga sendiri.”
Ruangan mendadak riuh. Wajah paman Alya pucat, sementara Alya menatap Pak Harun dengan mata penuh air mata. Untuk pertama kali, ada seseorang dari masa lalu ayahnya yang berdiri di pihaknya.
Farhan menatap Alya sambil menggenggam tangannya erat. “Lihat, Alya. Kebenaran tidak akan selamanya bisa ditutup.”
Namun, Alya juga tahu, langkah besar ini akan membuat keluarganya semakin nekat. Pertarungan belum selesai, justru baru saja memasuki babak paling berbahaya.
Bab 20 – Serangan Balas Dendam
Kemenangan kecil di ruang sidang membuat Alya bisa bernapas lega untuk sesaat. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, gosip baru mulai beredar di desa dan pesantren.
“Katanya Alya itu bukan anak sah dari almarhum. Makanya keluarganya menolak dia,” bisik seorang tetangga.
“Farhan pasti menyesal menikahinya. Lihat saja, hidup mereka makin susah,” timpal yang lain.
Fitnah itu jelas berasal dari keluarga besarnya. Mereka kalah soal dokumen warisan, tapi tidak mau berhenti. Kali ini mereka menyerang martabat Alya sebagai seorang anak, mencoba merusak kehormatan yang tersisa.
Puncaknya terjadi saat seseorang menempelkan selebaran di papan pesantren: foto Alya dan Farhan dengan tulisan besar-besar, “Pernikahan Palsu, Demi Harta!”
Santri-santri berkerumun, sebagian menertawakan, sebagian hanya terdiam tidak enak hati. Alya menunduk, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Farhan segera merobek selebaran itu dengan tangan bergetar.
“Cukup! Mereka sudah keterlaluan!”
Malam itu, Alya menangis di pelukan Farhan. “Kenapa mereka terus menyakitiku, Farhan? Apa salahku pada mereka?”
Farhan mengecup keningnya lembut. “Salahmu hanya satu, Alya. Kamu berani hidup ketika mereka ingin melihatmu hancur.”
Kalimat itu menusuk dalam hati Alya. Ia sadar, selama ini keluarganya tidak hanya memperebutkan warisan, tapi juga berusaha menghancurkan keberadaannya.
Namun, semakin mereka berusaha menjatuhkannya, semakin Alya bertekad untuk bertahan. Kali ini bukan hanya demi dirinya, tapi juga demi Farhan—satu-satunya orang yang tetap menggenggam tangannya di tengah badai.
Bab 21 – Rahasia Ayah yang Tersimpan
Pak Harun datang kembali ke rumah kontrakan Alya dengan membawa sebuah map tebal. Wajahnya serius, berbeda dengan pertemuan di sidang sebelumnya.
“Alya,” katanya pelan, “ada sesuatu yang harus kamu ketahui tentang ayahmu. Ini bukan sekadar soal warisan.”
Alya menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Farhan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
Pak Harun membuka map itu, menampakkan beberapa surat lama dan selembar sertifikat tanah. “Ayahmu dulu adalah dermawan besar. Ia membeli tanah ini untuk dijadikan pesantren yatim piatu. Tapi sebagian keluarganya menentang. Mereka ingin tanah itu dijadikan usaha dagang besar. Karena ayahmu menolak, hubungan keluarga retak sejak lama.”
Alya menatap dokumen itu dengan mata basah. “Jadi… semua kebencian mereka padaku selama ini karena pilihan ayahku?”
Pak Harun mengangguk. “Mereka tidak hanya membencimu, Alya. Mereka membenci ayahmu karena lebih memilih amal jariyah daripada kepentingan keluarga. Kamu hanya menjadi pelampiasan karena kamu satu-satunya yang tersisa darinya.”
Air mata Alya jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena sakit, melainkan juga rasa bangga. Ia mulai melihat ayahnya bukan sekadar sosok yang hilang terlalu cepat, tapi seorang pejuang kebaikan yang memilih jalan berbeda.
Farhan menatap istrinya dengan penuh kekaguman. “Alya, kamu bukan anak sial. Kamu anak dari seorang ayah yang mulia. Jangan pernah ragukan itu lagi.”
Dalam diam, Alya meremas tangannya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar punya alasan untuk melawan—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk meneruskan niat baik ayahnya yang terhenti di tengah jalan.
Namun ia juga sadar, ketika kebenaran ini terkuak, keluarga besarnya pasti akan semakin ganas. Dan pertarungan yang menunggu di depan bukan lagi sekadar soal warisan, tapi tentang kehormatan dan masa depan yang lebih besar.
Bab 22 – Perebutan yang Memanas
Malam itu rumah kontrakan Alya digedor keras. Farhan segera membuka pintu, dan di luar berdiri pamannya bersama dua orang lelaki berbadan besar. Wajahnya penuh amarah.
“Serahkan dokumen itu sekarang juga!” teriak sang paman. “Itu milik keluarga, bukan untuk kalian!”
Farhan berdiri tegak, tubuhnya menahan pintu agar tidak didobrak. “Dokumen itu adalah peninggalan ayah Alya. Dia yang sah sebagai ahli waris. Kalian tidak punya hak.”
Pamannya semakin murka. Ia melangkah maju, nyaris mendorong Farhan. “Jangan sok jadi pahlawan, Farhan! Kau hanya numpang nama besar ayahnya untuk mendapatkan harta. Kalau bukan karena pernikahan pura-pura ini, kau tidak akan dapat apa-apa!”
Alya muncul dari dalam dengan wajah pucat, namun matanya berani. “Paman! Berhenti menghina suamiku. Jika Ayah memilih jalan ini, aku yang akan menjaganya. Kalian boleh benci padaku, tapi aku tidak akan menyerahkan cita-cita Ayah begitu saja.”
Ucapan itu membuat suasana hening sejenak. Pamannya terkejut mendengar keberanian Alya. Namun ia segera tertawa sinis.
“Kau pikir bisa melawan kami, Alya? Kau hanya perempuan lemah. Tanpa dokumen itu, kau bukan siapa-siapa.”
Pak Harun yang kebetulan datang malam itu segera berdiri di sisi Alya. “Tidak. Dia bukan perempuan lemah. Dia anak dari seorang sahabat yang berjuang untuk kebaikan. Dan selama aku masih hidup, kalian tidak akan menyentuh satu lembar pun dari peninggalan itu.”
Pamannya mendengus, lalu pergi dengan ancaman: “Kalian akan menyesal menantangku. Pertarungan ini belum selesai.”
Setelah pintu ditutup, Alya terisak di pelukan Farhan. “Farhan, mereka akan terus mengejar kita… aku takut, tapi aku juga tidak ingin mundur lagi.”
Farhan mengusap kepalanya lembut. “Kalau ini jalan yang Allah pilihkan untuk kita, kita harus kuat. Kita bukan hanya melindungi warisan, Alya. Kita sedang menjaga kehormatan.”
Di dalam hatinya, Alya berjanji: ia tidak akan lagi menjadi gadis yang selalu menangis karena dituduh sial. Kini ia berdiri sebagai pewaris kebaikan ayahnya—meski harus melawan darah dagingnya sendiri.
Bab 23 – Jejak Langkah Baru
Pagi itu Alya duduk lama di serambi masjid pesantren. Matanya menatap langit yang biru, seakan mencari jawaban. Setelah semua fitnah, ancaman, dan pengkhianatan, hatinya mulai menemukan satu titik terang: tujuan hidup.
Ia menoleh pada Farhan yang baru saja selesai wudu.
“Farhan,” suaranya lembut tapi tegas, “aku tidak ingin warisan itu hanya jadi rebutan. Aku ingin tanah peninggalan Ayah dijadikan pesantren yatim piatu, sesuai niat beliau dulu.”
Farhan menatapnya, terdiam beberapa saat sebelum tersenyum bangga. “Itu keputusan yang besar, Alya. Kamu yakin sanggup menghadapi perlawanan keluarga?”
Alya mengangguk mantap. “Kalau aku mundur, Ayah akan sia-sia meninggalkan cita-cita itu. Dan aku… tidak mau lagi hidup dengan ketakutan. Aku ingin hidup dengan tujuan.”
Kabar tentang keputusan itu perlahan menyebar. Sebagian orang terharu dan mulai melihat Alya dengan cara berbeda—bukan lagi gadis sial, tapi putri seorang dermawan yang ingin meneruskan kebaikan.
Namun, bagi keluarganya, keputusan itu adalah tamparan keras. Mereka merasa dipermalukan, seolah harta yang mereka kejar dijadikan sesuatu yang sama sekali tidak menguntungkan mereka.
Pamannya marah besar. “Perempuan itu sudah gila! Dia benar-benar mau mengubah tanah itu jadi pesantren? Tidak bisa! Kita harus hentikan dia sebelum semuanya terlambat!”
Di sisi lain, Pak Harun mendukung penuh. “Kalau ini niatmu, Alya, aku akan berdiri di belakangmu. Banyak anak yatim yang membutuhkan tempat itu. Jangan takut, kau tidak sendirian.”
Malam itu, Alya menuliskan sesuatu di buku catatannya:
“Aku bukan lagi gadis yang dituduh sial. Aku adalah putri seorang ayah yang berjuang. Dan aku akan teruskan jejaknya, meski harus melawan seluruh dunia.”
Bab 24 – Sabotase yang Licik
Kabar rencana Alya untuk menjadikan tanah warisan sebagai pesantren yatim piatu menyebar cepat. Banyak warga desa yang simpati, bahkan beberapa mulai menawarkan bantuan tenaga dan bahan bangunan.
Namun, di balik semangat itu, keluarga besar Alya tidak tinggal diam. Mereka menyusun rencana licik untuk menjatuhkan reputasi Alya dan membuat masyarakat ragu.
Suatu sore, ketika Alya sedang mengajar anak-anak mengaji di serambi pesantren, datanglah kabar mengejutkan. Salah seorang warga berlari sambil membawa koran lokal. Di halaman depan tertulis besar-besar:
“Skandal Baru: Alya dan Suaminya Diduga Salahgunakan Dana Sumbangan Pesantren!”
Alya tertegun. Tangannya gemetar saat membaca isi artikel itu. Di dalamnya tertulis fitnah bahwa ia dan Farhan sudah menerima sumbangan masyarakat, lalu menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
“Ini bohong… aku tidak pernah menerima uang satu rupiah pun,” bisiknya.
Namun gosip lebih cepat dari kebenaran. Beberapa warga mulai ragu. Ada yang berbisik di belakang, ada pula yang terang-terangan menuduh.
“Kalau benar mereka jujur, kenapa namanya bisa masuk koran?”
“Jangan-jangan benar, hanya pura-pura baik.”
Farhan mengepalkan tangan, wajahnya memerah. “Mereka benar-benar tidak tahu malu, Alya. Mereka sengaja menjatuhkan kita dengan berita palsu.”
Pak Harun segera menenangkan mereka. “Jangan terpancing emosi. Ingat, fitnah hanya bisa dikalahkan dengan bukti. Kita akan buktikan di depan masyarakat bahwa kalian tidak bersalah.”
Malam itu, Alya menangis dalam doa panjangnya. Namun di tengah isak, ia merasa ada api kecil yang menyala di dalam hati: tekad untuk membuktikan bahwa kebaikan bisa bertahan meski digempur kebohongan.
Bab 25 – Membuktikan Kebenaran
Hari-hari setelah berita fitnah itu menjadi masa terberat bagi Alya. Setiap kali ia melangkah keluar, selalu ada bisikan, tatapan sinis, bahkan anak-anak kecil yang menirukan orang tua mereka dengan berteriak, “Pencuri dana pesantren!”
Alya hanya menunduk, dadanya perih. Tapi Farhan selalu menggenggam tangannya erat, seolah berkata: “Kita akan lewati ini bersama.”
Pak Harun kemudian menyusun langkah. Ia mengajak Alya dan Farhan menemui beberapa warga yang pernah menitipkan sumbangan.
“Kalian harus tunjukkan bahwa uang itu tidak pernah kalian sentuh. Semua masih aman, dan bisa dipertanggungjawabkan.”
Mereka mendatangi rumah Pak Usman, seorang dermawan desa. Pak Usman membuka catatannya, lalu berkata,
“Betul, saya memang pernah menitipkan sumbangan, tapi uang itu saya serahkan langsung ke bendahara pesantren, bukan ke Alya maupun Farhan.”
Kesaksian demi kesaksian mereka kumpulkan. Perlahan, mulai jelas bahwa tuduhan di koran hanyalah jebakan dari keluarga besar Alya.
Farhan kemudian mengusulkan mengadakan pertemuan terbuka di balai desa.
“Kita buktikan di depan masyarakat. Biarkan semua orang mendengar langsung dari para saksi.”
Hari pertemuan pun tiba. Ruangan penuh sesak oleh warga desa. Alya berdiri dengan tubuh bergetar, tapi matanya tegas.
“Saudara-saudaraku,” ucapnya, “selama ini aku dituduh macam-macam. Aku bisa diam, tapi kali ini aku harus bicara. Semua sumbangan tidak pernah kusentuh. Buktinya ada, saksinya ada. Fitnah ini sengaja dibuat agar aku terlihat hina di mata kalian.”
Satu per satu saksi maju. Pak Usman, juga beberapa warga lain, membenarkan perkataan Alya. Perlahan bisik-bisik berubah menjadi rasa bersalah. Sebagian warga yang tadinya ragu kini menunduk malu.
Di sudut ruangan, pamannya yang hadir dengan wajah gelap menggertakkan gigi. Rencananya gagal.
Farhan merangkul bahu Alya, berbisik, “Kau berhasil, Alya. Kau sudah tunjukkan kebenaran tanpa harus berteriak marah. Kau kuat, lebih kuat dari yang kau kira.”
Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, Alya menatap kerumunan dengan kepala tegak.
Bab 26 – Jebakan Terakhir
Kekalahan di depan masyarakat membuat keluarga besar Alya semakin murka. Pamannya mengamuk di rumah, memecahkan gelas hingga pecah berserakan.
“Anak itu sudah berani mempermalukan kita di depan orang banyak!” teriaknya.
Seorang kerabat mencoba menenangkan, tapi ia justru menatap dengan mata merah. “Kalau cara halus tak mempan, kita pakai cara lain. Aku akan pastikan dia hancur, bahkan sebelum tanah itu jadi pesantren!”
Beberapa hari kemudian, jebakan itu mulai dijalankan. Seorang pria asing datang menemui Alya di pasar, berpura-pura sebagai donatur.
“Saya kagum dengan niat Mbak Alya. Saya ingin membantu pembangunan pesantren. Ini ada sedikit uang muka, nanti saya akan datang lagi dengan jumlah lebih besar,” katanya sambil menyerahkan amplop tebal.
Alya ragu sejenak, tapi karena pria itu tampak sopan dan banyak orang melihat, ia menerima dengan niat baik. Ia berniat langsung menyerahkan uang itu pada bendahara pesantren.
Namun, malam harinya, berita heboh kembali tersebar: foto Alya sedang menerima amplop itu beredar luas. Tulisannya menyakitkan:
“Bukti Baru! Alya Terima Uang Haram dari Orang Misterius!”
Farhan langsung mencurigai. “Ini pasti ulah mereka! Mereka menjebakmu dengan pura-pura jadi donatur.”
Alya menutup wajahnya, tubuhnya gemetar. “Farhan… sampai kapan mereka akan berhenti? Apa mereka ingin aku benar-benar gila?”
Farhan menarik napas panjang, lalu menatap Alya dengan penuh keyakinan.
“Mereka ingin menjebak kita, tapi kita tidak boleh kalah. Besok kita buktikan di depan semua orang ke mana uang itu sebenarnya akan kita bawa. Kita hadapi jebakan ini dengan kebenaran.”
Alya mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh takut. Ia sadar, ini mungkin bukan sekadar fitnah biasa. Kali ini, keluarganya sudah berani mempertaruhkan segalanya untuk menghancurkannya.
Dan ia juga tahu, jebakan ini bisa menjadi penentu: apakah ia akan hancur selamanya… atau justru lahir kembali dengan nama yang lebih bersih.
Bab 27 – Membalikkan Jebakan
Pagi itu balai desa kembali ramai. Warga berdesakan ingin mendengar kabar terbaru tentang Alya, setelah foto dirinya menerima amplop misterius tersebar luas.
Alya berdiri di depan, wajahnya pucat namun matanya tegas. Farhan berada di sampingnya, sementara Pak Harun duduk sebagai saksi.
Sebelum ada yang bicara, seorang tetangga sudah berteriak,
“Jangan percaya lagi sama dia! Foto itu sudah jelas buktinya. Dia memang haus uang!”
Alya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara bergetar tapi lantang,
“Benar, kemarin saya menerima amplop itu. Tapi saya tidak menyimpannya. Uang itu langsung saya serahkan ke bendahara pesantren, dan beliau ada di sini hari ini untuk membuktikan.”
Semua mata menoleh. Bendahara pesantren, seorang pria tua jujur bernama Pak Rahmat, maju ke depan membawa buku catatan.
“Saya membenarkan. Uang yang diterima Bu Alya kemarin sore sudah tercatat di buku kas, belum sempat dipakai sepeser pun.”
Kerumunan mulai gaduh. Beberapa yang tadinya menuduh kini terdiam. Namun pamannya tiba-tiba berdiri, berusaha menyelamatkan keadaan.
“Itu hanya akal-akalan! Bisa saja buku itu dipalsukan!”
Farhan maju selangkah, suaranya tegas.
“Kalau memang itu jebakan, kenapa orang yang memberi uang tidak datang hari ini? Mana donatur misterius itu? Kenapa hanya fotonya yang beredar, tapi orangnya lenyap?”
Suasana hening. Warga mulai sadar ada yang janggal. Bahkan beberapa orang mulai berbisik,
“Benar juga… kenapa pemberinya tidak muncul?”
“Mungkin ini fitnah lagi, seperti sebelumnya…”
Pamannya terdiam, wajahnya merah padam. Kali ini, jebakan yang ia pasang justru berbalik menamparnya sendiri.
Alya menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca.
“Selama ini aku hanya ingin meneruskan niat Ayahku. Kalau ada yang benci padaku, aku bisa terima. Tapi jangan fitnah niat baik ini. Jangan injak-injak cita-cita seorang ayah yang sudah tiada.”
Suasana menjadi haru. Beberapa warga menitikkan air mata, sebagian mendekat untuk meminta maaf karena sempat percaya fitnah.
Farhan menggenggam tangan Alya erat-erat. Dalam hatinya, ia tahu: semakin besar tekanan yang mereka hadapi, semakin kuat pula cinta dan keberanian istrinya.
Bab 28 – Ancaman Nyawa
Kemenangan Alya dan Farhan di balai desa membuat banyak warga kini berdiri di pihak mereka. Nama baik yang nyaris hancur berhasil diselamatkan. Namun justru karena itulah, keluarga besar Alya semakin terpojok.
Di rumah besarnya, paman Alya menggebrak meja dengan keras.
“Cukup! Selama gadis itu hidup, kita akan terus dipermalukan. Kalau semua cara gagal, kita singkirkan dia!”
Beberapa kerabat terdiam, sebagian ragu, tapi tatapan paman Alya penuh kebencian. “Aku sudah siapkan orang untuk mengurusnya. Dalam seminggu, tidak akan ada lagi yang namanya Alya.”
Sementara itu, Alya dan Farhan mulai merasakan ada yang aneh. Beberapa kali mereka melihat orang asing mengawasi rumah kontrakan mereka. Suara langkah kaki terdengar di malam hari, lalu menghilang begitu saja.
Suatu malam, ketika Farhan pulang terlambat dari masjid, ia menemukan pintu rumah terbuka sedikit. Ia segera masuk dengan jantung berdegup kencang. Alya duduk di pojok ruang tamu, wajahnya pucat.
“Farhan… tadi ada orang mencoba masuk. Aku dengar suara pintu, tapi ketika aku keluar, mereka sudah lari.”
Farhan langsung memeluknya erat. “Mulai sekarang, aku tidak akan biarkan kau sendirian.”
Keesokan harinya, Pak Harun datang memberi peringatan serius.
“Alya, Farhan… aku dengar kabar buruk. Ada orang yang dibayar untuk mencelakai kalian. Ini bukan lagi soal fitnah atau warisan, ini soal hidup dan mati.”
Alya terdiam, tubuhnya gemetar. Tapi kali ini, meski ketakutan, matanya tidak lagi dipenuhi keputusasaan. Ia menatap Farhan, lalu berbisik,
“Kalau memang ini ujian terakhir, aku tidak akan lari. Aku sudah memilih jalan Ayah. Aku hanya mohon, kita hadapi ini bersama.”
Farhan menggenggam tangannya kuat-kuat. “Sampai napas terakhir, Alya. Aku janji.”
Dan malam itu, keduanya sadar: badai terbesar akhirnya benar-benar datang, dan taruhan kali ini bukan hanya nama baik—tapi nyawa mereka sendiri.
Bab 29 – Malam Berdarah
Malam itu desa sunyi. Alya baru saja selesai menutup jendela ketika Farhan memadamkan lampu ruang tamu. Mereka berdua duduk di tikar, mencoba menenangkan hati dengan membaca doa.
Tiba-tiba, suara kaca pecah terdengar dari belakang rumah. Farhan refleks berdiri, mengambil tongkat kayu yang biasa ia simpan di dekat pintu. Alya terlonjak, wajahnya pucat.
“Alya, cepat masuk kamar, kunci pintunya!” bisik Farhan dengan nada tegas.
Namun sebelum Alya sempat melangkah, dua pria bertopeng sudah menerobos masuk. Salah satunya membawa pisau panjang, yang lain memegang balok kayu.
“Serahkan dokumen itu, atau malam ini kalian berakhir!” teriak salah satu dari mereka.
Farhan berdiri di depan Alya, tubuhnya menjadi perisai. “Kalau harus melewati kami, silakan. Tapi ingat, kebenaran tidak bisa kalian bunuh!”
Pertarungan singkat pun pecah. Farhan berusaha menahan serangan dengan tongkat, sementara Alya berteriak minta tolong. Salah satu pria berhasil mendorong Farhan hingga terjatuh, pisaunya nyaris mengenai dada.
Alya spontan meraih vas bunga di meja dan melemparkannya keras ke arah penyerang. Pria itu terkejut, memberi Farhan kesempatan bangkit kembali.
Suara langkah kaki terdengar dari luar—beberapa tetangga yang mendengar teriakan Alya berlari masuk. Melihat banyak orang datang, kedua pria itu kabur lewat jendela, meninggalkan ancaman:
“Kalian tidak akan selamat lain kali!”
Alya berlari memeluk Farhan yang dadanya naik turun menahan sakit. Air matanya jatuh deras.
“Farhan… aku hampir kehilanganmu. Aku takut sekali…”
Farhan mengusap rambutnya pelan meski tubuhnya masih gemetar.
“Jangan takut, Alya. Malam ini kita diselamatkan. Itu tanda Allah masih ingin kita berjuang.”
Namun di dalam hatinya, Farhan tahu: ini bukan serangan terakhir. Musuh mereka sudah nekat sampai sejauh ini. Dan mungkin, bentrokan berikutnya akan jauh lebih berbahaya.
Bab 30 – Jalur Hukum Baru
Keesokan pagi setelah malam berdarah itu, rumah kontrakan Alya dipenuhi warga dan aparat desa. Pecahan kaca masih berserakan, pintu belakang rusak, dan darah tipis terlihat di lantai tempat Farhan sempat terjatuh.
Seorang polisi muda mencatat keterangan dari Farhan.
“Jadi, dua pria bertopeng masuk dan menyerang Anda. Anda yakin ini berkaitan dengan perselisihan keluarga?”
Farhan mengangguk mantap. “Saya yakin. Sejak sidang warisan dimulai, ancaman demi ancaman datang. Mereka ingin Alya hancur.”
Polisi menoleh pada Alya yang masih duduk gemetar. “Nona, kami akan menindaklanjuti. Ini sudah masuk ranah pidana. Kalau benar pelaku suruhan keluarga, maka bukan hanya soal warisan, tapi juga percobaan pembunuhan.”
Alya menatap polisi itu dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kali, ia merasa negara ikut melindunginya. “Pak… tolong, saya hanya ingin hidup tenang. Saya hanya ingin meneruskan niat ayah saya.”
Beberapa tetangga yang hadir juga memberi kesaksian bahwa mereka mendengar teriakan Alya dan melihat dua pria lari ke arah jalan besar. Hal itu semakin memperkuat laporan polisi.
Sore harinya, berita tersebar di desa: kasus Alya kini resmi ditangani aparat. Banyak warga yang sebelumnya ragu kini mulai percaya sepenuhnya bahwa Alya difitnah dan diburu oleh keluarganya sendiri.
Di rumah, Alya menatap Farhan dengan wajah cemas.
“Kalau polisi benar-benar membuktikan ini ulah keluarga, mereka tidak akan diam, Farhan. Mereka pasti semakin benci padaku.”
Farhan menggenggam tangannya erat. “Alya, lebih baik kita dibenci karena kebenaran daripada dipuji karena kebohongan. Kita sudah sampai sejauh ini. Jangan mundur.”
Pak Harun yang duduk di sudut menambahkan, “Percayalah, Alya. Kebenaran memang sering terlambat, tapi ia tidak akan hilang. Kali ini, hukum ada di pihakmu.”
Alya menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia merasa perjuangannya bukan hanya soal bertahan—tapi soal memenangkan keadilan, bukan lagi untuk dirinya saja, melainkan untuk cita-cita ayahnya.
Bab 31 – Rahasia Terbongkar
Beberapa hari setelah laporan diserahkan, polisi berhasil menangkap salah satu pria yang menyerang Alya dan Farhan. Dari pengakuannya, terungkap bahwa serangan itu memang diperintahkan oleh paman Alya.
Di ruang polisi, pria itu mengaku:
“Saya disuruh untuk memastikan Alya dan suaminya takut. Uang dan ancaman datang dari keluarga besarnya. Mereka tidak ingin Alya meneruskan tanah warisan untuk pesantren.”
Kabar ini cepat menyebar. Farhan menatap Alya, wajahnya serius. “Lihat, Alya. Semua ancaman yang kita alami memang nyata, tapi kini kebenaran mulai terbuka.”
Alya menunduk, air matanya jatuh. “Aku tidak menyangka mereka akan sejauh ini… aku bahkan hampir kehilangan nyawa kita berdua.”
Farhan merangkulnya, lembut tapi tegas. “Itu sebabnya kita harus lebih kuat. Semakin besar serangan, semakin penting kita berdiri tegak.”
Polisi kemudian menghubungi Pak Harun, meminta saksi tambahan untuk memperkuat kasus. Pak Harun membawa dokumen lama ayah Alya dan kesaksian tetangga yang mengetahui tekanan keluarga. Semua bukti mulai menumpuk, membuat paman Alya semakin terpojok.
Malam itu, Alya duduk di serambi rumah kontrakan, menatap langit gelap. Ia menarik napas panjang, merasakan lega sekaligus cemas.
“Farhan… kita masih akan diuji lagi. Aku bisa merasakannya.”
Farhan menggenggam tangannya erat. “Alya, selama kita bersama, tidak ada yang bisa menghancurkan kita. Ini baru permulaan, tapi kali ini hukum berada di pihak kita.”
Di hatinya, Alya mulai merasakan keyakinan baru: bahwa keberanian, keteguhan, dan doa bisa menjadi senjata paling ampuh melawan kebencian. Bahkan ketika nyawa mereka pernah terancam, cahaya kebenaran kini mulai menembus gelapnya fitnah.
Bab 32 – Jalan Terbuka
Beberapa minggu setelah penangkapan pria suruhan keluarga, polisi bergerak lebih serius. Paman Alya dan beberapa kerabat yang terbukti terlibat dalam fitnah dan percobaan pembunuhan mulai dipanggil untuk diperiksa.
Di rumah kontrakan, Alya duduk bersama Farhan dan Pak Harun, menatap berita di televisi lokal.
“Paman dan kerabatnya akhirnya harus bertanggung jawab,” kata Farhan. “Ini akan membuka jalan bagi kita untuk meneruskan niat Ayahmu.”
Alya mengangguk, hati campur aduk antara lega dan waswas. “Aku tidak ingin ada kebencian lagi, tapi aku juga tidak mau mereka bisa mengganggu siapa pun lagi. Semoga ini menjadi akhir dari semua tekanan itu.”
Pak Harun tersenyum hangat. “Ini awal baru, Alya. Sekarang kalian bisa mulai membangun pesantren yatim piatu dengan aman. Banyak warga yang sudah mendukung.”
Keesokan harinya, Alya dan Farhan mulai mengundang beberapa warga untuk rapat perencanaan pembangunan pesantren. Banyak orang yang sebelumnya ragu kini bersemangat membantu, memberikan sumbangan bahan bangunan, tenaga kerja, bahkan donasi uang.
Alya berdiri di tengah halaman tanah warisan, menatap luasnya area yang akan menjadi pesantren. Angin sore menerpa wajahnya, seolah menyapa semangat baru.
“Farhan… ini adalah impian Ayah. Dan kita akan mewujudkannya, bersama-sama,” ucapnya lembut.
Farhan menggenggam tangannya, menatap matanya penuh cinta dan keyakinan. “Kita sudah melewati begitu banyak badai. Sekarang saatnya kita menanam benih kebaikan. Dan aku akan selalu di sisimu, Alya.”
Di dalam hati Alya, rasa takut dan luka perlahan tergantikan dengan harapan. Meskipun perjalanan panjang belum selesai sepenuhnya, kali ini mereka berdiri dengan kepala tegak—dengan hukum, masyarakat, dan kebenaran berada di pihak mereka.
Dan untuk pertama kalinya sejak banyak ujian datang menghampiri, Alya merasa damai. Ia siap menatap masa depan dengan keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan.
Bab 33 – Awal Pembangunan
Pagi itu, tanah warisan Ayah Alya sudah dipenuhi warga desa yang datang membantu. Beberapa membawa semen, kayu, dan peralatan, sementara anak-anak kecil berlarian di halaman sambil tertawa riang.
Alya berdiri di samping Farhan, menatap aktivitas itu dengan mata berbinar.
“Lihat, Farhan… ini baru permulaan. Banyak orang yang mau membantu.”
Farhan tersenyum. “Ya, Alya. Ini tanda bahwa kebaikan memang menular. Dan semua yang terjadi sebelumnya hanya membuat kita lebih kuat.”
Namun, tidak semua orang senang melihat Alya berhasil. Beberapa kerabat yang tidak terlibat langsung tapi tetap membenci Alya berbisik-bisik, mencoba menanam rasa cemas di masyarakat.
“Jangan terlalu percaya pada gadis itu. Siapa tahu besok dia membuat masalah lagi,” kata seorang kerabat dengan nada licik.
Alya mendengar, tapi tidak tergoyahkan. Ia menarik napas panjang dan berbisik pada Farhan,
“Kalau mereka mencoba menahan kita dengan ketakutan, biarkan. Aku tidak akan mundur.”
Farhan menatapnya penuh kagum. “Kau benar-benar berbeda sekarang, Alya. Dulu gadis itu yang selalu takut… sekarang dia pemimpin yang bijaksana.”
Sepanjang hari, Alya dan Farhan mengawasi pembangunan, sekaligus memberikan motivasi kepada para warga. Anak-anak yang ikut membantu juga belajar nilai kerja sama dan sabar.
Di sore hari, saat matahari mulai turun, Alya duduk di sebuah bangku kayu sambil menatap jauh ke arah tanah yang mulai berbentuk pondasi. Farhan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
“Kita sudah melewati begitu banyak badai, Alya. Dan sekarang… kita mulai menanam benih kebaikan,” kata Farhan.
Alya tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.
“Benih itu akan tumbuh, Farhan. Meski ada yang mencoba menebang pohon yang baru tumbuh, kita akan tetap bertahan. Karena ini bukan hanya tentang aku atau kita… tapi tentang anak-anak yang akan tumbuh di sini, tentang impian Ayahku yang sekarang jadi milik semua orang.”
Dan malam itu, Alya tidur dengan rasa damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meski ujian masih mungkin datang, ia tahu: selama ada cinta, keberanian, dan kebenaran, tidak ada yang bisa benar-benar menghancurkannya.
Bab 34 – Konflik dan Keteguhan
Beberapa minggu setelah pembangunan dimulai, suasana mulai panas. Sejumlah warga yang dulu ragu, atau dipengaruhi kerabat Alya, mulai menyebarkan keraguan.
“Jangan terlalu percaya, pembangunan ini bisa gagal kapan saja,” bisik mereka di pasar.
“Aku dengar sebagian sumbangan dikorupsi,” kata yang lain dengan nada menakut-nakuti.
Kabar itu sampai ke telinga beberapa pekerja dan anak-anak yang membantu. Mereka mulai ragu, beberapa bahkan ingin berhenti. Alya melihat itu dengan wajah tegas tapi tenang.
“Jangan dengarkan bisik-bisik yang hanya ingin menakutimu,” ucapnya lembut pada para pekerja. “Setiap bata yang kita pasang adalah doa, setiap kayu yang kita bawa adalah harapan. Kita melakukan ini bukan untuk orang yang menebar fitnah, tapi untuk anak-anak yang akan belajar di sini.”
Farhan menambahkan, “Kalau kita mundur karena ketakutan orang lain, semua perjuangan kita sia-sia. Kita harus tetap tegak.”
Seiring waktu, keteguhan Alya mulai menginspirasi orang lain. Beberapa warga yang sempat ragu kini ikut membantu, bahkan ada yang membawa sumbangan tambahan. Perlahan, masyarakat mulai menyadari bahwa fitnah hanyalah upaya melemahkan mereka, bukan fakta.
Di sore hari, Alya duduk di pondasi pesantren yang mulai terlihat jelas bentuknya. Angin sore membawa harum tanah basah dan kayu baru. Ia menarik napas dalam, menatap bangunan yang akan menjadi rumah bagi anak-anak yatim.
“Farhan… lihat ini. Setiap langkah kecil yang kita ambil, ini semua untuk mereka. Meski ada yang mencoba memprovokasi, kita tetap bisa maju.”
Farhan tersenyum, menggenggam tangannya erat. “Aku bangga padamu, Alya. Kau bukan lagi gadis yang takut. Kau sekarang pemimpin yang menginspirasi.”
Malam itu, Alya menulis di buku catatannya:
“Keteguhan bukan berarti tidak takut, tapi berani melangkah meski takut. Hari ini, aku belajar bahwa doa dan keberanian bisa menaklukkan keraguan orang lain.”
Dan di antara riuhnya pembangunan dan suara anak-anak yang mulai bermain di sekitar tanah pesantren, Alya merasakan harapan yang nyata: perjuangan mereka mulai membuahkan hasil, dan cahaya kebaikan mulai terlihat di horizon kehidupan mereka.
Bab 35 – Cahaya yang Terlihat
Beberapa bulan berlalu, pesantren mulai terlihat lengkap. Atap sudah terpasang, ruang belajar terbuka dengan rapi, dan halaman yang dulu gersang kini dipenuhi tanaman dan tempat bermain anak-anak.
Alya berdiri di tengah halaman, menatap anak-anak yang belajar mengaji. Suara tawa mereka yang riang membuat hatinya hangat. Farhan berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan lembut.
“Lihat, Farhan… mereka bahagia. Dan itu semua karena kita tidak menyerah,” bisiknya.
Farhan tersenyum. “Bukan hanya karena kita tidak menyerah, Alya. Tapi karena keberanian dan keteguhanmu. Kau sudah menjadi inspirasi bagi mereka, dan bagi semua orang yang melihat perjuanganmu.”
Seorang anak kecil mendekat, memegang buku mengaji sambil tersenyum.
“Mbak Alya… aku ingin belajar seperti ini terus,” katanya polos.
Alya menunduk, tersenyum lembut. “Tentu, Nak. Di sini, semua bisa belajar dan bermain dengan aman.”
Di sisi lain, beberapa warga yang sempat ragu kini datang menawarkan bantuan sukarela. Mereka melihat Alya bukan sebagai “anak sial” seperti yang dikabarkan keluarga besarnya, tetapi sebagai perempuan kuat yang berani melawan fitnah dan tetap menegakkan niat baik.
Malam itu, Alya dan Farhan duduk di beranda pesantren. Lampu-lampu kecil menyala, menerangi halaman yang mulai hidup.
“Kau tahu, Alya,” ucap Farhan, “setiap ujian yang kita hadapi, setiap ancaman dan fitnah… semuanya membuat kita sampai di titik ini. Dan aku bersyukur kita melaluinya bersama.”
Alya menatap Farhan dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga bersyukur. Aku belajar banyak… bahwa keberanian, keteguhan, dan doa bisa menembus kegelapan paling pekat sekalipun.”
Pak Harun datang membawa teh hangat. “Alya, Farhan… malam ini kalian pantas beristirahat. Besok, anak-anak akan datang lebih banyak, dan pesantren ini akan benar-benar hidup.”
Alya menarik napas panjang, menatap pesantren yang hampir selesai. Di hatinya, semua penderitaan, pengkhianatan, dan ujian terasa terbayar. Cahaya kebaikan kini nyata: tidak hanya di tanah yang mereka bangun, tapi juga di hati setiap anak dan warga yang melihat perjuangan mereka.
Dan untuk pertama kalinya, Alya merasakan damai yang utuh. Ia bukan lagi gadis yang dituduh sial, bukan lagi korban fitnah, tetapi pemimpin kecil yang memancarkan cahaya harapan bagi banyak orang.
Bab 36 – Hari Peresmian
Pagi itu, langit cerah seolah ikut merayakan momen penting. Pesantren yang dulu hanya tanah kosong kini berdiri megah, siap menerima anak-anak yatim piatu dari desa dan sekitarnya.
Warga, tokoh masyarakat, dan beberapa pejabat hadir untuk menyaksikan peresmian. Banyak yang meneteskan air mata melihat transformasi yang luar biasa: dari tanah yang gersang menjadi tempat yang penuh harapan.
Alya berdiri di podium kecil, mengenakan pakaian sederhana tapi anggun. Farhan berada di sampingnya, selalu memegang tangan Alya sebagai simbol kekuatan dan cinta yang mereka jalani bersama.
“Assalamualaikum,” sapanya kepada semua yang hadir. Suara gemetar di awal perlahan hilang saat ia melanjutkan.
“Beberapa tahun terakhir, banyak ujian yang kami hadapi. Fitnah, ancaman, bahkan nyawa kami terancam. Tapi semua itu bukan untuk menghancurkan kami… melainkan untuk menguji seberapa besar keteguhan dan keberanian kami.”
Ia menatap anak-anak yang duduk di barisan depan.
“Pesantren ini bukan milik kami, tapi milik kalian semua. Ini adalah rumah bagi anak-anak yatim piatu yang ingin belajar, bermain, dan tumbuh dengan aman. Dan kami berkomitmen untuk menjaga tempat ini, seperti Ayahku menjaga impian ini sebelum beliau tiada.”
Tepuk tangan bergemuruh, banyak yang menangis haru. Farhan menatap Alya dengan bangga.
“Kau telah menjadi cahaya bagi banyak orang, Alya. Dari gadis yang dituduh sial, kini kau menjadi inspirasi,” bisiknya pelan.
Pak Harun maju, menyerahkan kunci simbolis pesantren kepada Alya.
“Inilah simbol bahwa perjuangan kalian tidak sia-sia. Dan semoga setiap anak yang masuk ke sini merasakan cinta, keteguhan, dan keberanian yang telah kalian tunjukkan.”
Alya menggenggam kunci itu dengan erat, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak Harun. Dan terima kasih, Farhan… karena selalu ada di sisiku.”
Hari itu, Alya dan Farhan berdiri di tengah pesantren yang ramai oleh tawa anak-anak. Setiap senyum, setiap langkah kecil mereka yang bermain di halaman adalah bukti nyata bahwa kebaikan dan keberanian bisa mengalahkan fitnah dan kebencian.
Dan Alya sadar, meski perjalanan belum sepenuhnya selesai, cahaya harapan yang mereka tanam kini menyala terang—tidak hanya untuk mereka, tapi untuk semua yang percaya pada kebenaran dan cinta.
Bab 37 – Akhir yang Bahagia dan Penuh Inspirasi
Beberapa bulan setelah peresmian, pesantren Alya dan Farhan berjalan lancar. Anak-anak belajar mengaji, membaca, dan bermain dengan penuh semangat. Warga desa ikut mendukung, membawa bahan bangunan, buku, atau sekadar membantu mengawasi anak-anak.
Alya dan Farhan selalu hadir di tengah kegiatan, memberi motivasi, sekaligus mengawasi pembangunan yang terus berkembang. Mereka kini menjadi sosok inspiratif, tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi warga yang dulu sempat meragukan mereka.
Suatu sore, Alya duduk di teras sambil menulis di buku catatannya. Farhan duduk di sampingnya, menatap anak-anak yang bermain di halaman.
“Kau tahu, Alya,” ucapnya pelan, “melihat mereka bahagia… rasanya semua ujian kita kemarin terasa sepadan.”
Alya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Ya, Farhan. Semua fitnah, ancaman, dan rasa takut… semuanya mengajarkan aku satu hal: keberanian dan keteguhan hati bisa menyalakan harapan, bahkan di tengah kegelapan.”
Farhan menggenggam tangannya lembut.
“Kita sudah melalui badai bersama. Sekarang waktunya menanam kebaikan, dan melihat benih itu tumbuh menjadi pohon yang rindang.”
Di sisi lain, beberapa anak menghampiri Alya, membawa bunga dan menggenggam tangannya dengan polos.
“Terima kasih, Mbak Alya,” kata mereka. “Kau membuat tempat ini jadi rumah kami.”
Alya menunduk, tersenyum hangat.
“Dan aku berjanji akan selalu ada untuk kalian. Kita semua di sini belajar, tumbuh, dan saling menjaga satu sama lain.”
Malam harinya, Alya dan Farhan duduk bersama di beranda, menatap langit yang penuh bintang.
“Farhan, kita sudah sampai sejauh ini. Aku merasa damai… meski perjalanan kita panjang, aku tahu kita bisa menghadapi apa pun selama kita bersama,” bisik Alya.
Farhan menatap istrinya dengan penuh cinta.
“Alya, perjalanan kita bukan hanya tentang kita, tapi tentang semua orang yang kita sentuh dengan kebaikan. Dan aku yakin, cahaya yang kita nyalakan akan terus bersinar.”
Di halaman pesantren, suara anak-anak yang tertawa, membaca, dan bermain terdengar merdu di malam itu. Alya tersenyum tipis, menyadari bahwa semua penderitaan, fitnah, dan ujian yang mereka lalui tidak sia-sia.
Dan di tengah cahaya lampu malam yang hangat, Alya dan Farhan tahu: meski masa depan tetap akan membawa ujian, mereka telah menemukan kekuatan terbesar—cinta, keberanian, dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
Akhir Bahagia 🌟