---
*(Panggung gelap. Suara langkah berat. Lampu menyala perlahan, menyorot seorang pria muda berpakaian lusuh berdiri menatap singgasana kosong.)*
*Elric (pelan, penuh beban):*
Takhta itu dulu milikku…
Sampai mereka mencabutnya—
bukan karena aku tak mampu,
tapi karena aku terlalu diam.
*(Ia berjalan pelan, lalu duduk di lantai, memandang tangannya.)*
*Elric (puisi):*
Ini bukan soal darah,
Bukan soal siapa yang lahir duluan…
Tapi siapa yang berdiri terakhir
saat semuanya hancur.
*(Ia berdiri perlahan. Musik mulai masuk, nada pelan tapi tegas.)*
*Elric (nyanyi):*
_“Aku bukan bayangan kakakku,_
_Tak hidup untuk jadi cadangan,_
_Kalau takhta harus diperebutkan,_
_Aku akan berjalan meski sendirian.”_
*(Lampu menyala lebih terang. Elric kini menatap penonton seperti berbicara pada seluruh kerajaan.)*
*Elric (tegas):*
Kalian buang aku ke lembah.
Kalian kira aku mati.Tapi aku belajar di sana…
Belajar mendengar suara rakyat—
Yang tak pernah kalian pedulikan.
*(Nada lagu menguat. Ia mulai menyanyi sambil melangkah percaya diri.)*
_“Aku datang bukan untuk balas dendam,_
_Tapi untuk menyembuhkan luka yang dalam,_
_Biarlah mahkota menunggu di ujung jalan,_
_Aku akan tiba, dengan kebenaran.”_
*(Ia berhenti di depan singgasana.)*
*Elric (puisi):*
Takhta bukan tentang duduk tertinggi,
Tapi siapa yang mau berdiri paling lama…
Bukan untuk dihormati,
Tapi untuk melindungi.
*(Ia mengangkat mahkota yang tadinya diletakkan di lantai. Musik perlahan mereda.)*
*Elric (bisik):*
Hari ini...
Mahkota itu kembali padaku.
Bukan karena aku lahir sebagai pangeran—
Tapi karena aku hidup sebagai pemimpin.
*(Lampu padam. Musik berhenti. Tirai tertutup.)*