Malam itu, listrik padam di rumah tua peninggalan keluarga. Anggi, kakak sulung, menyalakan lilin untuk menerangi ruang tamu. Di luar, hujan jatuh deras, dan angin meniupkan suara-suara asing dari sela jendela.
Saat ia hendak menutup tirai, terdengar langkah kaki kecil di lorong.
“Dek? Itu kamu?” panggilnya, sedikit lega.
Tampak sosok adiknya, Nisa, berdiri di ambang pintu. Rambut panjangnya terurai, wajahnya pucat, matanya menatap lurus, tanpa ekspresi sama sekali.
“Kak… mari ikut aku,” ucapnya datar.
Anggi merasa dingin menjalari tulangnya. Ada sesuatu yang salah. Adiknya itu terlalu kaku, suaranya hampa, dan tatapannya seolah menembus dirinya.
“Dek? Kamu kenapa?” tanyanya ragu.
Sosok itu melangkah perlahan. Langkahnya berat, menyeret kaki, tapi tanpa suara pijakan. Senyum tipis mulai terbentuk, senyum yang tidak manusiawi.
“Ayo… ikut aku. Di luar lebih aman…”
Anggi mundur. Jantungnya berdetak kencang. Lilin di tangannya bergetar, nyaris padam.
Tiba-tiba, terdengar suara lain dari belakang.
“Kak… jangan pergi dengannya.”
Anggi menoleh cepat.
Di sana berdiri Nisa yang lain, masih mengenakan piyama, wajahnya ketakutan.
“Itu bukan aku, Kak. Dia… bukan manusia.”
Darah Anggi serasa membeku. Ia kembali menoleh ke sosok di hadapannya, wajahnya kini berubah mengerikan: kulitnya tertarik rapat, tanpa mata, tanpa hidung, hanya mulut besar yang merekah perlahan.
Lilin padam.
Gelap.
Dan dari kegelapan itu, suara berbisik, sangat dekat dengan telinga Anggi:
“Aku sudah menunggu lama sekali… kau harus ikut denganku!”
“Cklik!”—lampu tiba-tiba menyala.
Namun Anggi berharap lampu itu tetap padam saja, ketika melihat sosok itu kini menempel di dinding, tubuhnya menekuk tak masuk akal, tangan dan kakinya mencengkeram permukaan seperti laba-laba. Kepalanya menoleh ke belakang 180 derajat, wajah tanpa mata itu menyeringai lebar.
Tawanya melengking, panjang, memekakkan telinga. Suara itu bercampur dengan dengung listrik, membuat lampu rumah berkedip-kedip hebat.
Setiap kali lampu menyala, tubuh sosok itu tampak semakin dekat, merayap cepat di dinding, lidah hitam panjang menjulur liar.
Setiap kali lampu padam, hanya terdengar gesekan kuku panjang menyeret tembok.
Anggi panik, ia ingin teriak, tapi lidahnya seakan tertahan oleh sesuatu.
“KA… KAK!!” jerit Nisa asli sambil menarik tangan Anggi. “Lariii!”
Tapi kaki Anggi terpaku. Pada kilatan berikutnya, makhluk itu sudah berada tepat di atas kepala mereka, merayap di langit-langit, menatap lurus, mulut menganga, tawa melengkingnya berubah jadi raungan rendah, menyeramkan.
Lampu padam lagi.
Gelap.
Hening.
…lalu sebuah suara menggelegar, datang dari segala arah:
“Aku akan mengambil salah satu dari kalian malam ini…”
Lampu kembali berkedip. Sosok itu turun perlahan, kepalanya berputar nyaris penuh lingkaran. Dari matanya yang kosong, terpancar luka yang dalam.
Sekujur tubuh Anggi gemetar, ia memeluk Nisa erat, berusaha menenangkan adiknya meski ia sendiri nyaris roboh.
“Si... siapa k-kau..” ucap Anggi dengan nada bergetar.
Sosok itu melangkah perlahan,
“Kau sudah lupa… kau hanya menolongnya… dan membiarkan aku tenggelam sendirian…”
Anggi membeku. Dadanya sesak.
“Ap… apa maksudmu?!” suaranya pecah.
Sosok itu mendekat. Rambutnya meneteskan air, piyamanya basah kuyup, kulitnya pucat kebiruan. Dari mulutnya, air menetes deras, menggenangi lantai.
“Aku kembarannya… Lisa.”
Senyumnya getir. “Hari itu aku jatuh ke kolam. Tapi kau… hanya menolong dia. Aku ditinggalkan… aku mati sendirian.”
“Aku adalah.. adik yang telah kau lupakan”
Anggi terhuyung. Air mata jatuh tanpa sadar. “Li… Lisa… kakak tak tahu… kakak tak lihat kau tenggelam… maafkan kakak…”
“TERLAMBAT!”
Suara keras itu memecahkan kaca, menjatuhkan bingkai foto. Bersamaan dengannya, air merembes cepat, menelan lantai hingga setinggi pinggang. Nisa menjerit histeris.
“KA… KAK!! TOLONG AKU!”
Air naik sampai leher. Sosok itu merangkak di atas air, tertawa melengking bercampur gemuruh.
“Sekarang giliranku… aku akan mengajaknya bersamaku… agar kita sama-sama tenggelam…”
Dalam keputusasaan, Anggi menarik napas panjang dan menyelam bersama Nisa. Di bawah sana, ia melihat Lisa mengambang. Rambutnya terurai, wajahnya pucat, tapi tatapannya kini penuh kesedihan.
Bibirnya bergerak, dan suara itu terdengar jelas meski di dalam air:
“Kakak… akhirnya kau menoleh padaku… Selama ini aku hanya ingin dipeluk… hanya ingin dianggap ada…”
Air mengalir dari matanya. Entah tangis atau sisa kematian.
Anggi mengulurkan tangan, gemetar.
Lisa tersenyum samar, menyentuh jemarinya.
“Kakak… aku memaafkanmu. Jangan salahkan dirimu lagi… Jaga Nisa baik-baik. Dan jangan ulangi kesalahan yang sama.”
“Selamat tinggal, Kak.”
Tubuhnya memudar, larut menjadi buih putih.
Seketika arus kuat mendorong Anggi ke atas. Ia tersedak, membuka mata dan mendapati dirinya berada di kolam renang luar rumah, bukan di ruang tamu.
Ia berenang menepi, lalu melihat Nisa tergeletak pingsan di tepi kolam.
“Nisa!!” teriaknya serak, memeluk adiknya. Napas Nisa masih ada, meski lemah.
Air kolam bergelombang pelan, seperti berbisik… lalu tenang kembali.
Anggi menatap Nisa, matanya berkaca-kaca. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan bertahun-tahun lalu, ia menangis bukan karena takut… melainkan karena lega.
…Anggi menengadah, matanya berkaca-kaca, menyadari satu hal:
Ia akhirnya telah menebus penyesalan yang membebaninya selama ini.
Malam itu, Anggi sadar… terkadang penyesalan tidak bisa dihapus, tapi bisa ditebus.
Dan sejak saat itu, setiap kali menatap Nisa, ia juga melihat senyum Lisa, yang akhirnya pergi dengan damai.