Langit sore itu mendung, awan hitam menggantung berat, seakan menahan rintihan yang tak sempat diucapkan bumi. Rinata berdiri di halte bus yang sudah tua, memeluk tas kerjanya erat. Seragam kantornya sedikit kusut, wajahnya lelah, namun matanya tetap menyimpan sinar semangat.
"Hari ini pasti lebih baik… aku harus percaya," batinnya sambil menghela napas panjang.
Tetes-tetes hujan mulai jatuh, deras dan cepat. Rinata mundur setapak, merapat ke tiang halte. Saat itu, seorang pria berpayung hitam datang berlari kecil. Tubuhnya tegap, wajahnya tenang meski basah oleh hujan.
“Permisi, boleh saya berdiri di sini juga?” tanyanya sopan sambil tersenyum tipis.
Rinata menoleh cepat. Ada sesuatu dalam senyum pria itu—hangat, seperti secangkir teh di tengah hujan.
“Tentu, silakan,” jawabnya, sedikit gugup.
Pria itu membuka sedikit payungnya, menutup celah agar Rinata juga terlindungi. Keheningan tercipta di antara suara hujan yang menghantam aspal.
“Nama saya Arka,” katanya memecah hening. “Kebetulan kantor saya tak jauh dari sini.”
“Rinata,” ia tersenyum singkat, “saya juga kerja di sekitar sini.”
Obrolan kecil pun mengalir, mulai dari pekerjaan hingga hobi. Rinata merasa nyaman, seolah hujan telah mempertemukan mereka bukan hanya sebagai orang asing, tapi sebagai dua jiwa yang saling menemukan kehangatan.
Beberapa bulan setelah pertemuan di halte itu, Rinata dan Arka menjadi semakin dekat. Mereka sering pulang bersama, duduk di kafe kecil dekat kantor, atau sekadar berjalan kaki sambil bercerita tentang hari-hari mereka.
Suatu sore, langit berwarna jingga keemasan. Ombak di tepi pantai berkejaran, dan angin laut berhembus lembut membawa aroma asin. Rinata berdiri menatap cakrawala, rambut panjangnya tergerai ditiup angin.
“Cantik sekali…” suara Arka terdengar lirih dari belakang.
Rinata menoleh, pipinya merona. “Apanya yang cantik?”
“Senjanya.” Arka tersenyum kecil, lalu menatapnya dalam-dalam. “Dan kamu.”
Rinata tertawa malu, lalu menunduk. Hatinya berdebar, campuran antara bahagia dan gugup. Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya.
Arka melangkah mendekat. “Rinata… aku tahu kita belum lama kenal, tapi setiap hari bersamamu membuatku yakin. Aku ingin menjaga kamu, apa pun yang terjadi.”
Rinata menatapnya dengan mata berkaca. Hujan pertama yang mempertemukan mereka kini terganti oleh senja yang seakan memberi restu.
“Arka…” suara Rinata bergetar, “kalau kamu serius, aku juga akan percaya. Tapi aku takut…”
Arka meraih tangannya, menggenggam erat. “Jangan takut. Aku janji, aku tidak akan pernah menyakiti kamu.”
Suasana hening, hanya suara debur ombak menemani. Rinata tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu… aku percaya.”
Dalam hatinya, Rinata berbisik: Inilah awal kisah cinta yang selalu kuimpikan.
Hari-hari berjalan manis bagi Rinata. Arka selalu menemaninya pulang, mengirim pesan singkat di pagi hari, bahkan sesekali memberi kejutan kecil—bunga kertas, secangkir kopi hangat, atau sekadar catatan lucu yang diselipkan di meja kerja.
Rinata sering tersenyum sendiri di kantor, membuat teman-temannya menggoda.
“Wah, ada yang lagi jatuh cinta nih,” canda Mira, rekan kerjanya.
Rinata hanya menggeleng dengan wajah merah. “Bukan begitu…”
Namun di balik kebahagiaan itu, ada momen-momen kecil yang perlahan membuat hatinya ragu.
Malam itu, Rinata menunggu Arka di sebuah kafe. Hujan rintik-rintik turun, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka. Ia menatap jam di ponselnya—sudah lewat satu jam dari janji.
Akhirnya, Arka datang. Wajahnya terlihat lelah, kemejanya kusut, dan ada aroma parfum asing yang samar-samar Rinata kenali.
“Maaf, aku terlambat,” ucap Arka buru-buru, mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa…” jawab Rinata, meski hatinya terasa sedikit sesak. “Kamu sibuk sekali akhir-akhir ini, ya?”
Arka menghela napas, lalu duduk. “Iya, pekerjaan sedang banyak. Jangan khawatir, semua baik-baik saja.”
Rinata ingin percaya, namun matanya menangkap sesuatu—bayangan notifikasi di layar ponsel Arka yang menyala sebentar. Nama seorang wanita muncul, “Nadya ❤️”.
Hatinya bergetar. Siapa Nadya? Kenapa ada simbol hati di sana?
“Arka…” Rinata menahan napas, berusaha tenang. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Arka menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Tentu, apa saja.”
Namun, sebelum Rinata sempat bicara, pelayan datang membawa pesanan. Suasana canggung tercipta, dan pertanyaan itu terhenti di tenggorokan.
Rinata hanya tersenyum paksa sambil menatap cangkir kopinya. Hatinya diliputi tanda tanya yang makin lama makin berat.
Malam itu Rinata tidak bisa tidur. Bayangan nama “Nadya ❤️” terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif—mungkin Nadya hanya teman kerja, mungkin simbol hati itu hanya candaan.
Namun, suara kecil dalam hatinya berbisik: Apa benar sesederhana itu?
Keesokan harinya, Rinata memutuskan pulang lebih awal dari kantor. Ia ingin memberi kejutan pada Arka, yang katanya lembur di kantornya. Rinata membawa kotak bekal berisi masakan favoritnya: ayam teriyaki buatan sendiri.
Langkahnya ringan, sampai ia tiba di depan gedung tempat Arka bekerja. Dari kejauhan, ia melihat sosok Arka keluar bersama seorang wanita bergaun merah muda. Wanita itu tersenyum manis, tangan mereka hampir bersentuhan.
Rinata membeku. Napasnya tercekat. Kotak bekal di tangannya bergetar.
Wanita itu—Nadya—menyandarkan kepala sebentar di bahu Arka sebelum masuk ke dalam mobil. Arka hanya menoleh sebentar, lalu tersenyum samar seakan menikmati kebersamaan itu.
Air mata Rinata menetes tanpa ia sadari. Ia bersembunyi di balik tiang lampu, tubuhnya gemetar.
Jadi… ini yang selama ini dia sembunyikan?
Arka menerima telepon setelah itu. Suaranya terdengar jelas di telinga Rinata yang berusaha menahan tangis.
“Iya, Nadya… hati-hati di jalan. Aku juga kangen.”
Kotak bekal yang Rinata bawa akhirnya terjatuh ke tanah. Bunyi plastik berderak kecil, tapi cukup membuat seorang satpam menoleh. Rinata buru-buru pergi, menahan isak dengan tangan yang menutupi mulutnya.
Dalam perjalanan pulang, pikirannya kalut.
Arka berjanji tidak akan pernah menyakitiku… tapi kenapa hatiku terasa hancur begini?
Di kamar malam itu, Rinata duduk di tepi ranjang. Matanya bengkak karena menangis. Tangannya menggenggam erat ponsel, menunggu pesan dari Arka yang biasanya selalu datang.
Namun, layar ponselnya hanya gelap. Tak ada pesan, tak ada panggilan. Hanya sepi yang menusuk hati.
Hujan deras mengguyur malam itu. Rinata duduk di dalam mobil taksi yang membawanya ke apartemen Arka. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya menggenggam erat payung hitam.
"Aku harus tahu jawabannya. Aku tidak bisa terus dibohongi," batinnya.
Sesampainya di depan pintu apartemen Arka, Rinata berdiri beberapa detik. Nafasnya memburu, jantungnya berdetak keras. Dengan gemetar, ia menekan bel.
Arka membuka pintu. Wajahnya terkejut.
“Rinata? Malam-malam begini kamu—”
“Boleh aku masuk?” potong Rinata, suaranya dingin.
Arka terdiam sejenak, lalu mengangguk dan mempersilakannya masuk.
Di ruang tamu, Rinata berdiri dengan mata yang tajam, tak lagi menunduk manis seperti biasanya.
“Arka, aku tidak akan berputar-putar. Siapa Nadya?”
Wajah Arka menegang. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu goyah.
“Hanya teman kerja. Kenapa?”
“Teman kerja?” Rinata melangkah mendekat. Suaranya bergetar, namun penuh amarah. “Teman kerja sampai harus kamu panggil dengan simbol hati? Teman kerja yang bisa kamu antar pulang dengan senyum yang dulu hanya kau berikan padaku?”
Arka terdiam. Rinata bisa melihat jelas: kebohongan yang ingin ia tutupi.
Air mata Rinata menetes lagi, kali ini bukan karena rindu, melainkan luka.
“Arka… aku percaya padamu. Aku mempercayai janji-janji yang kamu ucapkan di tepi senja itu. Tapi sekarang?"
Arka menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah.
“Aku… aku tidak bermaksud menyakitimu, Rinata. Nadya… dia datang di saat aku sedang kacau. Aku lemah, dan aku—”
“Cukup!” Rinata menjerit. “Jangan beri aku alasan! Kalau kau memilih dia, katakan saja!”
Keheningan panjang tercipta. Hanya suara hujan di luar yang terdengar.
Arka akhirnya berbisik, lirih, hampir tak terdengar:
“Aku… tidak bisa melepaskannya.”
Kalimat itu menancap di hati Rinata, lebih tajam dari pisau. Ia terdiam beberapa saat, lalu tersenyum getir dengan air mata mengalir deras.
“Terima kasih, Arka. Sekarang aku tahu… ternyata janji itu memang hanya omong kosong.”
Rinata berbalik, melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Pintu apartemen tertutup keras, meninggalkan Arka sendirian, tenggelam dalam penyesalan yang terlambat.