Langit sore itu berwarna jingga keemasan. Di tepi kota kecil, sebuah kedai kopi sederhana selalu menjadi saksi pertemuan dua insan. Dira, seorang mahasiswa seni, datang hampir setiap sore dengan buku sketsanya. Tangannya gemar menggambar apa saja yang menarik, dari bentuk daun hingga wajah orang asing yang duduk di sekitarnya.
Suatu hari, kursi di seberang mejanya diduduki oleh Arka, pemuda perantau yang bekerja sebagai teknisi komputer. Awalnya mereka hanya saling melempar senyum tipis. Namun kebetulan demi kebetulan membuat keduanya semakin sering bertemu di kedai itu.
“Boleh saya duduk?” tanya Arka suatu sore, saat semua meja penuh.
Dira mengangguk, meski wajahnya sedikit memerah. Sejak saat itu, percakapan mereka mengalir. Tentang kopi favorit, tentang hujan yang turun semalam, hingga tentang mimpi masing-masing.
Hari berganti minggu. Dira mulai terbiasa dengan kehadiran Arka. Ia merasa ada ruang kosong dalam hidupnya yang perlahan terisi. Arka pun begitu; kesederhanaan Dira membuatnya betah, seakan dunia luar yang keras bisa dilupakan sejenak.
Namun cinta tidak selalu lurus. Suatu ketika, Dira mendapat tawaran beasiswa melanjutkan studi ke luar negeri. Kebahagiaan bercampur kegelisahan, sebab ia tahu itu berarti jarak yang panjang dengan Arka.
“Aku tidak ingin meninggalkanmu,” ucap Dira lirih di tepi jalan yang diterangi lampu senja.
Arka menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis. “Mimpi harus kau kejar, Dir. Cinta yang benar tidak mengikat, tapi menguatkan. Kalau memang untuk kita, waktu tidak akan mengalahkan.”
Kalimat itu terpatri dalam hati Dira. Malam itu mereka berpisah dengan pelukan singkat, tetapi hangatnya terasa menembus waktu.
Bulan demi bulan berlalu. Komunikasi jarak jauh kadang membuat hati lelah, namun keyakinan menjaga mereka tetap bertahan. Setiap kali Dira rindu, ia membuka sketsa wajah Arka yang pernah ia gambar di kedai kopi. Sementara Arka, setiap kali lelah bekerja, selalu datang ke kedai yang sama, duduk di kursi seberang meja kosong, seakan Dira masih ada di sana.
Beberapa tahun kemudian, pada sore yang sama, langit kota kecil itu kembali jingga. Dira pulang dengan gelar di tangannya. Ia melangkah ke kedai kopi yang tak pernah berubah. Dan di sana, seperti biasa, Arka sudah duduk menunggu.
Tatapan mereka bertemu, tak ada kata yang terucap, hanya senyum yang penuh makna. Cinta itu ternyata tidak pernah pergi. Ia hanya menunggu waktu untuk kembali pulang.