Rani adalah siswi kelas 8 di sebuah SMP negeri. Sejak kecil ia suka berlari. Setiap kali ada acara olahraga di sekolah, Rani selalu ikut. Namun kali ini berbeda. Lomba lari tingkat kabupaten akan segera diadakan, dan Rani terpilih mewakili sekolahnya.
Masalahnya, sepatu olahraga Rani sudah rusak. Solnya tipis dan warnanya kusam. Ketika berlatih di lapangan, ia sering merasa sakit di telapak kakinya. Ia ingin meminta sepatu baru, tetapi orang tuanya belum mampu membelikan. Ayahnya hanya bekerja sebagai buruh harian, sementara ibunya berjualan kue di depan rumah.
Di sekolah, teman-temannya mulai memperhatikan perlengkapan baru. Ada yang membawa sepatu lari bermerk, ada pula yang membawa botol minum sport dengan desain keren. Rani sempat minder. “Apa aku pantas ikut lomba dengan sepatu seperti ini?” pikirnya.
Namun gurunya, Bu Dina, memberi semangat. “Rani, bukan sepatu yang membuatmu cepat. Latihan, tekad, dan keberanianlah yang menentukan.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.
Hari lomba pun tiba. Rani berdiri di garis start bersama pelari dari sekolah lain. Saat peluit berbunyi, ia langsung berlari sekencang-kencangnya. Awalnya ia ketinggalan, karena merasa sakit di telapak kaki. Tapi ia mengingat semua latihan kerasnya. Nafasnya diatur, langkahnya dipercepat.
Perlahan ia menyusul satu per satu lawan. Hingga di garis finis, Rani berhasil masuk urutan pertama. Semua orang bersorak, guru dan teman-temannya memeluknya. Bahkan lawan-lawannya memberi tepuk tangan.
Saat naik podium, Rani menunduk menahan haru. Sepatunya memang tua dan rusak, tapi tekadnya membawanya menjadi juara. Orang tuanya yang menonton dari jauh pun tersenyum bangga.
Malam itu, ayahnya berkata, “Rani, mulai besok ayah akan menabungkan uang lebih banyak. Kamu pantas punya sepatu baru.” Rani tersenyum, bukan karena sepatunya akan diganti, tapi karena ia tahu kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil.