Bukan sekadar kisah tentang senja dan hujan. Ini tentang waktu—tentang bagaimana sesuatu bisa hadir begitu saja tanpa perlu dijelaskan. Hujan bukan hanya air yang jatuh dari langit, tapi juga air mata yang pernah tumpah karena rindu. Senja pun bukan hanya pemandangan indah, melainkan wajah seseorang yang membuat segalanya terasa hangat meski sebentar.
Hujan selalu membawa ingatan tentangmu. Aku masih bisa merasakan tawa kecil kita saat berlari di bawah derasnya, pakaian yang basah, namun hati yang penuh. Bagi orang lain hujan mungkin hanya dingin, tapi bagiku, hujan adalah ruang di mana aku pernah benar-benar merasa dekat denganmu. Takdir mempertemukan kita di saat itu—aku tak tahu apakah hujan datang untuk menyatukan atau justru memisahkan.
Senja memang terlewat, tapi matamu selalu mengingatkanku pada senja itu. Semakin aku menatapnya, semakin aku tenggelam. Aku ingin sekali duduk bersamamu, berlama-lama menikmati langit jingga, bahkan menonton film sederhana yang kau suka. Rencana-rencana itu sering kali berubah, tapi aku tak pernah menyesal, karena bersamamu saja sudah cukup.
Namun kini, aku sadar. Aku tak lagi menginginkanmu. Bukan karena cintaku hilang, tapi karena aku tak tega merebutmu dari bayangan masa lalu yang masih kau genggam erat. Aku lupa memastikan: apakah kamu benar-benar siap melangkah bersama? Ataukah hatimu masih ingin beristirahat dan sembuh?
Aku ingat alasan mengapa dulu aku memilih memperjuangkanmu. Aku bertahan meski kau sempat ingin pergi cepat. Aku percaya, kisah kita berbeda, dan aku ingin sekali menjaganya. Tapi ternyata, ending kita memang tak sama seperti yang kubayangkan.
Andai bisa kembali, mungkin kita akan lebih berhati-hati. Senja-senja dan hujan yang dulu kita jalani, kini hanya akan menjadi kenangan. Aku ikhlas. Aku menghargai keputusanmu, meski itu berarti aku harus merelakanmu kembali pada masa lalu yang belum tuntas. Carilah kebahagiaan di sana. Carilah kasih sayang yang dulu tak sempat kau rasakan.
Terima kasih, untuk setiap hal kecil yang pernah kau lakukan: menjemputku meski hujan deras, menjadi alasan agar aku terhindar dari ajakan yang tak kuinginkan, menemani malam minggu dengan sederhana, bahkan sabar menghadapi sikapku yang sulit kau pahami. Aku berutang rasa pada semua itu.
Kini, izinkan aku benar-benar melepaskanmu. Jangan datang lagi, bukan karena aku benci, tapi karena aku ingin mencintaimu dengan cara paling tulus—membiarkanmu bahagia, meski bukan denganku.
Aku harap, kamu tak kembali.
---
Ladies and gentleman, I present this poem to you:
Aku ingin dibawah senja, bersama, berdua
Tak perlu menikmati senja, jika tatapan kita tetap terjaga
Tangis hujan meneteskan kenangan dan kesedihan
Takdir sudah tepat, namun terlalu cepat
Memori tak terucap, tetapi hati yang dekat
Hubungan kilat atas hasutan jahat
Bagaikan arus air bercampur limbah
Terbawa banjir karena ulah sampah
Menghanyutkan satu kunci hati yang pergi
Walaupun dipandang serasi, tetaplah menjadi basi
Lalu, bagaimana kondisi kunci hati itu?
Dia berlumut, bertranformasi kerikil berbentuk kunci
Aku hanya bisa,
Berterimakasih pada hati ini
Maaf telah naif
See you in another life