Jam dinding kosan Mira sudah menunjuk pukul 00.23 ketika laptopnya akhirnya tertutup. Mata perempuan itu perih, punggungnya kaku, dan notifikasi WhatsApp tiba-tiba berbunyi. Layar menyala, menampilkan nama yang selalu berhasil membuat dadanya sedikit lebih ringan.
Arga: Baru kelar jaga. Pasien terakhir anak kecil, panas tinggi. Aku capek banget, Mir.
Mira menatap pesan itu lama. Ada kelelahan yang menetes lewat kata-kata singkat Arga. Ia tahu betul, sejak lelaki itu masuk koas, hidup mereka tak lagi sama. Waktu bukan milik mereka berdua lagi, tapi milik pasien, milik senior, milik dunia yang menuntut. Begitu pun dirinya. Dunia korporat sudah menelannya bulat-bulat: deadline, revisi, rapat yang tak ada habisnya.
Mira: Istirahat ya, Ga. Jangan lupa makan. Aku juga capek banget. Tapi kita kuat, kan?
Balasannya terkirim, tanda centang biru muncul. Lama tak ada jawaban, mungkin Arga sudah terlelap. Mira merebahkan diri, mencoba percaya bahwa kalimat singkat itu cukup untuk menjaga mereka tetap bersama.
---
Mira dan Arga berpacaran sejak semester tiga. Dulu, cinta mereka sederhana: makan siang bareng di kantin, begadang belajar untuk ujian, atau sekadar duduk di taman kampus sambil bercanda soal masa depan. Walau dari jurusan yang berbeda dan Arga cukup sibuk di fakultasnya, waktu itu, dunia terasa lunak, seolah-olah cukup dengan keyakinan bahwa mereka akan baik-baik saja.
Namun kini, dunia menagih janji. Arga masuk koas, Mira diterima di sebuah start-up teknologi. Sejak hari pertama, keduanya langsung disambut kerasnya realita.
---
“Mir, sorry banget, aku nggak bisa datang ya malam ini. Aku jaga sampai pagi,” suara Arga di telepon terdengar lelah.
Mira menahan napas. Hari itu sebenarnya ulang tahunnya. Ia sudah menyiapkan makan malam sederhana, bahkan mengenakan gaun yang sudah lama tak ia pakai.
“Ya udah… nggak apa-apa. Kerja aja dulu, aku ngerti.”
Padahal hatinya ingin marah. Ingin teriak: kenapa selalu aku yang menunggu? Tapi bibirnya hanya mengucapkan pengertian, sebab cinta kadang berarti menelan kecewa sendirian.
---
Di sisi lain, Arga duduk di kursi jaga IGD dengan kepala tertunduk. Ia tahu Mira kecewa, ia tahu ia sudah absen terlalu sering. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Dunia kedokteran tidak memberi ruang untuk memilih. Baginya, Mira adalah rumah. Namun belakangan, rumah itu terasa makin jauh.
---
Suatu malam, pertengkaran tak terhindarkan.
“Ga, aku capek. Kita jarang ketemu, jarang ngobrol. Rasanya aku pacaran sama bayangan, bukan sama kamu,” suara Mira pecah di ujung telepon.
Arga terdiam lama. Suara mesin monitor di ruang IGD terdengar di belakangnya. “Aku juga capek, Mir. Tapi aku berjuang, bukan buat aku sendiri. Buat kita juga.”
“Tapi kalau berjuang buat kita, kenapa rasanya aku sendirian?”
Pertanyaan itu menggantung. Tak ada jawaban. Hening lebih kejam dari teriakan.
Malam itu mereka berdua tidur dengan hati yang sama-sama berat.
---
Hari-hari setelahnya, mereka jarang bicara. Chat WhatsApp hanya sekadar selamat pagi atau jangan lupa makan. Tak ada lagi telepon panjang sebelum tidur, tak ada lagi obrolan receh soal gosip kampus lama mereka. Cinta itu masih ada, tapi seperti api kecil yang nyaris padam.
Mira mulai bertanya dalam hati: apakah cinta cukup melawan waktu? Apakah janji yang dulu mereka ucapkan di bangku taman kampus bisa bertahan menghadapi jam kerja yang kejam?
---
Suatu sore, setelah rapat yang melelahkan, Mira naik KRL. Kereta penuh, tubuhnya hampir terhimpit. Di layar HP-nya muncul notifikasi lagi. Dari Arga.
Arga: Mir, aku habis operasi kecil. Tanganku masih gemetar. Aku tadi takut banget. Aku pengen kamu ada di sini.
Mira membaca pesan itu berulang kali. Hatinya tercekat. Selama ini ia sibuk dengan capeknya sendiri, lupa bahwa Arga juga menanggung beban yang bahkan lebih berat. Tiba-tiba air matanya mengalir di tengah keramaian kereta.
Ia mengetik cepat:
Mira: Aku ada, Ga. Selalu. Mungkin nggak di sampingmu sekarang, tapi aku nggak pernah pergi.
---
Malam itu, mereka bertemu. Tidak di restoran mewah, bukan pula di kafe cantik. Hanya di warung kopi depan rumah sakit, tempat Arga baru selesai shift. Mata lelaki itu sembab, wajahnya pucat, tapi ketika melihat Mira datang dengan rambut acak-acakan dan mata lelah, senyumnya merekah.
“Mir…”
Mira duduk, menatapnya. Ada jeda panjang sebelum ia bicara. “Kita udah sama-sama hancur, ya?”
Arga tertawa kecil, getir. “Tapi kita masih duduk bareng. Itu berarti apa?”
“Berarti kita masih berusaha. Entah sampai kapan.”
Diam-diam, tangan mereka saling menggenggam di bawah meja. Tak ada janji manis, tak ada kata-kata besar. Hanya genggaman yang hangat, sederhana, dan nyata.
---
Malam itu mereka pulang ke arah yang berbeda. Mira kembali ke kosan dengan kepalanya penuh tanya, Arga masuk lagi ke rumah sakit dengan tubuh yang setengah roboh. Tak ada kata putus, tak ada kata bertahan. Hanya langkah-langkah yang menggantung.
Di antara deru mesin kantor dan bunyi monitor pasien, cinta mereka tetap ada—tapi masa depannya kabur, seperti kereta malam yang terus melaju tanpa tahu stasiun akhirnya.