⊰᯽⊱┈──╌❊╌──┈⊰᯽⊱
"Kenyataannya, orang yang selama ini kamu perjuangkan dengan sepenuh hati—yang kamu sangka akan jadi tempat paling aman untuk pulang—ternyata tak jauh berbeda dari mereka yang hanya datang untuk melukai. Dia pun tidak benar-benar peduli pada hatimu, hati yang sudah terlalu sering retak tapi tetap kamu genggam erat, berharap kali ini tak pecah lagi. Tapi tetap saja ... dia membiarkannya hancur, seolah rapuhmu tak pernah penting sejak awal."
────୨ৎ────
"Kenapa kamu nuduh aku sampai segitunya? Kenapa kamu bisa seyakin itu kalau semua ini ulah aku? Padahal yang kamu lihat cuma rekaman CCTV yang bahkan terpotong. Kamu nggak benar-benar tahu kejadian yang sebenarnya kayak gimana!"
"GUE TAU LO CUMA PURA-PURA BODOH, KAN?!! OTAK LO ITU LICIK, SAMA LICIKNYA KAYAK NYOKAP LO YANG CUMA BISA NGEMIS KE NYOKAP GUE!!"
PLAK.
Tamparan itu mendarat keras di pipi kanan lelaki yang sedari tadi terus membentak. Gadis di depannya kini menatap tajam, sorot matanya bergetar, pikirannya penuh sesak, dadanya mencelos, tubuhnya nyaris kehilangan tenaga.
Tanpa sadar, ia menampar lelaki yang selama ini menampungnya. Lelaki yang dulu pernah jadi tempat berpulangnya saat dunia begitu kejam.
Ruangan kecil itu mendadak senyap. Lampu temaram tak cukup menghangatkan hawa pengap yang mengurung mereka berdua. Gadis itu sulit bernapas—bukan hanya karena sesaknya udara, tapi juga karena dadanya terasa dicekik kenyataan.
"Lo nampar gue?" Suaranya pelan, tapi tajam. Nafasnya berat, seolah menahan dentuman amarah yang siap meledak lagi. Ia tatap mata gadis itu. Netra bening yang kini dipenuhi air mata, Begitu dalam, begitu sakit.
Ia telah menyakitinya. Gadis yang ingin ia lindungi, justru terluka karena dirinya. Lagi-lagi gadis itu menangis dan penyebabnya selalu dia.
"Kamu boleh hina aku... tapi jangan Ibu aku!" suara gadis itu pecah, diiringi isak dan tangan yang menyeka air mata dengan kasar.
"Kamu nggak tahu apa-apa tentang Ibu aku! Kamu cuma orang asing, dan kamu nggak akan pernah ngerti gimana perjuangan dia buat nyelametin hidup aku!"
Ia tak sanggup lagi menahan. Hatinya remuk. Laki-laki yang ia percaya, yang ia cintai diam-diam, ternyata tega menginjak harga diri ibunya.
Padahal hanya dia yang benar-benar tahu bagaimana ibunya dipandang rendah, diperlakukan seperti sampah oleh dunia. Hanya dia yang tahu setiap luka, setiap air mata yang disembunyikan ibunya di balik senyum tipisnya.
Dunia seolah setuju bahwa ibunya tidak layak dihormati. Seolah hanya karena miskin, ibunya pantas dicaci. Dan sekarang, laki-laki yang ia cintai pun ikut menginjak harga diri itu.
"Iya, aku cuma anak kampung yang numpang hidup di rumah kamu. Tapi aku bukan pengemis. Aku nggak pernah maksa Mama kamu buat nyekolahin aku di sekolah mahal. Aku memang miskin, tapi aku dan Ibu aku punya harga diri. Dan aku nggak akan jual harga diri aku buat laki-laki kayak kamu. Bahkan kalau aku cinta kamu sekalipun ..."
Kalimat itu mengambang bersama napas yang tercekat. Tapi tidak butuh waktu berlama lama di ruangan yang sesak ini, ia melangkah pergi. Meninggalkan ruangan sempit itu, meninggalkan laki-laki yang tadi membentak nya begitu keras, lalu kini hanya bisa terdiam.
Ia berjalan dengan tubuh penuh luka—lutut memar, pergelangan merah, wajah basah air mata, dan hati... hati yang sudah terlalu sering remuk, kini kembali tercabik. Lebih dalam dari sebelumnya.
Tapi yang paling sakit, justru karena ia masih mencintai laki-laki itu.
Aku mencintai kamu ... selalu Batinnya lirih, sesaat sebelum langkahnya menghilang dalam kegelapan. Ia pergi, menelan kecewa, menahan sesak yang tak tertuntaskan. Isakan pilunya menggema di antara langkah kaki yang meninggalkan ruangan sempit itu.
Tapi rasa itu tak terdengar oleh siapa pun.
Terkubur di balik isak, di balik mata yang terus basah. Ia berjalan dengan tubuh yang terluka, tapi yang lebih parah adalah luka yang tak tampak—luka yang bersarang di dalam dada. Luka yang tidak bisa dibalut perban atau sembuh hanya dengan waktu. Luka karena cinta yang ia beri .. malah kembali padanya sebagai pengkhianatan.
Dan di ruangan itu, laki-laki itu akhirnya jatuh berlutut. Menjambak rambutnya sendiri, seolah ingin mencabut semua rasa bersalah yang menyesakkan dadanya.
"Maaf..." Gumamnya lirih.
"Maafin gue .."
Ia menyesal. Tapi mungkin, penyesalan itu datang terlalu telat.
Air mata gadis itu tak terbendung, jatuh deras seperti hujan yang tak diundang.
Wajah cantiknya kini hanya cermin dari luka yang terlalu sering dipendam—dan kali ini, luka itu tak bisa lagi ia sembunyikan.
Orang yang paling ingin ia percaya, justru yang paling pandai menghancurkannya.
Dan sekarang gadis itu pergi.
bukan karena tidak cinta.
Tapi karena terlalu cinta, dan cinta itu membunuhnya perlahan-lahan.
Kalau tetap tinggal, dia tahu—dirinya akan habis. Akan kehilangan semua yang ia punya, termasuk dirinya sendiri. Dan itu bukan cinta lagi. Itu luka yang dibiarkan membusuk dalam diam.
Jadi dia memilih pergi.
Bukan karena berhenti mencintai laki laki itu, tapi karena akhirnya ia memilih .. menyelamatkan dirinya sendiri.