Malam jatuh perlahan, menaburkan cahaya lampu kota di antara bayangan. Mereka berdua berjalan tanpa banyak kata, seolah dunia memberi ruang hanya untuk hening.
“Kenapa diem aja?” tanya Aliya, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
Arsya tersenyum samar, matanya menatap jalan kosong di depan. “Kadang, kata-kata terlalu kecil buat nampung rasanya.”
Aliya berhenti, menatapnya. “Maksud mu?”
Arsya menarik napas, lalu berbisik seakan takut pecah,
“Setiap aku bareng kamu… sepi berubah jadi rumah. Aku nggak pernah lagi merasa sendirian. Itu kenapa… aku sayang sama kamu.”
Dalam perspektif orang luar, itu hanya pengakuan sederhana di jalan malam. Namun, di dada mereka, kalimat itu bergetar seperti doa yang akhirnya menemukan suara.
Aliya menunduk tersipu, lalu menatapnya dengan lembut.
“Kamu nggak tau ya… aku udah lama nunggu kata-kata itu. Karena di hati ku, kamu udah jadi alasan kenapa malam nggak pernah lagi gelap.”
Dan pada akhirnya, tak ada yang lebih puitis daripada dua hati yang saling menemukan dalam kesenyapan.