Mereka bertemu saat hujan. Tapi bukan pertemuan yang dramatis, hanya dua orang asing yang sama-sama menunggu teduh di bawah atap halte. Namanya Awan. Dan dia membuat Alya percaya bahwa cinta bisa tumbuh perlahan... dan tulus.
Awalnya sederhana. Chat malam hari, tawa kecil lewat pesan suara, hingga akhirnya mereka saling terbiasa. Saling menjaga. Saling ada. Tidak ada janji manis, tidak ada label. Tapi mereka tahu, hati mereka saling terpaut.
Namun seperti bunga yang tak disiram, rasa itu mulai layu tanpa mereka sadari.
Awan mulai jarang hadir. Tak ada lagi "jaga diri, ya", atau "kamu udah makan?". Alya diam—menunggu, berharap, sambil menyembunyikan sesak yang tumbuh.
Suatu malam, Awan mengirim pesan yang singkat:
*"Kita kayaknya nggak ke mana-mana ya, Ly."*
Dan malam itu, semua yang Alya simpan pecah jadi sunyi. Ia ingin marah, tapi tak bisa. Karena ia tahu... Awan tak pernah jahat. Hanya tak lagi ingin bertahan.
*"Kalau memang akhirnya kita bukan apa-apa, kenapa dulu kau buat semuanya terasa seolah kita bisa jadi segalanya?"*
Pertanyaan itu hanya ia simpan sendiri, tak pernah terucap.
Sekarang, Alya berdiri di halte tempat mereka pertama bertemu. Tapi tidak ada hujan. Tidak ada Awan. Hanya bayangan cinta yang sempat tumbuh... lalu hilang.
Mereka pernah dekat. Pernah hampir jadi nyata. Tapi akhirnya, mereka hanya dua nama yang pernah saling mendoakan, namun berakhir tak bahagia.
---