Ayla masih mengingat semuanya.
Cara Davi menggenggam tangannya saat hujan pertama di bulan Juni. Cara dia tertawa saat mereka nyasar di kota kecil yang bahkan Google Maps pun bingung. Cara dia bilang, *“Aku nggak akan ninggalin kamu, Ayla. Nggak pernah.”*
Dan sekarang, Davi ada di feed Instagram orang lain. Tersenyum. Dengan gadis baru. Mengulang kata-kata dan janji yang dulu ia jaga untuk Ayla, kini dengan ringan ia berikan pada orang lain.
Semudah itu?
Ayla menatap layar ponselnya lama. Tangannya dingin, dada sesak, tapi tak ada air mata lagi. Habis. Yang tersisa cuma kekosongan yang menyakitkan—karena seseorang yang ia jaga begitu dalam, ternyata tak merasa hal yang sama.
“Kenapa kamu bisa move on secepat itu?” bisik Ayla, meski tahu tak akan pernah dapat jawaban.
Semua orang bilang, “Dia memang bukan yang terbaik buat kamu.”
Tapi Ayla tak butuh yang terbaik. Ia hanya ingin seseorang yang tak pergi begitu saja. Yang tak menjadikan hatinya seperti cerita yang bisa di-skip saat sudah membosankan.
*"Each day goes by and each night, I cry..."*
Tapi dunia tetap berjalan. Dan Davi... tak menoleh sekali pun.
Ayla masih menyimpan pesan terakhir Davi, “Maaf, aku butuh ruang.”
Ruang itu ternyata cukup luas untuk orang lain masuk.
Dan Ayla?
Ia belajar satu hal penting dari cinta yang patah: bahwa kadang, orang yang kita jaga sepenuh hati... adalah orang yang paling mudah membuang kita tanpa rasa bersalah.
---