Namanya Nadira. Dan setiap kali ia tersenyum, Damar merasa waktu menahan napasnya.
Damar bukan tipe pria yang percaya pada cinta pandangan pertama. Tapi entah kenapa, saat Nadira tertawa kecil di perpustakaan sekolah karena novel konyol yang ia baca, Damar tahu—dia ingin jadi alasan tawa itu.
Mereka berteman. Lama. Terlalu lama, mungkin.
Damar selalu ada: saat Nadira patah hati karena pria yang salah, saat ia sakit dan tidak masuk sekolah seminggu, bahkan saat dunia seperti membencinya, Damar tetap duduk di sisinya, diam, tapi cukup.
Namun satu hal yang tak pernah Damar lakukan: mengucapkan perasaannya.
Karena Nadira selalu bicara soal cinta seperti itu bukan Damar. Seolah dia hanya ‘teman terbaik’. Hanya itu. Dan Damar pun berpura-pura tidak apa-apa, padahal hatinya seperti baris lagu:
*"I’m just a line without a hook…"*
Satu kalimat, tanpa tujuan. Satu hati, tanpa pegangan.
Waktu berlalu. Nadira berubah. Ia mulai menjauh, tak lagi sering membalas pesan. Damar tahu, ada seseorang baru di hidupnya. Dan untuk pertama kalinya, Damar sadar—diam bukan bentuk kasih sayang yang cukup.
Ia berdiri di depan rumah Nadira malam itu, membawa payung dan secarik kertas. Bukan pengakuan panjang, hanya satu baris:
*"Kalau kamu nyasar, aku tetap di sini. Tapi kalau kamu bahagia… aku akan diam, seperti biasa."*
Tapi Nadira tak membukakan pintu. Yang keluar hanyalah suara tawa dari dalam rumah—tawa yang bukan karena Damar.
Damar pulang, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa seperti baris lagu itu. Kosong. Gantung. Tak pernah sampai.
---