Jam 05.30 pagi, alarm ponsel Darto meraung kayak sirine kebakaran.
Ia membuka mata, menatap langit-langit kosannya yang catnya sudah mulai mengelupas.
“Ya Tuhan… kenapa pagi cepet banget dateng, sih? Kayak dosen killer masuk kelas lebih awal,” gumamnya sambil mengucek mata.
Darto adalah seorang staf administrasi di sebuah kantor multinasional (yang kalau dijelaskan panjang lebar, intinya dia lebih banyak nginput data ketimbang input perasaan).
Masalahnya bukan di kantornya, tapi di transportasi menuju kantor.
Setiap hari, perjalanan Darto lebih menegangkan daripada film action Hollywood.
---
Babak 1: Pertarungan di Halte
Setelah mandi kilat ala speedrun, Darto lari ke halte busway.
Di sana, antrean sudah kayak anaconda panjangnya, melilit sampai ke warung bubur.
Begitu bus datang, semua orang otomatis berubah jadi atlet tolak peluru, loncat, dorong, sikut.
Darto menghela napas. “Inilah saatnya.”
Dengan jurus “Sikut Penuh Cinta”, ia berhasil masuk, meski tasnya kejepit pintu.
Bus penuh sesak, aroma kombinasi parfum, keringat, dan bau lontong sayur menyerang hidungnya.
“Ini… medan perang yang sesungguhnya,” bisiknya dramatis.
---
Babak 2: Duel di KRL
Belum selesai misi pertama, Darto harus lanjut naik KRL.
Di stasiun, penumpang sudah berjejer kayak pasukan prajurit menunggu aba-aba perang.
Begitu kereta datang—BRUUUAK!—semua serentak menyerbu.
Darto melompat masuk, tapi tubuhnya terjepit di antara bapak-bapak ngantuk dan mbak-mbak scrolling TikTok.
Posisinya mirip ikan sarden di kaleng.
Setiap kali kereta berhenti mendadak, ia ikut goyang dangdut, meski tanpa musik.
Seorang ibu-ibu nyeletuk: “Mas, pegangannya jangan ke rambut saya ya.”
Darto hanya bisa nyengir. “Hehe, maaf, Bu. Lagi cari pegangan hidup.”
---
Babak 3: Mengejar Matahari
Setelah berhasil keluar stasiun, matahari sudah naik tinggi.
Keringat bercucuran, jasnya lecek, tapi semangatnya masih terbakar.
Ia menatap langit dan berlari, seakan sedang syuting iklan minuman energi.
“Kalau gue telat lagi, bisa disemprot bos. Tapi… ini bukan sekadar tentang jam kantor. Ini… tentang harga diri seorang pejuang gaji UMR!”
Dengan napas terengah, Darto sampai di gedung kantor tepat pukul 08.59.
Satu menit sebelum finger print.
Ia menepuk dadanya, tersenyum bangga.
“Terpaksa mengejar matahari tiap hari… demi sesuap nasi dan cicilan motor. Tapi, hey… gue masih hidup. Dan itu udah cukup heroik.”
“Hidup itu kayak naik angkot di Jakarta—sempit, macet, kadang bikin jengkel… tapi kalau sabar, akhirnya tetap sampai tujuan.” 🚍✨