-POV Wawan-
Hari pertama aku pindah ke rumah kontrakan baru, aku langsung tahu: tetanggaku nggak bisa disepelekan.
Dia muncul dengan sapu lidi di tangan, wajah keringetan, tapi ekspresinya kayak satpam komplek. Namanya El, begitu kata tukang ojek online yang nganter barangku.
Awalnya aku pikir dia ramah, eh ternyata... bukan.
Angin nakal meniup dedaunan ke halamanku. El langsung nyeletuk,
“Mas, jangan buang sampah ke halaman saya dong.”
Aku bengong. Lah, padahal aku baru mindahin kardus.
“Iya, Mbak, nanti saya tegur anginnya biar nggak rese,” jawabku.
Dia melotot. Aku senyum. Dan sejak saat itu, aku tahu: tetangga baruku bakal jadi bahan hiburan.
---
Hari-hari berikutnya, interaksi kami random banget. Kadang aku berangkat kerja pagi, dia baru pulang jogging. Kadang aku pulang malam, dia lagi rebus mie instan. Dan hampir selalu, kami ribut kecil.
Contoh:
“Mas, motornya jangan parkir nutup jalan masuk.”
“Iya Mbak, tapi jalan ini kan buat umum, bukan jalan tol pribadi Mbak.”
Dia mendengus, aku ketawa. Entah kenapa, setiap kali debat receh kayak gitu, aku merasa hari-hariku jadi lebih rame.
Tapi lama-lama, aku mulai sadar sesuatu.
Suatu sore, aku lihat El pulang kerja bawa belanjaan super berat. Kantongnya kayak mau jebol. Tangan kecilnya gemetaran. Tanpa mikir, aku ambil belanjaannya.
“Biar saya bantu, Mbak. Masa tetangga sebelah dibiarkan jadi atlit angkat beban gratis?”
Dia sempat protes, tapi mukanya merah. Aku malah makin senyum-senyum.
Mulai saat itu, aku resmi kena. Iya, kena racun tetangga sendiri.
---
-POV El-
Aku tinggal di komplek ini udah lama. Damai, tenang, adem ayem… sampai ada pendatang baru: Wawan.
Dari pertama lihat, aku tahu: orang ini tipe yang nggak bisa diem. Ada aja komentar receh keluar dari mulutnya.
Hari pertama ketemu, aku lagi nyapu halaman. Angin nakal meniup daun ke halaman dia. Eh, dia malah senyum-senyum. Aku refleks ngomel,
“Mas, jangan buang sampah sembarangan ya.”
Dan jawaban dia bikin aku kaget,
“Nanti saya tegur anginnya biar nggak ngerepotin Mbak.”
Astaga. Itu garing banget. Tapi… jujur, aku hampir ketawa. Untung gengsi masih tebal.
---
Hari-hari berikutnya, Wawan jadi sumber kekesalan sekaligus hiburan. Dia suka parkir motor ngawur, suka nyeletuk sok akrab. Nyebelin. Tapi kalau sehari nggak lihat, kok rasanya ada yang hilang ya?
Puncaknya, waktu aku pulang kerja bawa belanjaan segambreng. Tangan udah sakit, keringat netes. Tiba-tiba Wawan muncul, langsung comot belanjaanku.
“Biar saya bantu, Mbak. Masa calon mantu tetangga depan dibiarkan pegel sendirian?” katanya sambil nyengir.
Aku pura-pura manyun, tapi sumpah, jantungku deg-degan kayak abis lari maraton.
Sejak saat itu, aku mulai takut. Takut kalau beneran jatuh suka sama tetangga bawel ini.
---
-POV Wawan-
Aku makin yakin: El itu bukan cuma tetangga ribut. Dia sesuatu yang lebih.
Aku coba deketin pelan-pelan. Kadang pura-pura minta garam (padahal stok di dapur banyak), kadang pura-pura pinjam ember (padahal punya dua). Pokoknya, alasan receh biar bisa ngobrol.
Sampai suatu malam, listrik komplek mati. Gelap gulita. Aku keluar rumah bawa senter, dan ternyata El juga keluar, wajahnya pucat.
“Takut gelap ya?” tanyaku.
“Enggak. Takut maling,” jawabnya ketus.
Tapi aku lihat tangannya gemetar. Akhirnya kami duduk di teras, ngobrol sampai listrik nyala lagi. Entah kenapa, malam itu aku merasa… tenang. Seolah, kalau ada El di sebelah, dunia nggak semenakutkan itu.
---
-POV El-
Wawan memang bawel, tapi ada satu hal: dia nggak pernah bikin aku merasa sendirian.
Waktu listrik mati, dia duduk di teras nemenin aku. Waktu hujan deras, dia nawarin jas hujan. Waktu aku sakit, tiba-tiba ada bubur ayam nongol di depan pintu rumah.
Sampai akhirnya, aku sadar. Yang dulu aku kira cuma tetangga nyebelin, ternyata dia orang yang diam-diam selalu ada di momen penting hidupku.
---
Epilog (Dua Sudut Pandang)
Wawan:
Hari itu aku berdiri di depan rumah El, pake kemeja rapi, bawa orang tuaku. Jantungku mau copot. Tapi aku tahu, ini saatnya.
“El, maukah kamu bukan cuma jadi tetanggaku… tapi juga jadi teman hidupku?”
El:
Aku melongo. Rasanya kayak mimpi. Dulu kami ribut gara-gara sampah, motor, sampai mie instan. Tapi ternyata… dari semua ribut receh itu, aku nemuin sesuatu yang lebih dalam.
Aku senyum, lalu jawab pelan, “Iya, Wan.”
---
Dan begitulah akhirnya.
Dulu pagar rumah jadi saksi ribut-ribut kecil kami.
Sekarang pelaminan jadi saksi senyum kami.
Siapa sangka? Tetangga goes to pelaminan juga bisa jadi kisah cinta seumur hidup.