Aku dulu sering merasa malu pada ayah dan ibu. Mereka bukan orang kaya. Ayah hanyalah seorang kuli bangunan dengan kulit legam, tangan penuh kapalan, dan baju kerja yang selalu bau keringat.
Ibu hanyalah penjual sayur keliling, tubuhnya kecil, kurus, dengan wajah yang sering basah oleh peluh karena setiap pagi memanggul keranjang sayuran yang lebih berat dari tubuhnya sendiri.
Sementara teman-temanku dijemput dengan motor bagus, aku hanya dijemput dengan motor tua. Motor yang suaranya berisik, knalpotnya berasap, dan catnya sudah terkelupas di mana-mana. Aku selalu menunduk setiap kali naik motor itu.
Aku malu...
Ya, aku malu punya orangtua seperti mereka.
Aku masih ingat jelas ketika SMP. Ayah datang menjemputku di depan sekolah dengan motor butut itu. Helmnya cuma satu, dan ia selalu menyerahkan padaku, meski ia sendiri harus mengendarai tanpa pelindung kepala.
Beberapa temanku menahan tawa. Ada yang berbisik,
“Itu ayahnya Raka? Motornya udah kayak rongsokan.”
Wajahku panas, telingaku berdenging. Aku berjalan cepat, mendekatinya, lalu berbisik dengan nada kesal yang menusuk.
“Ayah… jangan jemput aku lagi pakai motor jelek ini! Malu tahu nggak sih?!”
Senyumnya meredup. Ia hanya mengangguk pelan. “Baik, Nak. Nanti Ayah biarin kamu pulang sendiri.”
Bodohnya aku, aku malah lega saat itu. Tanpa sadar, aku baru saja menusuk hati seorang ayah yang hanya ingin memastikan anaknya pulang dengan selamat.
Aku juga sering marah di rumah. “Kenapa kita miskin, Yah? Kenapa Ibu cuma jualan sayur? Kenapa aku nggak bisa kayak teman-temanku?!”
Ibu hanya menunduk, lalu tersenyum kecil. “Maaf ya, Nak. Ibu usahakan yang terbaik.”
Ayah diam sebentar, menepuk bahuku dengan tangan kasarnya.
“Asal kamu sekolah sungguh-sungguh, Ayah nggak apa-apa kerja lebih keras.”
Tapi aku tidak pernah puas. Aku tidak pernah berterima kasih. Aku terlalu sibuk dengan gengsi dan rasa malu.
Suatu hari aku sakit keras. Demam tinggi, menggigil, tak bisa bangun.
Aku mendengar ibu menangis di ruang tamu. “Yah, uang tinggal segini. Aku pinjam dulu ke Bu Ratna ya, buat beli vitamin Raka.”
Ayah terdiam lama, “Nggak usah. Besok aku lembur. Kalau perlu, aku jual motor tua itu.”
Dan benar saja..
Esok paginya, motor butut yang biasa kupakai sekolah itu sudah tak ada lagi. Beberapa jam kemudian, obat-obatan lengkap tersedia di meja.
Aku tahu… ayah menjual motornya demi aku. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Aku hanya diam, seolah semua itu hal yang wajar.
Waktu berjalan...Aku kuliah, Ayah makin tua, punggungnya bungkuk, tangannya bergetar saat memegang paku. Ibu makin kurus, keriput wajahnya makin dalam.
Tapi aku jarang pulang. Aku jarang memberi kabar. Dan aku tetap belum pernah berkata: terima kasih.
Sampai telepon itu datang. “Raka, cepat pulang! Ayahmu jatuh di tempat kerja!”
Darahku seakan berhenti mengalir. Aku pulang tergesa.
Dan menemukan ayah terbaring di rumah sakit.
Tubuhnya penuh luka. Tangannya yang dulu kuat kini terkulai lemah.
“Raka…” suaranya parau. “Kamu sehat, Nak? Kuliahmu baik-baik saja?”
Air mataku pecah seketika. “Ayah jangan ngomong gitu. Aku yang salah, Yah. Aku anak durhaka. Aku sering marahin Ayah. Aku malu dijemput motor tua itu. Padahal Ayah udah korbanin segalanya buat aku…”
Ayah menatapku, tersenyum samar. “Jangan bilang begitu. Ayah bahagia. Bisa lihat kamu sekolah tinggi… itu sudah cukup.”
Beberapa hari kemudian, ayah pergi. Selamanya...
Aku meraung di samping tubuhnya. Semua kata yang tak pernah kuucapkan menghantam seperti badai. Semua pelukan yang tak pernah kuberikan menjerit dalam dadaku. Tapi semuanya terlambat.
Ibu masih bertahan. Meski tubuhnya rapuh, meski napasnya semakin berat.
Aku mencoba berubah. Aku mulai sering pulang, merawatnya, menemaninya duduk di kursi bambu depan rumah.
Suatu sore, aku berkata dengan suara bergetar:
“Ibu… maafkan aku. Selama ini aku malu punya orangtua miskin. Aku marah, aku lupa kalau semua yang aku punya itu dari keringat kalian.”
Ibu menatapku, matanya berkaca. Tangannya yang gemetar mengelus kepalaku.
“Nak… orangtua nggak pernah hitung-hitungan sama anak. Apa pun yang kami lakukan, cuma satu tujuannya… supaya kamu bahagia.”
Air mataku deras jatuh. “Tapi aku telat, Bu… aku telat bersyukur. Aku baru sadar setelah Ayah pergi.”
Ibu tersenyum, meski bibirnya pucat. “Tidak ada kata telat untuk mencintai. Selama kamu sadar, itu sudah cukup buat Ibu.”
Beberapa bulan kemudian, ibu juga pergi. Dan aku kembali kehilangan.
Kini rumah itu kosong. Kursi bambu hanya tinggal benda mati. Motor tua itu tak pernah kembali.
Aku duduk di pusara mereka, menatap dua nisan yang berdiri berdampingan. Angin sore berhembus pelan, seakan menyampaikan salam dari langit.
“Ayah… Ibu…” bisikku.
“Kalau saja waktu bisa diulang, aku akan berlari pulang setiap hari. Aku akan memeluk kalian erat-erat. Aku akan berterima kasih untuk setiap keringat, setiap luka, setiap lelah yang kalian sembunyikan demi aku.”
Air mataku jatuh, membasahi tanah makam. Yang tersisa kini hanya doa. Doa yang tak pernah cukup untuk membalas cinta tanpa syarat.
Penutup: “Jangan pernah malu pada peluh orangtuamu. Karena di setiap tetes keringat mereka, tersimpan doa agar kau hidup lebih baik dari mereka.”