---
"Janji yang Tertinggal"
Hari itu hujan deras sejak pagi. Lucien duduk di bangku paling belakang kelas, sesekali mencuri pandang ke arah Aurelia yang sedang sibuk mencatat di depan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi selalu tertahan di tenggorokan.
Hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri: aku akan bilang.
Saat bel pulang berbunyi, Aurelia berpamitan. “Aku harus ke perpustakaan sebentar, tunggu aku kalau kamu nggak buru-buru pulang, ya,” katanya sambil tersenyum.
Lucien hanya mengangguk, jantungnya berdebar. Nanti. Aku akan bilang nanti.
Ia menunggu di gerbang sekolah, hujan mulai reda. Namun, suara kecil seorang anak membuatnya menoleh. Di seberang jalan, seorang bocah menangis karena bonekanya jatuh ke tengah jalan. Tanpa pikir panjang, Lucien berlari.
“Jangan di situ! Berhenti!” teriaknya.
Ia berhasil mendorong anak itu ke trotoar. Tapi ia tak sempat menghindar.
BRAK!
Tubuhnya terhempas, darah mengalir hangat di aspal. Kesadarannya meredup. Dalam pandangan kabur, ponselnya bergetar—sebuah pesan dari Aurelia:
"Jangan pulang dulu, ya. Aku mau bilang sesuatu nanti… tentang kita."
Senyum tipis muncul di wajahnya, sebelum semuanya gelap.
---
Malam itu, Aurelia kembali ke sekolah untuk mengambil buku catatannya. Lorong kelas sunyi, hanya suara hujan di luar yang terdengar.
“Aneh… biasanya masih ada satpam,” gumamnya.
Saat berbalik, ia membeku. Di ujung lorong, Lucien berdiri. Pucat, basah, tapi tersenyum.
“Lucien? Kamu masih di sini? Aku—aku mau bilang sesuatu,” katanya sambil melangkah mendekat.
Lucien menggeleng pelan. “Aku tahu. Aku juga mau bilang sesuatu… tapi aku nggak punya banyak waktu, Aurelia.”
Aurelia mengernyit. “Apa maksudmu?”
Lucien mendekat, dan barulah Aurelia melihat darah mengalir dari dadanya, seragamnya sobek. Bau anyir memenuhi udara.
“Lucien…” suaranya bergetar. “Kenapa kamu—”
“Aku udah mati,” bisik Lucien. “Tadi sore. Aku cuma datang untuk bilang… aku cinta kamu. Dari dulu.”
Air mata Aurelia jatuh. “Tidak… jangan ngomong kayak gitu. Ini mimpi, kan?!”
Lucien mengusap pipinya dengan sentuhan dingin. “Kamu harus hidup. Bahagia. Untuk kita berdua.”
Aurelia terisak, memeluknya erat meski tubuh itu terasa dingin dan samar. “Jangan pergi. Aku butuh kamu…”
Lucien tersenyum lemah. “Aku selalu ada di sini.” Ia menyentuh dadanya sendiri, lalu menghilang perlahan dalam pelukan Aurelia, meninggalkan lorong kosong yang berbau darah.
Ponselnya bergetar di saku—pesan yang baru sempat terkirim beberapa detik sebelum Lucien meninggal:
"Aku cinta kamu, Aurelia. Maaf, aku nggak sempat bilang langsung."
Aurelia berlutut di lantai, menatap layar ponsel itu. Di tengah lorong sunyi, ia menangis hingga suara hujan tak lagi terdengar.
Dan sejak malam itu, setiap hujan turun, seseorang bersumpah melihat sosok lelaki pucat berdiri di gerbang sekolah… menunggu seseorang yang tak pernah datang lagi.
---