---
"Hujan Terakhir"
Hujan sore itu turun deras, membasahi kota yang selalu ramai. Di bawah atap halte kecil, Elio berdiri sambil memandangi layar ponselnya—pesan yang belum terkirim.
"Kamu di mana, Serene? Aku di sini."
Sudah satu jam ia menunggu. Satu jam yang terasa seperti seabad.
Kenangan tentang Serene datang seperti kilatan cahaya: tawa renyahnya di kafe kampus, caranya selalu menyelipkan pensil di balik telinga saat belajar, dan kebiasaan kecilnya mengusap kepala Elio setiap kali ia murung. Mereka bukan sekadar teman—tapi juga bukan sepasang kekasih. Hubungan mereka berada di ruang abu-abu yang aneh… nyaman, namun rapuh.
“Elio.”
Suara itu membuatnya menoleh cepat. Serene berdiri beberapa langkah darinya, basah kuyup tanpa payung. Senyumnya tipis, tapi matanya sembab.
“Kita bisa bicara sebentar?” tanyanya.
Elio hanya mengangguk.
Serene menarik napas panjang. “Aku… diterima kerja di luar negeri. Berangkat lusa.”
Dunia Elio seakan berhenti berputar. “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?” suaranya bergetar.
“Aku takut,” jawab Serene lirih. “Takut kamu menahan aku. Takut aku jadi pengecut yang nggak berani ambil kesempatan.”
Elio menggenggam ponselnya erat-erat, menahan segala emosi yang ingin meledak. “Jadi… semua ini, kita, cuma sementara?”
Serene menatapnya lama. “Aku sayang kamu, Elio. Tapi aku nggak bisa milih kamu kali ini.”
Hujan semakin deras, menenggelamkan suara-suara di sekitar mereka. Elio ingin meraih Serene, memeluknya, meminta satu alasan untuk tetap tinggal. Tapi yang ia lakukan hanyalah tersenyum hambar.
“Pergilah,” katanya akhirnya. “Kejar mimpimu. Aku cuma… akan selalu jadi bagian kecil dari ceritamu.”
Serene menatapnya sekali lagi, lalu melangkah mundur, pergi tanpa menoleh.
Elio berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Ponselnya bergetar—sebuah pesan baru masuk.
"Terima kasih, karena pernah jadi rumah buat aku."
Itu adalah pesan terakhir dari Serene.
Dan untuk pertama kalinya, Elio sadar… beberapa cinta tidak untuk dimiliki, hanya untuk dikenang.
---