Di kehidupan sebelumnya, aku hanyalah manusia biasa. Sibuk dengan pekerjaan, mengejar mimpi, hingga akhirnya tubuhku menyerah lebih dulu. Saat mataku terpejam untuk terakhir kalinya, aku yakin itu adalah akhir segalanya.
Namun, ketika aku membuka mata lagi… aku tidak melihat surga, neraka, atau kegelapan abadi. Sebaliknya, aku berada di tempat yang aneh. Dindingnya berwarna merah muda, penuh cairan, dan ada getaran aneh setiap kali udara masuk dan keluar.
“Di… mana ini?” gumamku.
Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku terlalu kecil. Saat melihat pantulan samar dari cairan di sekitarku, aku terkejut. Aku bukan manusia lagi. Tubuhku bulat, dengan semacam ekor kecil yang berdenyut.
“Aku… kuman?”
Awalnya aku panik. Bagaimana bisa aku yang dulu manusia, kini hanya makhluk mikroskopis tak terlihat mata? Tapi kemudian aku sadar: di dunia ini, aku tidak lemah. Aku cepat berkembang, bisa membelah diri, bahkan berkomunikasi dengan kuman lain melalui getaran halus.
“Ayo kita serang tubuh ini!” teriak salah satu kuman di dekatku. Rupanya aku berada di dalam tubuh manusia—mungkin di tenggorokannya.
Namun, anehnya aku merasa berbeda. Aku masih membawa kesadaran sebagai manusia. Aku tidak ingin merusak tubuh seseorang. Aku justru ingin melindungi, meski aku hanyalah kuman kecil.
Hari-hari berikutnya penuh dilema. Kawan-kawan sejenis terus memperbanyak diri, mencoba melemahkan manusia ini. Tapi aku diam-diam melawan mereka, mengirim sinyal salah agar mereka bingung, bahkan terkadang membantu sel darah putih menemukan tempat persembunyian mereka.
Dan begitulah, aku menjalani kehidupan baru. Dari manusia menjadi kuman, dari makhluk berakal kini menjadi tak kasat mata.
Siapa sangka, meskipun hanya kuman, aku bisa tetap berarti—bukan sebagai perusak, tapi sebagai pelindung.