Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan bukit, musim layangan selalu menjadi saat yang paling ditunggu anak-anak. Langit sore dipenuhi warna-warni layangan, ada yang berbentuk naga, burung garuda, bahkan ada yang dihiasi kertas emas tipis yang berkilau saat terkena cahaya matahari.
Di antara para pemain layangan, dua kelompok anak paling menonjol yakni kelompok Andi dan kelompok Bayu. Mereka berdua sama-sama dikenal lihai memainkan benang gelasan yang tajam. Persaingan mereka sudah berlangsung sejak awal musim.
Sore itu, angin berhembus kencang dari arah bukit. Andi, dengan layangan naga merah, dan Bayu, dengan layangan burung hitam besar, saling menantang di udara. Benang mereka beradu, gesekannya menghasilkan suara khas ngiiing yang membuat anak-anak lain berteriak riuh.
“Tarik, Andi! Tarik terus!” teriak Raka sambil mengepalkan tangan.
Layangan naga merah milik Andi beradu dengan burung hitam besar milik Bayu. Benang gelasan keduanya beradu kencang, menimbulkan bunyi melengking. Anak-anak lain menahan napas, mata tak berkedip.
“Sekali lagi, Bayu! Putuskan!” sahut teman-teman Bayu.
Dengan satu tarikan cepat, benang naga merah terputus. Anak-anak berhamburan mengejar, layangan itu melayang tak terkendali, terbawa angin, melewati sawah dan kebun, hingga akhirnya jatuh ke hutan kecil di lereng bukit.
“Wah, jatuh ke hutan angker…” desis Danu sambil mundur setapak.
Bayu tertawa kecil. “Layanganmu tamat, Di. Mana ada orang berani masuk ke sana.”
Andi mengeratkan genggaman di gulungan benangnya. Wajahnya memerah, antara marah dan sedih. “Aku harus ambil layangannya . Itu layangan buatan ayahku sendiri.”
Anak-anak lain saling berpandangan. Ada yang menunduk, ada pula yang langsung menggeleng cepat.
“Gila kamu, Andi! Itu hutan ada penunggunya,” bisik Raka.
“Katanya, dulu ada orang hilang di sana tiga hari. Waktu balik, dia ngomongnya ngawur, matanya kosong,” tambah Danu dengan suara bergetar.
Bayu mendengus. “Itu cuma cerita orang tua. Kalau takut, jangan ikut. Aku juga mau lihat, sekalian buktiin kalian semua penakut.”
Andi menatap tajam. “Kalau begitu, ayo.”
Mereka akhirnya berangkat beramai-ramai. Ada Andi, Bayu, Raka, Danu, serta tiga anak lain yang ikut karena tak mau dicap pengecut. Mereka menapaki jalan setapak menuju hutan.
Daun bambu bergesekan ditiup angin, suara serangga mulai terdengar. Semakin dalam mereka melangkah, suasana terasa berbeda.
“Kenapa jadi dingin ya?” gumam Danu sambil merapatkan lengannya.
“Ah, kamu kebanyakan takut,” jawab Bayu. Tapi suaranya sendiri agak serak.
Andi berjalan di depan, matanya tajam mengikuti arah benang yang tersangkut semak. “Benangnya masih ke sana. Ayo cepat.”
“Pelan-pelan, Di,” bisik Raka. “Kalau ada… sesuatu… bagaimana?”
“Terserah kamu mau balik atau nggak,” jawab Andi cepat, meski dalam hatinya ia juga merasakan bulu kuduknya meremang.
Mereka mengikuti benang hingga tiba di sebuah pohon besar yang batangnya berlumut tebal. Layangan naga merah tergantung di dahan tinggi.
“Itu dia!” seru Andi lega.
Namun Bayu tiba-tiba menahan lengannya. “Tunggu dulu. Lihat bawahnya.”
Semua anak menunduk. Di bawah pohon itu ada sebuah batu besar menyerupai nisan, penuh lumut, dengan pahatan tulisan kuno yang hampir tak terbaca.
“Waduh… ini kan kuburan!” Raka mundur cepat.
“Ya ampun, jangan-jangan ini makam Mbah Wiryo yang sering diceritain bapakku…” gumam Danu dengan wajah pucat.
Andi menelan ludah, tapi tekadnya bulat. “Aku cuma mau ambil layangan. Nggak lebih.” Ia memanjat perlahan.
“Di, jangan! Kalau penunggunya marah gimana?” teriak Raka panik.
“Kalau takut, tutup saja matamu !” balas Andi tanpa menoleh.
Tak lama, ia berhasil meraih layangannya. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, angin mendadak berhembus kencang. Daun-daun beterbangan, suara gesekan pohon terdengar seperti erangan panjang.
Semua anak terpaku. Lalu, dari arah semak, terdengar bisikan lirih “Kembalikan… kembalikan…”
“ASTAGA!” Danu langsung menjatuhkan gulungan benangnya dan berlari terbirit-birit.
“Lari! Ada hantu!” Raka menjerit keras.
Andi berdiri kaku sambil memeluk layangannya erat. Bayu yang masih menoleh ke arah pohon tiba-tiba memucat. “Kalian lihat nggak? Ada… ada orang tua di sana.”
Semua anak menoleh cepat. Di dekat nisan, samar terlihat sosok berjubah putih berdiri diam, wajahnya tertutup bayangan daun.
“AAAAAAAAAAH!” Mereka semua lari sekencang-kencangnya, tak peduli ranting menggores kaki atau semak melilit celana.
Mereka baru berhenti setelah keluar dari hutan, napas tersengal. Wajah mereka pucat, keringat bercucuran.
Orang-orang desa yang melihat terkejut. “Heh! Kalian masuk hutan itu?!” bentak Pak Sastro, seorang sesepuh desa.
Anak-anak saling berebut cerita, berusaha menjelaskan dengan suara terbata-bata. Wajah Pak Sastro berubah muram setelah mendengar tentang nisan dan sosok berjubah putih.
“Itu makam Mbah Wiryo… orang pertama yang membuka desa ini. Dia diyakini masih menjaga kita dari mara bahaya. Kalian membuat gaduh di sana. Mungkin itu sebabnya ia menampakkan diri.”
Anak-anak tercekat, tak ada yang berani bicara.
Andi memeluk layangannya, menunduk. “Saya… saya cuma mau ambil ini, Pak. Nggak ada niat lain.”
Pak Sastro menghela napas. “Kalau begitu, jaga baik-baik. Jangan main layangan ke arah bukit lagi. Ada hal-hal yang tak boleh kita ganggu.”
Malam setelah kejadian itu, Andi berbaring di tikar kamarnya. Layangan naga merah diletakkannya di sudut, tapi matanya tak bisa lepas darinya. Setiap kali menutup mata, ia teringat suara bisikan lirih “Kembalikan…” di hutan tadi.
Di luar, suara jangkrik terdengar nyaring. Tapi Andi merasa seakan ada bisikan yang mengalun di telinganya.
Kembalikan… jangan ganggu…
Andi terbangun, duduk dengan wajah pucat. Ia tahu, misteri ini belum selesai.
Keesokan harinya, Andi menemui Bayu, Raka, dan Danu di dekat surau. Mereka duduk melingkar, wajah mereka sama-sama cemas tapi juga penuh rasa penasaran.
“Aku semalam nggak bisa tidur,” ujar Andi lirih. “Suara itu masih terngiang.”
Raka cepat-cepat menimpali, “Udahlah, Di. Jangan dibahas. Kita sudah bikin kesalahan besar.”
Bayu justru menatap tajam. “Atau jangan-jangan… suara itu bukan marah, tapi minta tolong.”
Semua terdiam.
“Apa maksudmu?” tanya Andi.
Bayu menunduk sebentar, lalu berbisik, “Aku pernah dengar bapakku cerita. Mbah Wiryo dulu mati tidak wajar. Katanya ada perebutan tanah bukit, dan makamnya disembunyikan supaya orang lupa. Jangan-jangan… dia masih ingin orang tahu kebenaran.”
Raka langsung gelisah. “Jangan ngawur, Yu!. Kalau ketahuan orang tua kita balik lagi ke hutan, habis kita.”
Tapi Andi mengangguk mantap. “Aku setuju sama Bayu. Kalau memang benar Mbah Wiryo pelindung desa, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau enggak, kita bakal terus dihantui.”
Akhirnya, meski dengan wajah pucat, mereka sepakat kembali ke hutan sore itu.
Saat matahari mulai condong ke barat, keempat anak itu melangkah lagi ke arah bukit. Mereka membawa senter, parang kecil, dan bekal air.
“Kenapa rasanya lebih sunyi dari kemarin ya?” bisik Danu sambil menempel mendekat pada Raka.
“Diamlah, Nu,” jawab Bayu. “Kalau ribut, makin bikin takut.”
Mereka tiba di pohon besar dengan nisan berlumut. Suasananya lebih mencekam dari sebelumnya. Angin berputar aneh, membuat suara ranting seperti bisikan.
Andi maju pelan, menatap batu nisan itu. “Lihat, tulisannya hampir hilang. Coba kita bersihkan.”
Mereka menggosok nisan dengan daun kering. Perlahan, huruf-huruf kuno mulai terlihat.
“Baca, Yu! Kamu kan paling pintar,” kata Raka dengan suara gemetar.
Bayu mengeja pelan “‘Di sini bersemayam… Wiryo… penjaga tanah bukit… yang gugur karena…’”
Ia berhenti, menelan ludah.
“Karena apa?” desak Andi.
Bayu menatap mereka dengan wajah tegang. “Karena dikhianati… oleh sesama.”
Semua anak bergidik.
Tiba-tiba, suara angin semakin keras. Daun-daun berputar membentuk pusaran kecil di atas nisan. Senter Danu berkedip-kedip, lalu mati.
“Temukan kebenaran… jangan biarkan hilang…” suara itu terdengar jelas kali ini, seakan dari dalam tanah.
Raka menjerit dan mundur. “Aku nggak tahan lagi! Ayo pulang! Ayo pulang!”
Tapi Andi menahan lengannya. “Tidak! Kita harus tahu siapa yang mengkhianati Mbah Wiryo. Kalau tidak, desa ini bisa kena bala.”
Mendadak, dari tanah di samping nisan, keluar sepotong papan kayu tua yang tertimbun tanah. Bayu memungutnya. Ada ukiran gambar orang memegang tombak, lalu simbol yang menyerupai lambang keluarga bangsawan zaman dulu.
“Ini… bukti!” ucap Bayu terengah. “Mbah Wiryo bukan mati biasa. Ada yang membunuhnya karena tanah bukit ini.”
Saat mereka masih tercengang, suara langkah berat terdengar dari arah semak.
“Siapa di situ?!” suara orang dewasa menggelegar.
Mereka panik. Dari kegelapan muncul sosok Pak Sastro, membawa obor. Wajahnya muram.
“Kalian…” katanya dengan suara berat. “Kenapa kalian kembali ke sini?”
Anak-anak membeku. Bayu menggenggam papan kayu erat, berusaha menyembunyikannya di balik punggung.
Tapi mata Pak Sastro sudah menatap tajam. “Kalian menemukan sesuatu… ya?”
Pak Sastro berdiri tegak dengan obor di tangan. Api obor menari, memantulkan bayangan wajahnya yang serius. Anak-anak terdiam, keringat dingin mengalir di pelipis mereka.
“Kalian tidak seharusnya berada di sini…” suaranya berat, dalam, seakan berlapis marah sekaligus takut.
Bayu menelan ludah, tapi mencoba berani. “Kami hanya ingin tahu… apa yang sebenarnya terjadi pada Mbah Wiryo.”
Pak Sastro memandang tajam, lalu menghela napas panjang. Obor di tangannya sedikit bergetar. “Jadi… kalian mendengar suara itu juga.”
Andi maju selangkah. “Kami mendengar. Suara yang minta kebenaran dibuka. Kami juga menemukan ini.” Ia menarik papan kayu yang tadi Bayu sembunyikan. Ukiran tombak dan lambang bangsawan terlihat jelas di bawah cahaya api.
Pak Sastro terdiam cukup lama. Wajahnya suram, matanya menerawang. Lalu ia duduk di atas batu besar, menunduk dalam.
“Baiklah. Kalau kalian sudah sejauh ini, lebih baik kalian tahu. Tapi janji… jangan sembarangan cerita pada orang luar desa.”
Anak-anak mengangguk, menahan napas.
Pak Sastro mulai bercerita dengan suara serak “Dulu… puluhan tahun lalu… Mbah Wiryo adalah tokoh yang disegani. Dialah yang membuka tanah ini, mengajarkan orang menanam, menjaga desa dari rampok. Tapi justru karena itu, ia punya banyak musuh.”
“Musuh?” tanya Raka pelan.
Pak Sastro mengangguk. “Seorang bangsawan kaya dari kota ingin menguasai bukit ini. Tanahnya subur, penuh sumber air. Tapi Mbah Wiryo menolak menjual, karena tanah ini untuk rakyat desa. Bangsawan itu lalu menyuap beberapa orang desa sendiri… termasuk salah satu murid dekat Mbah Wiryo.”
Semua anak menelan ludah.
“Pada suatu malam, Mbah Wiryo dipanggil pura-pura untuk musyawarah. Di sinilah, di bawah pohon ini, ia disergap. Dikhianati, dibunuh… oleh orangnya sendiri. Jenazahnya dikuburkan cepat, dengan nisan sederhana. Agar cerita itu hilang, semua orang dilarang menyebut namanya. Seolah-olah beliau hanya orang biasa.”
Suasana hening. Api obor berderak, angin berdesir dingin.
“Lalu kenapa… makamnya tersembunyi, Pak?” tanya Bayu hati-hati.
Pak Sastro menatap jauh ke dalam hutan, matanya berkaca-kaca. “Karena keluarga bangsawan itu masih berkuasa di kota. Orang desa takut. Jika kebenaran terungkap, mungkin desa ini akan digusur, dijadikan tanah perkebunan mereka. Jadi… semua diam. Termasuk aku. Aku… cucu dari salah satu saksi yang masih hidup waktu itu.”
Andi mengepalkan tangan. “Jadi benar! Suara itu… arwah Mbah Wiryo minta kebenaran ditegakkan.”
Pak Sastro mengangguk pelan. “Arwahnya tak tenang karena dianggap mati sia-sia. Ia ingin desa ini tahu siapa sebenarnya dia. Bukan sekadar nama yang dilupakan.”
Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Daun-daun jatuh berputar di sekitar nisan. Api obor bergetar, hampir padam. Dari pusaran daun, terdengar lagi suara lirih, tapi kali ini lebih jelas “Terima kasih… jangan biarkan tanah ini hilang…”
Anak-anak menatap dengan mata membelalak. Raka berbisik, “mbah Wiryo… mendengar kita.”
Seketika pusaran angin mereda. Udara kembali tenang.
Pak Sastro mengusap wajahnya, lalu berdiri tegak. “Mulai besok, aku akan bicara pada para tetua desa. Nama Mbah Wiryo harus kembali disebut. Makamnya harus dirawat. Kalau kalian berani, kalian juga bisa bersaksi tentang apa yang kalian alami. Jangan biarkan pengkhianatan itu terkubur selamanya.”
Bayu menoleh pada Andi, Raka, dan Danu. Meski takut, mereka semua mengangguk mantap.
Sejak malam itu, desa mulai berubah. Makam Mbah Wiryo dibersihkan, nisan diperbaiki. Para tetua kembali menceritakan kisahnya pada anak cucu. Bukan lagi cerita samar penuh ketakutan, melainkan kisah seorang pelindung desa yang berani melawan keserakahan.
Layangan naga merah Andi masih ia simpan, tapi kini bukan sekadar mainan. Bagi mereka, layangan itu adalah awal dari terungkapnya misteri lama, pesan dari arwah penjaga desa agar kebenaran tidak terkubur.
Dan setiap kali angin sore bertiup dari arah bukit, mereka percaya, Mbah Wiryo masih menjaga desa kecil itu.