Dulu ... Ayah adalah orang yang selalu datang dengan setangkai bunga yang layu ditangannya sembil mengatakan, "kalau ayah melihat bunga, pasti ingat sama kamu, Bunga."
Tapi sekarang, dia pergi dengan semua barang-barangnya, meninggalkan aku sendirian di rumah tua ini, seolah dia tidak pernah ada di sana.
Sejak saat itu, rumah yang bocor itu menjadi sangat sepi, tak peduli hujan mengguyurnya, tak peduli angin panas meniupnya, rumah itu tidak pernah lagi benar-benar bersuara di benakku.
Ayah, kamana kamu?
Aku janji akan menjadi anak baik, jadi tolong kembali lah. Jangan biarkan aku terus menunggumu, di depan pintu yang entah kapan akan terbuka kembali – dengan sosokmu dibaliknya.
Aku sudah membersihkan kamar tidur, menyapu lantai kita yang dari tanah, dan juga tidur lebih awal.
Jadi, Ayah, cepat kembali ya ...
Aku yakin, ayah tidak akan meninggalkanku sendiri di sini!
Ucapan tetangga kita pasti salah!
Ayah tidak lupa dengan ku, kan?
Ayah ...
Ayah ...
...
...
Blup...
Blurkkk
.
Tunggu dulu!
Kanapa kakiku terasa dingin?! Dan suara apa itu?!
Pengelihatanku buram saat aku membuka mata. Di hadapanku, sebuah kaca mengkilat dan gelap, membatasi pergerakanku dan mengurungku.
Aku baru menyadari, bahwa lantai yang ku pijak merupakan besi dengan lubang aneh yang dingin – yang mengeluarkan suara gelembung darinya.
Aku mengetuk-ngetuk kaca, tapi kaca itu bahkan tidak bergetar. Ada dua orang yang tertawa di luar sana.
Aku tahu apa yang mereka bahas karena suara mereka tidak terdengar olehku. Dan, kenapa mereka tertawa semakin keras saat melihatku?
Kanapa kalian tidak membantuku keluar dari sini, tolong keluarkan aku!
Tolong! Apakah kalian tidak mendengarku?!
Dan kenapa suara ku ...
Hilang?
Dimana suaraku pergi?
Apakah dia pergi menyusul ayahku?
Kalau benar begitu, tolong ajak aku juga untuk menemuinya.
Orang-orang itu mengenakan baju berwarna cerah, meski kaca berwarna gelap ini membuatku sulit melihat dengan jelas, tapi aku yakin, mereka menarik sesuatu.
Tuan-tuan, apa yang kalian tarik?
Tak lama kemudian, sejumlah air berwarna hijau keluar dari lubang di bawah kakiku. Apa ini! Ini menjijikan!
AYAAAAHHH, AKU TAKUT! AKU TAKUT! AYAH...!!
suaraku masih tidak keluar dan saat aku menyentuh leherku – sesuatu seperti jaitan, menyatu dengan leherku.
HWAAA!
Aku bukan anak nakal! Kenapa kalian menghukumku?!
TOLONG! TOLONG! TOLOONG!!
Aku merasa semakin takut setiap kali cairan itu naik dari telapak kaki, mata kaki, lutut, hingga ke pahaku.
Mereka tertawa, padahal aku bukan anak nakal! Kanapa mereka tertawa?! Kanapa?!
Saat cairan itu mulai naik lebih tinggi, ruangan serasa berguncang hebat. Orang-orang aneh itu ikut terguncang dan hampir roboh.
Lampu berkedip dengan cepat dan cahaya kemerahan menyusulnya – cahaya merah yang berkedip dengan lebih lambat dan beritme.
Orang-orang itu tampak bingung dan menoleh ke sekitar.
Cairan di kakiku berhenti naik dan turun perlahan, lalu disusul dengan pencahayaan yang semakin gelap.
Semakin gelap hingga tak ada yang bisa aku lihat di luar sana. Kegelapan yang entah mengapa, membuatku bisa bernapas lega untuk sesaat.
Ya, hanya sesaat, sebelum tangisku tak bisa aku tahan lagi. Sebelum aku kembali meringkuk, seperti waktu aku menunggu ayah.
Orang yang tidak akan meninggalkan ku
...
Kan?
.
.
Apakah ini akhirnya? Aku sudah tak mempedulikan getaran kecil yang terasa.
Aku juga tidak mempedulikan suara pecahan kaca dan angin hangar yang segera masuk setelahnya.
Sampai terdengar ...
.
"Bu ... nga."
?
"Bu ... nga."
A– yah?
Aku yakin itu suara ayahku, meski suara itu seperti terdengar seperti gema yang sangat jauh – mirip seperti erangan yang serak dan berat.
Suara itu seolah memanggilku untuk membuka mata, tapi aku masih ragu.
Aku ragu karena ... takut kalau ayah tidak benar-benar ada saat aku membuka mataku.
"Bu ... nga. Bu ... nga."
Tapi ... lebih baik mencoba sekali dari pada tidak pernah.
"Bu ... nga."
Ya, meski aku ragu, aku harus mencobanya.
"Bu ... nga."
Setidaknya sekali ini saja, sekali!
"Bu ... nga."
.
Aku dapat merasakan udara yang hangat dan lembab menerpa wajahku. Udara itu meyakinkanku untuk membuka mata dan melihat lebih jelas ...
Sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Sosok dengan wajah yang hancur lebur, tubuh yang membekak secara keseluruhan, dan mata merah polos yang menatapku.
Aneh ....
Aku tidak takut, bahkan aku mencoba untuk menyentuhnya.
Makhluk itu mundur sesaat, sebelum dia membiarkan aku menyentuh wajahnya yang kasar dengan ujung jemariku.
Dia masih mengatakan hal yang sama dengan suara yang seharusnya menakutiku. "Bu ... nga."
Tangannya yang besar, bahkan lebih besar dari kepalaku, maju perlahan dan menyeka air mata yang tak terasa, telah berlinang. "Bu ... nga."
Suaraku masih tidak keluar, tapi aku yakin aku telah mengucapkan kata itu, "Ayah."
Dia mengelus kepala perlahan seperti benda yang rapu dengan lembut dan penuh perhatian.
Padahal tangan itu sangat kasar dan mengerikan, tapi aku ingin berlama-lama dengannya, aku tak ingin berpisah dengan tangan itu.
Aku mengucapkan kalimat berikutnya, meski tak ada yang mendengarnya, tapi aku yakin dia dengar!.
"Ayah, Bunga sudah jadi anak baik, kan?"
Dia mengangguk dan mundur perlahan, saat cahaya matahari mengintip masuk melalui atap yang entah sejak kapan berlubang.
Aku ingin menggapai sosok itu, tak peduli seberapa buruk rupanya dan seberapa besarnya dia.
Aku hanya ingin ayah.
Hanya ayah yang aku inginkan.
Tapi mataku kembali menjadi berat dan cahaya memudar.
.
.
Tiit tiit
"Korban sadar! Segera ambil tindakan!"
Tiit tiit
"Semuanya, jangan lengah, selamatkan korban dengan seluruh usaha kalian!"
Tiit tiit
"Ayo! Ayo! Bergerak!"
Kenapa berisik sekali?
"Tenang lah nak, kami akan membantumu."
Apa yang akan kalian lakukan?
Tiit tiit
"Tidurlah sebentar lagi nak! Kami akan menangani semuanya."
Ha?
"Berikan biusnya!"
.
.
1 bulan kemudian,
Aku telah terbangun dan mendapati diriku ada di panti klinik asuhan, tanpa ingatan, tanpa identitas yang jelas.
Hanya satu hal yang aku ingat, namaku – Bunga.
Saat aku menonton TV dan mendengarkan diskusi orang-orang.
Berita dan pembahasan orang-orang, ramai tentang temuan kerangka manusia raksasa dengan tulang berwarna hijau menyala dan radiasi besar.
Berita mengatakan kalau radiasi itu meredup dengan cepat. Aku tidak tahu detailnya, tapi entah kenapa hati seperti teriris setiap kali mendengarnya.
.
.
10 tahun berlalu, seorang lelaki kecil tertidur pada pelukanku. Kecil mungil dan wajah yang tampan, seperti ayahnya.
"Sayang~ ini bunga untukmu."
Suara itu dari suamiku, ayah dari anak yang sekarang aku gendong, seseorang yang telah menerimaku yang kehilangan kotak suaranya.
Sosok yang menjadi tempatku berpijak dan seseorang yang selalu aku tunggu kehadirannya.
Di sini, di rumah kami yang sederhana.
#####
GENRE CERPEN = Horor + Sci-fi
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC OPEN HEART