~Ini adalah kisah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata, tentang Anjani Kaneishia dengan seseorang yang ia cintai sangat tulus meski akhirnya tak dihargai~
"Untukmu yang sudah jauh dari pandangan ku maupun jiwa raga ku. Aku ingin memberitahu mu bahwa aku masih mencintai mu dengan tulus, meski semuanya sudah terlambat. Sedari dulu aku ingin mengatakan ini, dan ya kamu tak pernah memberikan ku kesempatan sedikit pun.
Sudah cukup aku bertahan, sudah cukup aku menyimpan, dan sudah cukup aku menerima semua luka secara fisik maupun batin darimu. Tepat di buku ini, aku ceritakan kisah tentang kita ya. Walau aku tak bisa mengatakan ini secara langsung, tapi aku berharap aku bisa mengatakan ini secara kalimat demi kalimat. Kuharap kamu yang tak suka membaca buku, bisa membaca sedikit buku karangan ku. Karna ini kisah kita Marlo, penting untuk kamu baca sebelum semuanya sudah terlambat."
~Teruntuk Elquin Marlo Setara~
***
"HAAH!"
"Masih di rumah, ya?.. coba gue cek HP"
"Yaelah, cuma mimpi ya? Gak seru deh.." Ucap seorang gadis dengan senyum yang lembut, namun menyimpan banyak luka yang tak sempat untuk tahu.
"Pftt..! Kirain nyata, duh, sayang juga ya.."
"Btw udh berapa kali gue mimpi gini mulu?"
"Dah lah! Dari pada banyak overthinking, mending gue berberes dulu.." Ucap gadis itu dengan beranjak dari kasurnya dan membuka tirai jendela yang besar.
"Hmm.. sorry ya An, kayaknya gue masih gak bisa berdamai dengan masa lalu deh.. tapi gue udah bisa mencari kebahagiaan gue, yaitu Harsa.." Ucap gadis itu pada dirinya sendiri sambil menatap lekat seragam ber-rok berwarna abu dan putih yang di gantung di dekat lemari bajunya.
***
12 Februari 2025
________________
"Duhhh, bakalan terlambat lagi nih gue! Mana lagi nih tas berat! Kek mau ke gunung aja gue.." Ucap ku sambil berlari menuju gerbang sekolah.
"Bu, saya belum terlambat kan??"
"Belum, tinggal 10 menit lagi.. cepet masuk sana!"
"SIAP BU!"
Setelah bersalaman dengan bu Trisna, guru IPA aku memasuki area gerbang dan berlari lagi menuju kelas. Dengan nafas yang tersenggal-senggal tak sengaja aku menabrak seorang lelaki berbadan tinggi.
"Duh! Sorry nih gue-" Sebelum aku melanjutkan nya tiba-tiba dia memegang pinggang ku agar tak terjatuh.
"Hmm~ kebiasaan.. begadang lagi ya lo?"
"Eh? Marlo?"
"Yoi"
"Udah deh, pake drama segala megangin pinggang gue" Ucapku sambil perlahan mundur.
"Dih! Sok drama! Lain kali kalau lo kek gitu gue gak bakal bantuin lagi ye"
"Iya atuh maap! Abisnya lu megangin pinggang gue kek di drama-drama Korea ae"
"Hmm.. udah lah sana! Keburu telat sia teh"
"Iyaaa! Gue pergi dulu yo!" Jawab ku sambil berlari lagi menyusuri koridor sekolah.
"Ya"
***
KRINGG! KRINGG!
Suara bel pun berbunyi, menandakan waktu istirahat. Seluruh murid-murid kelas 3 pun langsung berbondong-bondong pergi ke kantin.
Kulihat kantin memang penuh akan manusia-manusia yang kelaparan. Ada yang berteriak sana sini, ada yang bergosip, dan ada pula yang sedang bercanda tapi kayak lagi berantem.
"Ih, ngeri gue liatnya, udah kayak zombie yang kelaparan, padahal seminggu sebelumnya gak pernah separah ini.." Ucap Ira.
"Eh! An!" Ucap Nayla seraya menatap ku karna sudah tau apa yang terjadi.
"J-JANGAN!! BERHENTI!!.. KAKAKK!!!" Teriak ku secara histeris dengan kencang sambil menutup kedua kuping ku, lalu aku pun terjatuh ke lantai.
"ANJANI!" Teriak Ira.
"An, yuk kita pergi ke UKS.. sini biar aku temenin" Ucap Nayla dengan suara yang lembut.
Karna aku terlalu fokus dengan teriakan itu akhirnya aku tak sadar Nayla sedang berbicara lembut pada ku. Tiba-tiba Nayla dan Ira membantu ku untuk berdiri dan pergi berjalan ke UKS secepatnya.
Ya, mereka berdua sudah tau apa yang terjadi padaku kala itu.
***
*Dikamar.
"Gak kerasa ih sebentar lagi ujian SAT, harus giat aku!" Ucapku sambil rebahan di kasur.
"Huuh.. btw si Marlo tumben gak chat gue lagi, udah hampir beberapa minggu dia gak chat gue. Nih anak napa lagi dah!"
DING!
"Hmm? Pesan dari Marlo? Beuh! Panjang umur, baru aja di bilang" Ucapku sambil meraih ponsel yang tertidur di atas kasur ku.
Layarnya menyala, notifikasi itu jelas.
1 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑀𝑎𝑟𝑙𝑜.
Kubuka pesan itu dengan santai setidaknya begitu kupikir. Tapi saat mataku menelusuri tiap huruf demi huruf, tubuhku seketika membeku di tempat.
Kalimat itu...
"An, kita putus ya."
Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat, kalimat simple itu yang membuat hati ku seakan remuk. Kupandangi pesan itu berulang-ulang, berharap aku salah baca. Tapi sayang nya tidak, kalimat itu nyata.
Tanganku gemetar, dadaku sakit, pikiran ku mulai meracau entah kemana. Di saat itu aku langsung berdiri dan menatap ke cermin.
"Nyata ya?..."
"Aw! Sakit!" Ucapku sambil mencubit pipi ku dengan keras.
Saat itu kupandang mataku yang sudah mengeluarkan air mata.
"Ih, ini kenapa sih? Masa gue keluar air mata lagi?"
Ku coba untuk tertawa, namun suaranya serak. Palsu dan hambar menjadi satu dalam tawa itu.
"Lha, kok air matanya makin banyak?" Ucapku seraya menghapusnya cepat-cepat. Tapi semakin ku usap, semakin deras air itu jatuh.
"Udalah An, jangan lebay deh" Gumamku, mencoba menenangkan diri. Namun suara di dalam kepalaku justru makin keras.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus seperti ini? Aku gak mau!.
Kupalingkan wajahku dari cermin, tapi bayangan sedih itu masih tertinggal.
Kupikir aku sudah cukup kuat. Kupikir kali ini beda. Tapi ternyata... luka itu datang lagi.
"Gue benci ini semua!" Ucapku berlari ke luar dari rumah.
Aku terus berlari di trotoar yang sepi, lampu-lampu malam menyinari setiap langkah ku, aku terus berlari dengan air mata yang berjatuhan. Aku berlari tanpa tujuan, terus berlari hingga aku menemukan suatu tempat kosong. Tempat itu tersedia kursi dan lampu pencahayaan, aku langsung menghampiri tempat itu dan duduk di sana seraya membawa kedua kaki ku ke atas.
"Gak mungkin, aku gak percaya.. ini semua pasti hanya mimpi!"
Kupendam seluruh wajah ku di sela kaki. Aku terdiam di situ sendiri, hanya angin malam yang menemani ku.
***
Whooosh...
Whooosh...
Entah berapa lama aku diam di situ dengan mata yang sembab, hingga pada akhirnya ada seseorang yang datang menghampiri ku. Ya, itu Nayla dan seorang lelaki di samping nya sedang membawa kantong belanja, mungkin mereka habis pulang dari Supermarket.
"Eh? Anjani? Kamu kenapaaa? Di sini dingin lho!" Ucap Nayla seraya menghampiri dan duduk di samping ku. Sementara itu, seorang lelaki tadi hanya berdiri tak jauh dari Nayla.
Aku terdiam lagi tanpa sepatah kata pun, aku hanya menatapnya dengan sekilas dan langsung merendam wajah ku di sela kaki lagi.
"An? Kenapa? Ada masalah lagi ya?" Tanya Nayla seraya mengusap-usap belakang punggung ku dengan lembut. Entah kapan terakhir kali aku merasakan usapan lembut seperti ini dari kedua orang tuaa ku.
"Nay, tuh kasih ke dia"
"Eh? Iya.."
"Sini biar gue bawa belanjaan nya, btw gue mau pulang dulu, nanti nih belanjaan gue kasih ke nyokap atau adek lo"
"Alaeee! Makasih toh! Makasih juga udh mau nemenin aku"
"Yoi, gue pulang ya"
"Iyaaaa!"
Setelah Nayla dan lelaki itu bercakap singkat, tiba-tiba Nayla menaruh jaket seseorang di pundak ku, dan aku langsung membawa wajah ku untuk menatap Nayla.
"Ini nih, dari si Harsa, temen kecil gue" Ucap Nayla sambil mengusap-usap lagi punggung ku.
"Ceritain aja An apa yang udah terjadi.."
***
Ya, ini aku Anjani Kaneishia. Singkat saja, dulu saat aku berumur 4 tahun, hidup ku terasa sangat bahagia. Aku pikir keluarga ku adalah keluarga yang paling harmonis. Tapi semua itu berubah saat usia ku yang mulai menginjak 6 tahun. Entah kenapa tapi aku sering mendengar ayah dan ibu ku bertengkar hebat.
Kejadian itu sering aku dengar saat ayah baru pulang dari kantor nya bersama ibu yang tertidur di kamar. Aku tak sengaja melihat ayah menyeret ibu keluar dari kamar, mereka saling tarik menarik rambut. Hingga pada akhirnya kakak lelaki ku yang memeluk dan menutup mataku dengan cepat. Karna ia tak mau aku mendengar apa yang orang tua ku sedang bicarakan, akhirnya ia memeluk ku serasa meminta ku untuk menutupi kuping.
"An.. coba tutup kuping mu sebentar dan nyanyiin lagu "Great Kid" ya.." Ucap kakak ku dengan nada yang lembut.
"Iya..."
Aku yang sedang berada di pagar luar dari kamar ku akhirnya beranjak ke kasur di gendong oleh kakak ku.
"Nyanyi sebentar ya, nanti kakak kembali lagi ke sini.." Ucap kakak ku sambil mengusap pelan pipi dan rambut ku.
Dan pada akhirnya, ia keluar.. entah sedang apa, seperti nya sedang bertengkar dengan ayah dan ibu. Terdengar dari bawah sana kalau kakak sedang menegur dengan ayah dan ibu.
"WOI! BISA GAK KALAU MAU BERANTEM DI TEMPAT LAIN AJA JANGAN DI SINI?! ANJANI DENGER SEMUANYA BODOH! DIA DI DALAM DENGER KALIAN TERIAK!" Ucap kakak ku dengan nada yang tegas.
"Heh! Berani banget kamu ngomong gitu sama orang tua!" Bentak ayah dengan suara keras.
"AKU BERANI KARNA KALI INI KALIAN UDAH KETERLALUAN! GIMANA KALAU NANTI ANJANI JADI DEPRESI?!! SIAPA YANG SALAH HAH AKU TANYA!" Jawab kakak tak kalah keras dari suara ayah.
"GAK USAH NASEHATIN ORANG TUA! MEMANG KAMU SIAPA?! CUMA ANAK KECIL YANG GAK TAU APA-APA!" Balas ayahku.
"AKU KAKAK NYA TA*!" Jawab kakak ku, namun sebelum bertindak lebih jauh. Seperti nya ayah sangat marah dan langsung memukul kakak ku, namun suara ibu pun menengahi.
"JANGAN AYAH!!" Balas ibu ku.
Aku gak tau apa yang terjadi selanjutnya, yang kudengar hanya suara yang sangat keras, hingga pada akhirnya seorang polisi datang dan merelai kemarahan ayah, ibu, dan kakak ku.
Ku dengar suara langkah kaki mendekati kamar ku, karna aku ketakutan aku ambil boneka beruang ku dan tenggelam dalam selimut. Saat langkah kaki itu mendekat dan berhenti di kamar ku, suara pintu kamar pun terbuka lebar. Ku lihat secara cepat kakak ku dengan wajah dan bibir yang terluka.
"K-Kakak..." gumam ku.
Kakak ku yang tengah berdiri di pintu dengan keadaan yang tak karuan itu akhirnya berjalan ke kasur dan mulai menggendong ku.
"An, kita main ke rumah kakek dan nenek yuk! Udah lama gak temuin mereka, kamu pasti juga kangen sama Mimi kucing putih mu?" Ucap kakak ku mulai berjalan meninggalkan kamar.
"An, sebelum itu tolong tutup mata mu ya"
"Iya kak.." Jawab ku, saat aku sekilas menatap kejadian yang terjadi di bawah sana sebelum aku menutup kedua mata dalam dekapan dada kakak ku.
Kulihat kejadian ramai di bawah sana, terdapat 3 polisi beserta tetangga ku yang penasaran akan apa yang terjadi. Aku berasumsi mungkin tetangga ku yang merasa terganggu akan pertengkaran ibu dan ayah tiap hari, akhirnya menelepon polisi. Entah benar apa yang kulihat nyata, wajah, tubuh, dan rambut ibu berantakan tak karuan beserta luka-luka yang biru. Tak hanya itu juga, ayah pun seperti tahanan yang di borgol.
Kakak ku berjalan dan berlari dengan cepat meninggal rumah itu dan berjalan ke mobilnya.
***
Tepat setelah kejadian itu aku trauma dengan orang dewasa. Aku trauma jika ada yang berteriak kencang di kuping ku ataupun di suasana yang sangat ramai. Tepat saat aku berada di kantin, itulah yang kurasakan. Setiap kali mendengar teriakan aku teringat dengan kakak, ayah, dan ibu yang sedang berantem.
Namun, rasa sayang yang selama ini aku rasakan dari kakak pun menghilang drastis. Saat kita sedang mengendarai mobil menuju rumah kakek dan nenek tiba-tiba mobil besar dari jalur kanan menabrak mobil kakak. Saat itu aku merasakan sakit yang ngeri di bagian kepala ku, aku memanggil-manggil kakak ku sambil meraba badannya, mataku kabur saat itu. Setelah beberapa menit berlalu mataku mulai jelas, namun aku melihat hal yang tak pernah ingin aku lihat secara langsung. Yaitu kakak meninggal tepat di hadapan ku dengan mata yang masih terbuka.
"KAKAKKKK!!!" Teriak ku.
***
Kupandangi terus makam kakak, ku lihat batu nisan nya yang bertuliskan "Adiyaksa Chandrakanta bin Kaneishia".
Cuaca di hari itu sama dengan suasana hati ku yang sedih dan memburuk. Aku tetap berdiri di situ didampingi oleh kakek dan nenek ku, entah pergi kemana orang tua ku itu hingga tak sempat menghadiri pemakaman kakak. Otak ku dipenuhi oleh berbagai pertanyaan.
"Kenapa kakak pergi terlalu cepat kek.. nek...?" Gumam ku lirih nyaris tak terdengar karna air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipiku.
Nenek hanya menggenggam tangan ku dengan erat dan kakek memalingkan wajahnya dengan mata yang mulai memerah.
Aku pernah terpikir di saat seperti itu, kenapa bukan aku yang pergi lebih dulu? Kenapa kakak harus jadi penopang keluarga? Kenapa harus kakak? Kenapa aku harus hidup? Lebih baik aku pergi dari pada terus menderita di tempat yang tak menginginkan ku sama sekali.
Sudah seminggu lebih kakak meninggal, badan ku kurus tak terjaga, aku sendiri yang tak ingin makan, aku sendiri yang tak semangat dengan hidup.
Hari-hari yang awalnya bahagia bagi ku menjadi hampa, aku lebih sering duduk di lantai kamar memandangi jendela yang buram oleh embun pagi. Tatapan ini rasanya kosong, seolah satu bagian dari hatiku tercabut paksa dan tak akan pernah kembali. Orang-orang pernah berkata bahwa waktu akan menyembuhkan luka sedikit demi sedikit, tapi bagaimana bisa waktu menyembuhkan jika setiap menit yang lewat justru membuatku semakin rindu?.
Aku masih bisa melihat bayangan kakak yang membangunkan ku di pagi hari, aku masih ingat suara kakak yang lembut, aku masih ingat wajahnya yang penuh senyuman, namun seketika semua itu hilang. Yang kulihat hanyalah wajah kakak dengan senyuman penuh luka, wajah yang nampak berantakan, dan hati yang terlalu di paksa oleh banyaknya beban hidup.
Aku mencoba menelepon ibu tentang pemakaman kakak, tapi inilah jawaban yang tak ingin aku dengar.
"Oh, ibu belum bisa. Ada urusan penting di kantor, jangan coba telepon ayahmu, dia lagi di penjara. Ibu sudah beri uang bulanan di atas meja makan, pergi cari makan sendiri.. ibu agak lambat pulang nya nanti atau mungkin belum bisa pulang"
Aku terdiam, ponselku saat panggilan itu sudah berakhir, kata-kata ibu masih terputar jelas di kepala ku. "𝐽𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑜𝑏𝑎 𝑡𝑒𝑙𝑒𝑝𝑜𝑛 𝑎𝑦𝑎ℎ𝑚𝑢, 𝑑𝑖𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑎𝑟𝑎". Sungguh aku tak tahu pertengkaran apa yang mereka bicarakan hingga ayah bisa jadi di penjara. Apalagi saat aku mendengar ibu hanya berkata "Oh" saat ia tak menghadiri pemakaman kakak, urusan apa yang lebih penting dari pada kehilangan anak mereka? Apakah mereka tak menyesal? Atau mereka hanya menginginkan itu? Jika memang begitu, maka mereka adalah orang tua yang jahat.
Tapi di dalam keheningan itu ada satu suara yang mulai berbicara pelan dalam hatiku...
"𝐴𝑛, 𝑚𝑎𝑎𝑓 𝑦𝑎 𝑘𝑎𝑘𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑏𝑖𝑘𝑖𝑛 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑔𝑖𝑎 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑡𝑢𝑎𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑖. 𝐴𝑛, 𝑗𝑢𝑗𝑢𝑟 𝑘𝑎𝑘𝑎𝑘 𝑔𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑔𝑎 𝑛𝑔𝑒𝑙𝑖𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑔𝑖𝑛𝑖. 𝐾𝑎𝑘𝑎𝑘 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖ℎ 𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑟𝑎ℎ, 𝑗𝑎𝑑𝑖... 𝑎𝑦𝑜 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡! 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔, 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑘𝑢𝑎𝑡, 𝑘𝑎𝑚𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛, 𝑤𝑎𝑙𝑎𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖.
𝑃𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟-𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑚𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑝𝑎 𝑖𝑡𝑢 '𝑏𝑎ℎ𝑎𝑔𝑖𝑎' 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎. 𝐾𝑎𝑘𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑘𝑜𝑘, 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑏𝑖𝑎𝑠𝑎 𝑑𝑖 𝑏𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑘𝑎𝑘.. 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡 𝑦𝑎! 𝐵𝑒𝑠𝑜𝑘 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑎𝑖𝑘!"
Dan entah kenapa suara itu membuat ku bangkit dalam kegelapan yang tak ada terang, suara itu membuat ku menjadi semangat dengan hidup. Bukan karna aku ingin, tapi karna aku tahu kakak ingin aku menjadi seorang gadis yang kuat.
"𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑢𝑛𝑖𝑎 𝑖𝑛𝑖 𝑡𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛𝑘𝑢 𝑎𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑖𝑟𝑖, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑏𝑖𝑎𝑟𝑙𝑎ℎ 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎𝑘𝑢 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑎𝑘𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑡𝑢-𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛".
Mungkin aku pernah mendengar lagu ini dari Last Child, band pop favorit kakak dan aku.
"𝑊𝑎𝑗𝑎𝑟 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖, 𝑘𝑢 𝑖𝑟𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖𝑎𝑛, 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑔𝑖𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑡 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ"
Ternyata lagu yang selama ini aku dengar, itu semua adalah kisah kejadian ku yang nyata.
***
Disaat angin yang dingin menusuk kulit ku, aku menceritakan semua kejadian yang kualami di kamar setelah Marlo memberikan ku pesan tersebut pada Nayla. Ku beri ponsel ku yang berisikan pesan dari Marlo ke Nayla untuk dilihat nya.
Marlo [19:01]
"An, kita putus ya"
Sederhana, namun terasa terlalu tiba-tiba. Aku masih tak bisa menerima semua yang telah terjadi, seakan semua ini hanya bayangan ku saja.
Nayla pun membaca pesan itu dengan pelan, lalu mengangkat wajahnya untuk menghadap pada wajah ku.
"Ini... aja? Gak ada penjelasan sama sekali?" Tanyanya lirih.
Aku hanya menggeleng. "Setelah itu dia gak aktif lagi, no profile, and no status. Kayak tiba-tiba aja gitu hilang, mungkin dia memang mau semua tentang kita di hapus bersih".
Suara mulai bergetar. "Padahal kemarin malam dia bilang mau jemput aku pas pulang sekolah, terus dia masih sering chat aku.."
Nayla hanya menghela nafas dan langsung memegang kedua tangan ku yang sudah terlanjur dingin.
"Hmm gitu ya?.. An, mending kita bicaranya di rumah gue aja.. soalnya di sini dingin, tangan kamu aja udah dingin gini"
Aku pun mengangguk setuju. "Iya.."
***
"Nih, ada minuman coklat panas buat bikin kamu hangat"
"Makasih ya, maaf ngerepotin malem-malem gini.."
"Gapapa kokk, nyokap gue juga seneng kalo ada lu"
"Btw, An. Lu yakin dia putusin lu karna bener-bener gak mau lagi? Atau ada yang lain?" Tanya Nayla sambil duduk bersebelahan pada ku di kasur nya.
Aku diam, air mata yang sejak tadi aku tahan mulai membasahi pipiku. Suaraku sangat pelan, hampir seperti gumaman.
"Dia gak secepet itu milih keputusan Nay, gue tahu dia bakal mikir 2 kali buat ngambil keputusan" Ucapku
"Dia cuma bilang 'kita putus' Nay, terus hilang. Gue yakin itu bukan dia yang sebenarnya"
Nayla pun menatap ku dengan tatapan yang lembut dan berkata. "Kalau itu bukan dia, kita cari dia yang sebenarnya"
Aku yang sedang meminum coklat panas itu tersedak dengan kalimat Nayla. "Hah?"
"Iya An, kita harus cari dia yang sebenarnya. Kita cari kenapa tiba-tiba dia ngelakuin kayak gitu, lu berhak kok buat tau jawabannya An. Lagian ini bukan cuma perasaan.. gue curiga ini kayak ada yang di tutup-tutupin"
Aku lalu memandang Nayla dengan senyuman yang mulai penuh harapan, sekaligus penuh rasa terima kasih. Ternyata masih ada seseorang yang membuat ku gak sendirian lagi. Itulah Nayla.
Dan untuk pertama kalinya, malam itu.. ada sedikit harapan yang melintas di hatiku yang sudah remuk.
***
Hari-hari setelah malam itu berjalan sangat lambat, aku dan Nayla pun melihat sosok Marlo yang sudah mulai menjaga jarak dengan ku. Namun aku tak mau menyerah begitu saja, aku dan Nayla terus mencari petunjuk soal kepergian Marlo. Aku mencari di medsosnya yang sudah tak aktif dan chatnya yang hanya memperlihatkannya centang satu. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.
Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Marlo telah resmi berpacaran dengan Vinaya Alexandrea atau Vina. Gosipan itu telah menyebar sampai satu sekolah, dan bukan hanya itu.
Vina mulai memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya di depan ku, Nayla maupun yang lain.
Awalnya hanya ada lirikan sinis dari siswa dan siswi saat kami melewati koridor sekolah. Lalu di susul oleh bisikan-bisikan dari geng Vina setiap aku dan Nayla lewat, namun hari ini.. seketika semuanya meledak.
KRING! KRING!
Bel pulang sekolah pun berbunyi, aku dan Nayla baru keluar dari kelas saat seseorang tiba-tiba mendorong bahu ku dengan cukup keras hingga tas dan buku-buku ku terjatuh.
"Ups! Sorry, gak sengaja guys" Ucap Vina dengan senyum yang terlalu lebar untuk sesuatu yang disebut 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘𝑠𝑒𝑛𝑔𝑎𝑗𝑎𝑎𝑛.
Nayla pun menunduk dan membantuku memunguti buku-buku itu. Namun sebelum aku mengambil buku yang ke terakhir, Vina pun langsung menendang buku itu ke arah tangga hingga terjatuh sampai bawah, membuat murid-murid yang berlewatan terkejut.
Tapi... yang paling menyakitkan, tak ada seorang pun yang ikut membantu mengambil buku tersebut padahal ada banyak murid yang berlalu lalang di sana. Apakah mereka takut dengan Vina? Bisa jadi. Vina memang adalah seorang gadis yang paling di takuti oleh murid-murid di sekolah ini, memang ia cantik tapi hatinya seperti iblis.
Ia tak akan berbelas kasih saat ia menginginkan sesuatu, ia akan melabrak siapapun yang menghalangi jalan nya. Ia akan menindas banyak orang yang tak bersalah jika ia menginginkan sesuatu yang berharga. Dia dan geng nya sering di sebut sebagai "The Pretty Snakes" yang artinya menawan, tapi mematikan. Intinya jangan coba-coba untuk melawan nya apalagi mengomentari nya jika kamu ingin hidup. Pernah ia sering kali memasuki ruang BK, namun hasilnya seperti ini.. ia tak akan pernah bertaubat!.
"Wah, itu buku lo ya? Sorry banget nih kaki gue gak sengaja jatohin! Huhuhu" Ucapnya sambil menyeringai padaku.
"Heh, maksud lo apa kayak gitu ke temen gue Vin? Berani banget lo nindas orang kayak gini?!" Balas Nayla sambil mendorong keras Vina dengan tangan kanan nya.
Ya, dulu sekali saat kelas 1 Nayla pernah join ke grup "The Pretty Snakes" dan menjadi ketua dari geng itu. Dulu Nayla sangat kasar dan lebih keji dibandingkan Vina, tapi karna ia sudah taubat dan tak akan melakukan itu lagi akhirnya ia keluar dan membubarkan geng tersebut. Namun Vina tak menerima hal tersebut, ia kembali membangkitkan geng itu menjadi lebih kuat selama Nayla tak ada, dan ketua dari geng itu adalah Vina sendiri.
"Eh Nay, gue gak masalah sama lo kok! Tapi temen lo ini harus di kasih pelajaran.." Ucap Vina sambil menatap ku tajam.
"Vin, cukup deh! Gue kan udah bilang kenapa gak dibubarin aja sih geng nya.. lagian ini urusan gue Vin, gausah bawa-bawa Anjani. Kalau lo masih bawa-bawa dia gue gak segan nindas lo juga Vin" Balas Nayla sambil menatap Vina tak kalah tajam.
Saat aku ingin membalas semua itu, tiba-tiba ada lelaki yang memotong pembicaraan Vina dan Nayla.
"Cukup Vin"
Semua kepala menoleh, suara itu.. ya, itu Marlo.
Aku mendongak menatap Marlo yang tersulut emosi, ia mencantumkan rahang nya, wajah nya serius, dan matanya mengarah langsung pada Vina.
"Sayang, gue cuma-"
"Lu gak ngerti gue bilang cukup?" Potong Marlo dengan suara yang dingin.
Suara hening pun mengisi seluruh koridor itu, semua orang seketika membeku, mataku bertemu dengan matanya, dan untuk pertama kalinya sejak ia menjaga jarak dari ku, kami bertemu lagi.
Marlo pun segera memalingkan wajah dan menatap ke Vina.
"Vin, kita ngobrol sekarang" Ucapnya datar.
Vina pun terpaksa mengikuti nya dari belakang, dan sebelum itu ia mengumumkan sesuatu yang bisa ku baca dari gerakan bibirnya.
"Nantikan pembalasan ku An" Katanya begitu.
Aku hanya terdiam tanpa suara, berdiri di pojokan dinding dengan tatapan kosong, dan kepalaku penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban pasti..
Kenapa sekarang? Kenapa dia baru muncul saat kondisi nya seperti ini? Dan kenapa kamu.. bersama dia? Kamu sekarang lebih suka ya cewek kayak gitu dibanding gue?.
***
Entah sudah berapa lama aku tak bertemu dengannya selepas kejadian Vina. Aku sangat merindukan nya. Namun, semua itu selesai saat ia mulai menatapku dengan sinis, mengeluarkan kalimat yang menyakitkan, tak memedulikan ku, dan mencoba untuk membully ku. Nayla tak pernah tahu ini terjadi, karna aku tak akan bersuara padanya. Aku memendam ini bukan karna aku mau, tapi aku tak ingin Nayla terus terlibat dengan kemalangan ini.
Tepat saat selesai ujian itu, ia meninggalkan ku lagi..
Ya, begitulah aslinya, ia meninggalkan ku bukan karna mau. Tapi karna mengikuti ibunya yang ingin pergi ke Bali. Bisa dibilang, kisah nya dan aku hampir mirip dengan perceraian orang tuanya. Namun sangat berbanding terbalik dengan aku yang lebih kejam.
Di saat itu aku masih tak mengerti semua ini, aku belum mendapatkan jawaban yang pasti, tapi ia sudah lebih dulu meninggalkan ku. Ia tak memberiku kesempatan untuk bicara lurus padanya, ia tak memberiku kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan, dan ia tak memberiku kesempatan untuk mengetahui semua pertanyaan yang tak ada jawaban.
Ia hanya menghilang begitu saja...
Kenapa? Apakah aku memang seburuk itu di matamu? Kapan? Kapan aku berbuat yang tak baik pada mu? Kapan aku mulai jahat padamu? Kapan aku mulai membenci mu? Aku tanya.. Marlo, kapan? Aku merasa tak pernah melakukan hal sejahat itu padamu... kenapa di saat seperti ini kamu menindas ku? Kamu berkata yang tak senonoh dengan ku, kamu mulai membully ku, dan kamu mulai membenciku.
Asalkan kamu tahu ya Marlo, selama 8 tahun ini, aku tak pernah membencimu sekali pun, aku tak pernah menganggap mu sebagai orang yang aneh, dan aku tak pernah menganggap ketidakberadaan mu di samping ku. Tapi? Kenapa kamu melakukan ini semua padaku? Cukup Marlo, asal kamu tahu saja.. aku hanya ingin rasa sayang dari mu maupun orang tua ku. Aku tak pernah bilang kalau hidup ku akan se menderita ini kan? Maka bacalah setiap kalimat demi kalimat di buku ini Marlo, supaya kamu tahu betapa pedih nya aku menahan semua luka dari umur ku yang dini.. (6 tahun hingga 16 tahun ini).
Aku sangat menyanyangi mu Marlo, sejak kelas 2 SD sampai kelas 3 SMP, kamu melakukan sesuatu yang tak bisa kudapat dari orang tua ku, yaitu kasih sayang. Mulai dari itu, aku menyukai mu Marlo, tidak. Aku mencintai mu Marlo.
Aku selalu membayangkan kamu berada di depan ku, dan aku mengatakan semua ini dari lubuk hatiku.. tapi apa yang kurasakan? Hampa, aku tak pernah mau membayangkan mu ada di depan ku saat aku mengatakan semua ini.. karna aku tahu, sifat asli mu itu yang membuat hati ku sakit. Jika aku membayangkan kamu berada di depan ku, aku seolah membayangkan dunia nyata kamu berada di depan ku dan memaki-maki ku lagi. Maka dari itu aku tak berani membayangkan aku mengatakan ini padamu.
Orang-orang sering bilang padaku. "Bayangin aja dia ada di depan lo, terus keluar kan semua yang kamu rasakan padanya. Itu akan membuat mu jauh lebih baik".
Setiap aku mendengar kalimat itu, aku menjadi tak berani untuk membayangnya sama sekali. Karna aku tahu, di dunia nyata kamu tak akan memberikan ku kesempatan, apalagi dengan membayangkan. Sebelum membayangkan mu saja hati ku sudah remuk.
Begitulah Marlo, apa yang kurasakan padamu. Silahkan jika kamu ingin membenciku sampai kamu punya istri ataupun sampai mati, yang penting bagiku adalah.. aku tak akan pernah membenciku sekalipun kamu melakukan hal buruk padaku, aku tak akan membencimu. Sudah kuputuskan demikian..
***
Untuk mu Marlo, entah ini mimpi yang akan menjadi nyata atau hanya imajinasi ku saja.
Aku pernah memimpikan mu hampir 3x selama 2 minggu ini. Aku memimpikan bahwa kamu mulai memberikan aku pesan yang yang mengatakan kamu menyesal atas apa yang kamu perbuat dan meminta maaf padaku, kalau mengatakan bahwa aku mencintai mu. Semua mimpi itu menjelaskan betapa aku merindukan dan menyayangi mu Marlo.
Tapi sayang, semua itu hanya mimpi.. jika itu semua nyata, aku akan dengan senang hati menerima nya.
Sudah 8 tahun lebih ya kamu baru menyesali perbuatanmu Marlo. Tapi, walau begitu, aku masih senantiasa memaafkan mu.. karna aku tulus menyukai mu Marlo.
***
"An.. hari ini aku yang anterin kamu pulang ya" Ucap seorang lelaki dengan nada yang lembut.
"Iya, tapi nanti aku mau mampir ke warung bu Diah boleh ya? Mau pesen mie ayam!" Jawab ku dengan girang sambil menggandeng tangan lelaki itu.
"Apapun buat lo.. nanti sekalian gue pesen juga kali ya? Nyokap gue sekarang lagi mau mie ayam juga"
"Itu mah bukan lagi mau gak sih, tapi emang mau tiap hari?"
"Ya.. gak gitu juga la, masa tiap hari makan mie ayam mulu, gak bosen apa"
"Ya enggak lah! Masa lu gak ngeh gue tiap pulang minta beli mie ayam mulu?"
"Ee.. enggak, gue gak ngeh"
"Yeuuu! Kalau sebulan di kasih makan mie ayam mulu, gue gak pernah bosen! Gue bakal terima tu makanan.. abisnya enakkk!"
"Ah! Lu mah, lidahnya mie ayam banget!"
"Ya iya lah! Mie ayam tuh comfort food sejati. Mau lagi sedih, galau, seneng, kesel, pusing tugas ngerjain tugas, mie ayam selalu jadi jawabannya"
"Terus kalau suatu hari tiba-tiba mie ayam hilang dari dunia ini gimana?"
"WOI, jangan ngomong yang serem-serem gitu dong! Gue bisa nangis asli"
"Hahaha lebay amat!" Ucapnya sambil tertawa.
"Serius! Mie ayam tuh udah kayak... pasangan hidup. Gak pernah ninggalin, selalu ada, dan selalu bisa bikin senyum walau lagi bad mood!"
"Buset, mie ayam disamain sama pasangan hidup..."
"Daripada disamain sama mantan, ntar rasanya pahit!"
"HAHAHAHA! Oke deh, kalau gitu besok pulang sekolah kita jajan mie ayam lagi"
"Janji ya? Jangan PHP!"
"Fix, janji. Tapi gue pesen bakso ya, biar gak ketularan kecanduan mie ayam kayak elu!"
"Idih! Sok we!"
Yaaa.. lelaki yang baru saja berbicara denganku itu adalah pacar baruku. Namanya Harsa Narendra. Ia adalah teman dekat Nayla sahabatku. Saat itu, aku baru saja putus dari hubunganku dengan Marlo, dan kebetulan Nayla sedang pergi ke supermarket bersama temannya. Di situlah pertama kali aku benar-benar memperhatikan Harsa.
Awalnya, aku hanya menganggapnya teman dari sahabatku. Tapi sore itu, ketika dia duduk di sampingku dan ikut bercanda, entah kenapa semuanya terasa hangat. Ringan. Tidak dibuat-buat. Seolah, setelah sekian lama menjalani hubungan yang penuh tekanan, aku akhirnya bisa bernapas lega.
Harsa orang nya lembut, pinter, dan jujur. Beruntung saat aku SMA dia dan Nayla ikut bersekolah di sekolah yang sama. SMA Zahara. Dan saat itulah ia dulu yang menghampiri ku dan menjalin hubungan yang lebih baik, aku anggap hubungan itu bisa melupakan masa lalu ku tentang Marlo, tapi ternyata tak bisa. Karna memori tentangnya masih melekat di benak ku.
Walaupun kami sudah banyak berubah, tapi aku masih mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi. Yaitu, masa di mana ia kembali lagi padaku dan berkata bahwa aku menyesal telah membencimu. Aku terus mengharapkan hal sama sampai aku SMA kelas 12. Tapi tak terjadi juga, aku hanya memberikan harapan palsu pada diriku. Namun itu tak masalah, karna apapun itu.. aku masih menyukainya dengan tulus.
***
"Huh! Gue harus bersiap! Kalau enggak nanti pasti bakal terlambat gegara macet.."
"Gak boleh sampai aku telat masuk kelas, kalau telat Harsa pasti bakal nertawain aku lagi.. huh!" Ucapku sambil berberes kasur dan pergi bersiap diri.
***
Aku dan Harsa mungkin hanya satu kisah di antara banyak hati yang belajar mencintai lagi setelah terluka. Tapi seperti halnya cinta, cerita tak pernah benar-benar selesai. Masih banyak hati lain yang berjuang dan berharap akan menjadi lebih baik ke depannya. Halaman berikutnya mungkin bukan tentang kami, tapi tentang cinta yang lain, yang juga layak untuk kamu temukan dan satu yang terasa dekat denganmu.