Tokoh utama:
Tika Lunara – wanita karismatik, cuek tapi super tangguh
Rano Baskara – pria jahil, CEO muda yang kelewat santai
---
Cerita:
Tika Lunara punya tiga aturan hidup:
1. Jangan jatuh cinta di kantor.
2. Jangan lupakan skincare.
3. Dan jangan, jangan pernah percaya cowok yang senyumnya mirip iklan pasta gigi.
Sayangnya, tiga-tiganya hancur berkeping-keping sejak Rano Baskara duduk di kursi CEO lantai tujuh—tepat di atas ruangan Tika. Setiap hari, pria itu datang pakai sneakers warna neon, nyeret kopi latte dua tangan, dan senyum seakan dunia ini taman hiburan pribadi.
Dan tiap hari juga, Tika mencatat dosa baru Rano di buku harian kerjanya.
Contoh:
Senin: “Bos baru ganggu timeline. Minta desain ulang jam 4 sore. Gila.”
Rabu: “Kenapa dia manggil aku ‘Tika-Tika Boom’? Mau aku ledakin beneran?”
Tika adalah kepala desain di sebuah perusahaan startup fashion. Dia dikenal tegas, cepat, dan tak kenal ampun pada template jelek dan typo brosur. Tapi sejak Rano datang, kantor berubah kayak drama Korea episode pertama: norak tapi bikin nagih.
“Lunaaa, kamu udah makan?”
“Nama aku Tika.”
“Tapi Lunara lebih dreamy. Kaya karakter fantasy gitu.”
“Bos, aku realistis. Hidup saya bukan film Disney.”
Tiap hari Rano menggoda, kadang ngasih croissant anget ke mejanya, kadang tiba-tiba duduk di ruang desain cuma buat bilang, “Aku pengen kita diskusi branding... dan hubungan kita.”
Tika ingin kesal, tapi cowok itu punya bakat: bikin orang ketawa pas lagi megang deadline, dan anehnya, dia selalu ingat hal kecil—seperti favorit Tika pada teh melati hangat, bukan kopi.
Suatu hari, saat Tika lembur sendirian, Rano muncul di pintu dengan hoodie dan dua mangkok mie instan. Dia nyelonong masuk seperti biasa, duduk di bean bag, dan buka mie sambil nyodorin satu ke Tika.
“Lo tau nggak, kamu satu-satunya orang yang belum resign sejak aku datang.”
Tika mendesah. “Karena aku cinta pekerjaanku. Dan... mie instan gratis.”
Rano ketawa. “Kupikir kamu bakal bilang ‘karena kamu cinta aku’.”
“Lucu. Coba ketawain sendiri, bos.”
Hening sebentar. Tapi Rano diam-diam memperhatikan wajah Tika yang lelah, tapi matanya tetap menyala. Dia mendekat sedikit, suara lebih pelan.
“Kamu tahu kenapa aku selalu ke ruang desain? Karena kamu bikin semuanya keliatan... hidup.”
Dan saat itu, Tika merasa sesuatu bergeser di hatinya. Sesuatu yang lama dia tahan, sekarang mulai mencolek-colek perasaannya. Mungkin karena cara Rano ngomong serius jarang-jarang. Atau mungkin, mie instan itu emang ada efek samping romantis.
---
Seminggu kemudian, kantor riuh karena Rano mengumumkan proyek besar dan menugaskan Tika jadi creative lead nasional. Semua orang heboh.
Tapi Tika, alih-alih senang, justru mendatangi Rano di rooftop.
“Aku capek,” katanya. “Capek pura-pura gak peduli, capek nolak perhatian kamu. Aku bukan cewek manja, Rano. Aku mandiri. Kuat. Tapi... kenapa kamu terus ngejar?”
Rano menatapnya serius, untuk pertama kali tanpa lelucon.
“Karena aku gak ngejar kamu buat bikin kamu lemah. Aku cuma pengen jalan bareng kamu, kuat bareng.”
Dan di antara lampu kota yang berkedip, di rooftop yang biasa sepi, Tika akhirnya membiarkan dirinya jatuh. Tapi bukan jatuh lemah—jatuh dengan kontrol penuh, karena dia tahu yang nangkep bukan cowok biasa.
---
Bab 2: Tika-Tika Boom dan Komik Terlarang
Tika memelototi komik buatan Rano yang tiba-tiba nongol di mejanya pagi itu. Isinya? Dirinya—lengkap dengan rambut dikuncir, ekspresi galak, dan nendang monster typo pakai sepatu hak tinggi. Di pojok kanan atas, ada tulisan besar:
> “Tika-Tika Boom: Penyelamat Dunia dari Font Comic Sans!”
Dia menghela napas. “Ini udah kelewat batas.”
Beberapa staf desain yang ikut ngintip justru ngakak.
“Wah Kak Tika, lucu banget ini! Kapan rilis episode 2-nya?”
“Bikin pin-nya dong! Mau aku tempel di laptop!”
Tika hanya mengangkat alis tajamnya dan menatap langit-langit, seolah berdoa agar petir menyambar Rano di lantai atas.
---
Sore harinya, dia naik ke ruang CEO. Pintu terbuka tanpa diketuk—karena dia Tika Lunara, bukan tipe cewek yang nunggu izin buat marah.
Rano sedang... mewarnai.
“Serius? Kamu mewarnai pakai pensil warna?”
Rano ngangkat kepala dan nyengir. “Relaksasi. Kamu harus coba. Nih.” Dia nyodorin satu halaman kosong dan kotak pensil warna.
Tika nyaut, “Aku lebih suka warna merah... pas marah.”
“Cocok banget,” jawab Rano. “Merah itu warna passion. Dan kamu... penuh passion. Apalagi waktu bentak anak magang soal resolusi gambar.”
Tika geleng-geleng. “Kamu tahu nggak, komik itu bisa bikin aku dituntut sama font designer?”
“Tapi juga bisa bikin kamu viral,” Rano balas cepat. “Bayangin: ‘Bos Galak Jadi Superhero Nasional!’”
Tika ingin marah. Tapi cowok ini... ya ampun, kenapa bisa semeyebalkan sekaligus menghibur?
---
Malam itu, Tika pulang ke apartemen kecilnya. Sendirian. Seperti biasa.
Dia duduk di depan laptop, niat ngedit presentasi, tapi malah buka folder... dan nge-zoom komik buatan Rano. Karakter dirinya di situ... kuat, lucu, unik. Gak seperti gambaran cewek lemah yang biasanya digambarin pria.
Dan tiba-tiba... hatinya agak aneh. Kayak ada sesuatu menggelitik. Bukan karena komik. Tapi karena Rano melihat dirinya seperti itu. Bukan sebagai beban, bukan cewek keras kepala. Tapi pahlawan.
---
Keesokan harinya...
Tika masuk kantor dengan langkah tegap, wajah dingin seperti biasa. Tapi ada satu hal baru:
Dia pakai pin “Tika-Tika Boom” di tote bag-nya.
Staf desain langsung bersorak.
“Ya ampun Kak Tika resmi jadi karakter!”
“Bisa dijadiin NFT nih!”
Dan di lantai atas, Rano tersenyum sambil melihat dari kaca.
“Boom,” bisiknya.
---
Cuplikan obrolan chat malam itu:
📱 Rano:
> Kamu suka komiknya?
📱 Tika:
> Lumayan. Tapi kamu salah gambar sepatu aku. Harusnya wedges, bukan heels.
📱 Rano:
> Maaf, Pahlawan. Siap revisi. Tapi... kamu mau aku gambar versi couple nggak?
📱 Tika:
> Rano...
📱 Rano:
> Ya?
📱 Tika:
> Jangan bikin aku baper sambil ketawa. Aku belum siap pacaran sambil viral.
📱 Rano:
> Siap, Lunara. Tapi hati-hati... aku gambar pake cinta, bukan tinta.
---
Bab 3: Cewek Bergaun Merah dan Wajah Tika yang Datar Tapi Terbakar
Hari Jumat biasanya jadi hari paling santai di kantor. Tapi hari ini…
TIDAK. SAMA. SEKALI.
Karena pagi-pagi, Rano muncul di ruang desain—bukan dengan hoodie seperti biasa—tapi pakai kemeja batik halus, rambut klimis, dan senyum yang... terlalu bahagia.
Dan yang bikin semua kepala menoleh?
Di belakangnya berdiri seorang wanita cantik, tinggi, bergaun merah, dengan aura mahal seperti parfum duty free yang gak ada di toko online.
“Guys, kenalin. Ini Alika. Konsultan branding dari Singapura. Dia bakal bantu kita buat project baru bareng klien luar negeri.”
Semua orang tepuk tangan.
Kecuali Tika.
Dia cuma ngelirik sekilas sambil ngunyah roti isi telur yang mulai terasa pahit.
Di otaknya muncul satu kalimat singkat:
> “Siapa dia dan kenapa dia berdiri terlalu dekat sama Rano?”
---
Sepanjang hari, Rano dan Alika ngobrol. Deket banget. Kadang ketawa bareng. Kadang bisik-bisik kayak pasangan yang baru tunangan. Bahkan... mereka sempat makan siang bareng di luar.
Tika?
Masih di ruangannya.
Ngedesain presentasi sambil mencet tombol delete lebih sering dari biasanya.
Bahkan sempat salah ketik: “Desian” alih-alih “Desain”.
“Hah. Fokus dong, Tika.”
---
Sore harinya, Alika mampir ke ruang desain.
“Hi, kamu pasti Tika. Aku udah banyak dengar soal kamu. Rano cerita kamu itu tulang punggung kreatif tim ini.”
Tika mengangguk datar.
“Semoga dia juga cerita kalau aku alergi sama font warna pink di proposal.”
Alika tertawa manis. “Lucu kamu, ya.”
Tika cuma senyum tipis. Di dalam hati?
> Ledakan.
---
Malamnya...
Tika scroll HP sambil rebahan.
Grup kantor rame ngomongin Alika.
Beberapa cowok bahkan udah follow IG-nya.
Dan di timeline, muncul story Rano—lagi duduk bareng Alika sambil ngopi, caption-nya:
> “Teamwork is dreamwork 💼☕”
Tika mendadak nge-charge HP... dengan kekuatan emosi.
Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk.
📱 Rano:
> Kamu udah makan, Lunara?
📱 Tika:
> Aku alergi kopi kerja bareng cewek cantik.
📱 Rano:
> Hah? Maksudnya?
📱 Tika:
> Maksudnya, jangan tanya aku udah makan kalau kamu sibuk ngajak orang lain ngopi.
📱 Rano:
> 😳
📱 Rano:
> Kamu... cemburu?
📱 Tika:
> Aku... enggak. Aku cuma... sensitif terhadap visual yang terlalu intens. Termasuk lipstick merah Alika.
📱 Rano:
> Luna... dia itu partner kerja. Kamu tahu aku cuma ngelihat satu orang sejak hari pertama.
📱 Tika:
> Siapa?
📱 Rano:
> Kamu. Si Tika-Tika Boom. Superhero desain yang bisa nendang monster insecure aku cuma dengan liat matanya.
Tika diam. HP-nya bergetar. Bukan karena notifikasi. Tapi karena jantungnya ngelantur kayak motor kopling yang lupa netral.
---
Besoknya...
Tika masuk kantor pakai blazer merah, makeup flawless, dan sepatu hitam hak lancip. Bukan buat pamer. Tapi buat ngingetin satu hal:
> “Aku nggak butuh jadi cantik untuk berharga. Tapi hari ini... aku pengen dunia lihat siapa yang sebenarnya bersinar.”
Dan saat Rano lihat Tika masuk ruangan?
Dia nyengir.
“Waduh. Tika-Tika Boom... berubah jadi Tika-Tika Bam!”
Tika menatap tajam. “Fokus kerja, bos. Jangan banyak gaya.”
Tapi sudut bibirnya...
Senyum dikit. Dikit aja.
---
Bab 4: Payung, Popcorn, dan Perasaan yang Nyempil
Satu hal yang Rano sadari tentang Tika Lunara:
Dia gak pernah basah kena hujan.
Bukan karena dia selalu bawa payung, tapi karena langit takut salah kalau berani ganggu jadwal kerja Tika.
Tapi sore itu beda. Hujan deras turun saat jam pulang kantor. Tika berdiri di lobi, nunggu reda sambil mainin ujung tas. Semua orang udah cabut. Rano tiba-tiba muncul, bawa payung transparan motif awan-awan lucu.
“Tumben kamu gak bawa jas hujan kerjaanmu,” goda Rano.
Tika melirik. “Tumben kamu gak ngedit komik.”
Rano nyengir. “Aku mau edit sesuatu yang lebih penting. Misalnya... suasana hatimu.”
Tika melotot setengah geli. Tapi sebelum dia sempat ngebales, Rano buka payung dan ngulur tangan.
“Yuk. Aku anter. Tapi kamu harus pegang payungnya. Soalnya tangan aku penuh... sama perasaan.”
Tika: “🤦🏻♀️”
---
Di dalam mobil...
Suasana hening. Hujan di luar mengalun pelan, radio nyetel lagu lawas, dan Tika tiba-tiba sadar: dia belum pernah serumah mobil berdua doang sama cowok, sejak... ya, sejak selamanya.
Rano melirik, lalu nanya, “Mau mampir nonton film bareng aku gak? Ada film superhero. Tapi kali ini, tokohnya bukan kamu.”
Tika tertawa kecil. “Gak yakin. Bisa aja aku lebih powerful dari si tokoh utama.”
---
30 menit kemudian... di bioskop.
Popcorn rasa keju di tangan. Minuman soda dua. Dan Tika—si wanita kuat, logis, tajam—sekarang duduk di sebelah cowok yang bikin dia gak bisa mikir jernih setiap kali ketawa.
Filmnya action, tapi mata Tika lebih sering nyerong ke arah Rano. Cowok itu nonton dengan mata berbinar, kadang bisik lucu-lucuan yang gak penting.
“Kalau aku punya kekuatan, aku bakal bikin kamu gak bisa buka Google tiap kali cari referensi warna.”
“Kalau aku punya kekuatan, aku bakal bikin kamu diem 10 menit aja.”
“Deal.”
Tika senyum. Tapi dalam hati?
> Ada sesuatu yang... lembut. Hangat. Dan agak menyeramkan karena bikin dia nyaman.
---
Setelah film, di parkiran...
Rano berhenti sebelum masuk mobil. Dia menatap Tika, serius.
“Luna...”
“Hmm?”
“Aku gak tahu kamu ngerasa apa. Tapi aku tahu satu hal: kamu selalu sendirian bukan karena kamu pengen. Tapi karena kamu gak pernah nemu yang tahan sama versimu yang paling nyata.”
Tika terdiam.
“Aku tahan, Tika. Bahkan... aku suka versimu yang paling galak, paling keras kepala, dan paling males bales chat.”
Tika masih diam. Tapi ada air tipis di matanya yang tertahan.
“Kalau kamu capek jadi kuat terus... kamu boleh sandar ke aku. Sebentar aja. Nanti kalau kamu mau balik berdiri sendiri lagi, aku tetap di belakangmu. Gak maksa.”
---
Di mobil, perjalanan pulang...
Tika gak banyak bicara. Tapi sebelum turun, dia pelan-pelan nyelipin sesuatu ke dashboard Rano.
“Komik halaman baru. Tika-Tika Boom... ketemu sidekick baru.”
Rano buka kertasnya. Di sana, gambar tangan Tika dan tangan Rano saling genggam. Di bawahnya ada tulisan kecil:
> “Sidekick ini ngeselin, tapi bikin pahlawan ketawa.”
Rano nyengir lebar.
“Boom.”
---
Bab 5: Mantan yang Nongol, dan Cowok yang Tiba-tiba Cuek
Hari itu kantor lagi heboh karena akan ada pemotretan untuk katalog rebranding terbaru. Semua divisi terlibat. Termasuk Tika, tentu saja. Tapi bukan sebagai fotografer... melainkan model dadakan.
“Sorry, siapa yang nyuruh aku jadi model? Aku gak bisa pose,” kata Tika panik sambil pakai hoodie bolong.
Tapi staf makeup udah nyeret dia, dan Rano cuma senyum kalem dari jauh, ngelihatin kayak orang yang siap nonton bioskop.
“Lunara... semua orang pengen lihat superhero-nya dunia nyata. Dan itu kamu.”
Tika melotot. “Aku bisa gantiin diri jadi hanger gak?”
“Enggak. Tapi kamu bisa gantungin hati aku, kalau mau.”
“Rano!!”
---
Satu jam kemudian, Tika berdiri di studio mini kantor, pakai blazer putih dan lipstik warna soft rose. Kamera jepret berkali-kali. Dan hasilnya? GILA. Dia kelihatan… kuat, berkelas, dan cantik tanpa usaha.
Tiba-tiba, seorang cowok tinggi pakai jas masuk ke area studio.
“Permisi… Tika?”
Tika berhenti senyum.
Semua orang langsung sunyi.
Cowok itu mendekat dengan senyum percaya diri. “Kamu masih inget aku? Reyhan.”
Reyhan = mantan Tika waktu kuliah. Satu-satunya yang pernah bikin Tika percaya cinta, sebelum patah dan berubah jadi wanita kuat yang sekarang.
Dan yang bikin suasana makin awkward?
Rano berdiri di sudut ruangan, ngeliat semua itu. Diam. Tapi matanya tajam.
---
Beberapa menit kemudian, di pantry kantor...
Tika menuang teh. Reyhan ikut nimbrung. Mereka ngobrol, awalnya canggung, tapi lama-lama… ketawa-ketawa kecil. Tika gak sadar, Rano berdiri di belakang kulkas es krim, nguping sambil makan es krim rasa pandan. (Karena itu satu-satunya yang gak laku dan gak ada yang rebutin.)
Dan saat dia lihat Tika ketawa — yang beda. Ketawa itu bukan sinis, bukan lelah, tapi... nostalgia. Rano ngelirik es krim di tangannya. Lumer.
Kayak... perasaannya yang ikut mencair.
---
Besoknya...
Rano jadi super cuek. Gak nongol ke ruang desain. Gak ngirimin chat. Gak manggil “Tika-Tika Boom”. Bahkan gak nyuruh revisi brosur yang jelas-jelas typo parah.
Tika bingung.
Sampai akhirnya dia nekat naik ke ruang CEO dan nemuin Rano lagi... nulis.
Tapi bukan proposal. Bukan email.
Tapi... komik halaman baru.
Tokoh cowok di dalamnya sedang duduk sendiri, di pinggir gedung tinggi, bawa es krim pandan, sambil mikir:
> “Kalau tokoh utama bahagia sama orang lain... sidekick harus tahu diri, kan?”
Tika langsung nyomot kertas itu. “Kamu serius?”
Rano ngangkat bahu. “Aku gak cocok jadi tokoh utama di hidup kamu, Tik. Mungkin dia yang lebih cocok. Gak usah aku ganggu.”
Tika tarik napas panjang. “Rano...”
“Kamu keliatan beda pas ngobrol sama dia. Bahagianya kayak... bukan karena aku.”
---
Dan di situlah... Tika akhirnya sadar.
Dia gak marah karena Rano cuek.
Tapi karena...
Dia gak mau kehilangan perhatian cowok yang bisa bikin dia ketawa tanpa harus pura-pura lembut.
Tika mendekat. Berdiri di depan meja Rano. Lalu narik kerah kemeja cowok itu.
Pelan-pelan. Tegas. Tanpa ragu.
“Aku gak butuh tokoh utama. Aku butuh partner. Dan itu kamu.”
Rano bengong. “Serius?”
Tika menatap tajam. “Kamu pikir siapa yang bisa tahan liat kamu makan es krim pandan sambil galau kayak bocah ilang?”
Rano ketawa. Kenceng.
Lalu pelan-pelan bangkit dan nyender ke meja, masih senyum.
“Aku suka kamu banget, Lunara. Tapi serius. Kamu yakin?”
Tika ngangguk. “Kalau kamu ngajak lari dari skrip kehidupan, aku mau. Tapi jangan bawa es krim pandan lagi. Itu trauma.”
---
Bab 6 (Ending): Dinner, Drama, dan Desain Cinta
Semenjak momen tarik-kerah dramatis itu, hubungan Tika dan Rano resmi naik level. Tapi tentu, gaya mereka beda dari pasangan biasa.
Enggak ada panggilan "sayang" lebay.
Enggak ada bunga mawar tiap pagi.
Tapi ada...
Sticky notes di meja kerja: “Jangan lupa makan. Aku gak mau pacar aku lemes waktu marah-marahin typo.”
Rano yang diam-diam bikin playlist Spotify: “Lagu untuk Tika kalau lagi marah tapi tetap cantik.”
Dan Tika yang mulai senyum-senyum tiap Rano nyebut nama dia, tanpa rolling eyes lagi.
---
Suatu malam, Rano ngajak Tika dinner romantis di rooftop gedung kantor—niatnya buat nembak resmi. Pake kemeja putih, lampu-lampu hias, musik pelan, dan... makanan yang Rano masak sendiri.
Tapi...
Rasa makanannya? Selevel bencana nasional.
Tika: “Kamu yakin ini spageti? Kenapa rasanya kayak mie rebus yang ikut KKN?”
Rano: “Romantis itu bukan soal rasa. Tapi niat, sayang.”
Tika: “Niat kamu baik. Tapi mie ini kayak niat mantan ngajak balikan. Meragukan.”
Tapi justru dari situ... mereka ketawa. Kenceng. Bebas.
Dan malam itu jadi malam paling jujur dalam hidup Tika.
Karena untuk pertama kalinya...
dia gak harus jadi “kuat” buat dicintai.
---
Beberapa minggu kemudian...
Kabar hubungan mereka akhirnya bocor ke seluruh kantor. Tapi anehnya, semua orang malah dukung.
“Akhirnya bos kita ditaklukkan!”
“Pasangan desain dan CEO! Keren!”
“Ada rencana wedding pakai tema font Helvetica gak?”
Tika cuma senyum, pelan, tenang.
Bukan karena dia gak peduli omongan orang.
Tapi karena dia tahu… hubungannya bukan buat dipamerin. Tapi buat diperjuangin.
---
Lalu, tibalah hari itu.
Di layar besar ruangan meeting, Rano mempresentasikan proyek besar: “Rebranding Nasional.”
Tika, sebagai Creative Lead, duduk di sebelah. Tapi dia gak tahu...
halaman terakhir presentasi menyimpan kejutan.
Slide terakhir muncul.
Gambar komik buatan Rano.
Tokoh cewek dengan rambut dikuncir, pakai blazer. Tokoh cowok berdiri di sebelah, megang cincin.
Tulisan di bawahnya:
> “Pahlawan hebat pun butuh rekan seumur hidup.”
“Tika Lunara, mau gak kamu jadi partnerku — seumur hidup?”
Semua orang terdiam.
Tika menatap Rano.
“Ini lamaran beneran?”
Rano berdiri. “Iya. Tapi kalau kamu bilang enggak, aku siap kena tendangan Tika-Tika Boom.”
Tika tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum paling lepas, yang gak dicampur ironi, atau sarkasme.
“Kalau kamu siap hidup sama cewek yang bisa ngamuk soal margin 0,5 cm... ya, aku mau.”
---
Akhir cerita…
Mereka gak langsung nikah seminggu kemudian.
Gak ada pelaminan super heboh.
Tapi ada kehidupan yang mereka bangun bareng.
Dengan desain rumah yang warnanya hasil debat panjang,
Dengan kucing bernama “Fonto”,
Dan dengan tumpukan komik yang terus bertambah —
yang semuanya punya satu tokoh utama: Tika-Tika Boom,
dan satu sidekick setia: Rano, si cowok ngeselin yang tahu caranya bertahan di hati pahlawan paling keras kepala sedunia.
---
💌 THE END 💌