Aku Nizwa. Anak kedua dari empat bersaudara. Katanya, anak tengah itu paling bisa nyimpan perasaan, ya? Mungkin itu benar. Karena sampai sekarang, nggak ada yang tahu, bahwa sebulan sebelum hari yang seharusnya jadi hari paling bahagia dalam hidupku, semuanya hancur.
Semua berawal saat aku dan Bang Fadly, begitu aku memanggilnya. Tunangan aku waktu itu, kita lagi sibuk-sibuknya buat ngurusin persiapan pernikahan. Kita juga udah booking gedung, fitting baju, bahkan udah nyiapin nama anak kalau nanti dikasih rezeki cepat. Tapi entah kenapa, sebulan sebelum hari itu tiba, Bang Fadly berubah.
Bang Fadly jadi dingin. Chatku jarang dibalas. Telepon nggak diangkat. Aku sempat mikir mungkin dia cuma lagi stres karena kerjaan atau pernikahan. Tapi ternyata, yang sebenarnya terjadi jauh lebih nyakitin dari itu.
Dia pergi. Bukan karena meninggal, bukan karena gagal di medan perang karena tugas negaranya. Dia pergi karena katanya, dia “nggak yakin bisa bahagiain aku.” Klise banget, kan?
Padahal faktanya, dia kembali dengan masa lalunya. Hubungan lima tahun kami berasa nggak ada artinya buat dia.
Lima tahun. Kalian bayangkan udah selama apa hubungan kami. Berhubungan jarak jauh atau LDR saja kami sanggup, karena dulu Bang Fadly harus satgas di Papua. Bumi Cenderawasih menjadi saksi bagaimana dua orang yang saling mencintai harus berjauhan dengan jarak dan berkelahi dengan jaringan internet yang tidak stabil.
Aku pikir itu jadi ujian terberat dalam hidupku. Tapi ternyata, hidup punya episode lanjutannya.
Aku cuma bisa diam menatap layar ponsel yang masih menyalah. Rasanya dadaku sesak. Aku bahkan nggak bisa nangis waktu itu. Karena otakku sibuk mikir… salahku di mana? Aku kurang apa?
Beberapa hari setelah Bang Fadly menghilang dari hidupku, Ayah jatuh sakit. Ayah adalah sosok tangguh. Bekerja sebagai sopir, bawa mobil sendiri, antar barang dan kadang juga orang, dari subuh sampai malam. Usianya memang udah kepala lima, tapi semangatnya kayak anak muda. Nggak pernah mengeluh. Tapi waktu itu... Ayah pingsan di jalan saat sedang mengantar pesanan.
“Stroke ringan, Bu. Tapi harus dirawat intensif. Jangan dibiarkan kerja dulu,” kata dokter waktu itu. Bunda, yang juga seorang guru, langsung pucat. Tangannya gemetar menahan shock.
Kami bukan keluarga kaya. Gaji Bunda guru PNS biasa. Aku pun guru honorer, masih belum ada SK tetap. Abangku, Bang Nanda, seorang polisi, tapi sedang dinas di luar kota dan belum bisa pulang. Adikku yang ketiga lagi kuliah semester satu, dan si bungsu baru kelas sebelas SMA.
Tabungan? Habis untuk persiapan pernikahanku kemarin. Dan itu pun, udah dibalikin semua ke pihak Bang Fadly. Jadi ya… kami mulai dari nol lagi.
Malam-malam kami berubah. Bunda tetap ngajar, tapi tiap pulang langsung ke rumah sakit. Aku ambil cuti, gantian jagain Ayah. Rumah kami jadi sepi, tapi juga berat. Setiap malam, aku denger Bunda nangis pelan di kamar rawat Ayah. Adik-adikku mulai ikut bantu sebisanya. Tapi semua tahu, ini terlalu berat untuk kami.
Dan aku? Aku belum sempat sembuh dari patah hati. Rasanya kayak luka demi luka datang silih berganti. Tapi aku tetap diam. Karena kalau aku juga roboh, siapa yang bakal berdiri? Siapa yang bakal bantuin Bunda? Siapa yang bakal ngingetin adik-adik supaya jadi anak baik yang penurut?
Suatu malam di rumah sakit, Ayah manggil aku pelan.
“Wa… Ayah minta maaf, ya. Kalau Ayah nanti nggak bisa lihat kamu pakai baju pengantin.”
Aku tersenyum, nahan air mata agar tidak menangis didepan Ayah.
“Yah… Nizwa nggak apa-apa. Nggak jadi nikah juga nggak apa-apa. Tapi Ayah harus sehat. Nanti Nizwa pakai baju pengantin khusus buat Ayah, biar Ayah lihat sendiri gimana cantiknya anak Ayah ini.”
Ayah ketawa kecil. Tapi senyum itu lemah sekali. Aku tahu, Ayah sedang menahan sakit yang luar biasa.
Seminggu kemudian, Ayah boleh pulang. Tapi kondisinya menurun. Dokter bilang, harus banyak istirahat. Kami mulai mengatur keuangan buat terapi, beli obat, sewa perawat. Rumah kami seperti berubah jadi ruang rawat intensif.
Tapi… ternyata waktu Ayah nggak lama.
Sore itu, aku mendengar tangisan Bunda dari dalam kamar. Posisi Ayah yang tidur di pangkuan Bunda sambil menggenggam erat tangan wanita yang ia cintai. Ayah sudah tak bernyawa. Ayah pergi untuk selama-lamanya ke pangkuan sang pencipta di pangkuan kekasih sehidup sematinya.
Aku… tidak bisa teriak. Tidak bisa menangis. Bahkan untuk berjalan ke tempat tidur saja, kakiku gemetar.
Ayah benar-benar pergi. Dan aku… nggak sempat pamit. Nggak sempat peluk sekali lagi. Nggak sempat bilang kalau aku masih ingin dia ada, paling tidak… sampai lukaku yang lain sembuh.
Aku nggak nangis saat itu. Nggak juga nangis saat Ayah dimandiin, atau saat Ayah dikubur. Tapi malam harinya, pas aku duduk sendiri di kamar, aku peluk bantal yang sering dipakai Ayah dan nangis sejadi-jadinya. Rasanya kayak ada lubang besar yang nggak akan pernah ketutup.
Ternyata, kehilangan itu nggak cuma soal perpisahan dengan pasangan. Tapi juga soal kehilangan orang yang selama ini jadi tiang hidup. Dan tiang itu… tiba-tiba roboh.
Pemakaman berjalan dengan tenang. Bang Nanda akhirnya pulang. Dia menahan tangis, memeluk kami satu per satu. Rumah kami ramai oleh pelayat, tapi setelah itu, sunyi yang tinggal.
Hanya ada kami berlima.
Duka tidak langsung pergi. Kami semua seperti kehilangan arah. Tapi justru di titik paling rapuh itu, kami saling merangkul. Bunda mulai sering bercerita setiap malam. Adik-adikku jadi lebih terbuka. Bang Nanda sering pulang tiap ada libur. Dan aku? Aku mulai belajar menerima.
Bukan karena aku kuat. Tapi karena Ayah pernah bilang, “Orang yang kuat bukan yang nggak pernah jatuh, tapi yang tahu kapan harus bangkit.” Dan aku percaya, Ayah masih mengawasiku dari tempat terbaiknya.
"Iya kan, Yah?"
Sekarang, hidup kami perlahan kembali berjalan. Aku kembali mengajar. Bunda tetap semangat, walau rambutnya makin banyak putihnya. Adikku yang kuliah mulai ikut bantu jualan online temannya, dan si bungsu rajin ikut lomba demi beasiswa.
Kami tidak sepenuhnya baik-baik saja. Tapi kami tidak saling membiarkan hancur sendirian. Kami saling memeluk, saling menjaga, saling mengingatkan.
Karena satu hal yang pasti, kehilangan memang tidak bisa dihindari. Tapi cinta keluarga… selalu bisa jadi pelukan terhangat yang tersisa.
Dan Ayah…
Terima kasih atas pelukan terakhirmu, meski kau pergi terlalu cepat.
Aku nggak pernah nyangka, semuanya bakal berubah secepat ini. Padahal dulu… hidupku baik-baik aja. Aku punya orang tua yang selalu dukung apapun keputusanku, dan seorang kekasih yang rencananya bakal jadi suami dalam waktu sebulan lagi. Tapi mungkin, hidup memang suka bercanda.
Dan meskipun Ayah udah nggak ada secara fisik, tapi aku tahu… pelukannya nggak pernah benar-benar pergi.