Tokoh utama:
Salwa Nazeera – cewek introvert, hobi menggambar langit, punya trauma masa lalu, murid pindahan dari kota kecil
Alano Zharfan – cowok populer di sekolah, cuek dan misterius, tapi diam-diam suka mengamati Salwa
Nayaka – sahabat Salwa yang diam-diam menyukai Salwa sejak SMP
---
Cerita:
Langit sore di belakang sekolah selalu jadi tempat pelarian Salwa. Di sana, ia menggambar awan-awan seolah menyimpan rahasia yang tak bisa diucapkan.
"Sendirian terus, Nazeera?" Sebuah suara berat tapi santai terdengar. Salwa menoleh. Alano Zharfan, si cowok populer yang katanya nggak pernah peduli sama siapa pun, berdiri di belakangnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Salwa hati-hati.
"Harusnya aku yang tanya. Tempat ini kan biasanya sepi." Alano duduk di sampingnya, tanpa izin. Salwa diam saja, tapi tangannya tetap menggambar.
"Langit itu nggak pernah sama. Hari ini warnanya lebih kalem," gumam Salwa.
Alano menoleh, memperhatikannya. "Kamu suka langit ya?"
Salwa mengangguk. "Langit nggak pernah menghakimi. Dia cuma ada."
Mereka diam sebentar. Tapi sejak sore itu, langit tak pernah jadi milik Salwa sendiri lagi. Alano mulai muncul. Entah kenapa, dia selalu tahu saat Salwa butuh tempat sunyi.
Hari demi hari, mereka semakin sering duduk bersama, tanpa banyak bicara. Tapi tatapan Alano mulai berubah. Matanya yang biasanya datar, jadi hangat tiap kali memandang Salwa.
Suatu hari, Nayaka datang menghampiri Salwa saat istirahat. "Kamu makin sering bareng Alano, ya?"
Salwa tersenyum kecil. "Dia cuma suka tempat yang sama kayak aku."
Nayaka menatapnya lama, lalu berkata, "Kalau suatu hari kamu tahu sesuatu tentang dia, jangan kaget, ya. Dia bukan seperti yang kamu kira."
Salwa bingung, tapi Nayaka pergi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut.
Malamnya, Salwa membuka pesan anonim di email lamanya—satu yang sudah lama dia tak pakai sejak pindah kota. Pesannya hanya satu baris:
“Kamu harus tahu kenapa Alano suka langit.”
Salwa jadi gelisah. Esoknya, ia bertanya langsung pada Alano, “Kenapa kamu suka langit?”
Alano terdiam lama. “Karena langit adalah satu-satunya tempat yang aku lihat terakhir kali… sebelum ayahku pergi.”
Salwa menatapnya, terkejut. “Pergi ke mana?”
Alano menatap langit sore itu. “Dia pergi… selamanya. Bunuh diri dari atap rumah. Dan yang kulihat malam itu cuma langit—gelap, nggak ada bintang.”
Seketika, Salwa merasa dunia runtuh.
Ia memegang tangan Alano pelan. “Aku juga kehilangan ibu. Di malam hujan, waktu dia bilang cuma keluar sebentar. Tapi yang datang malah kabar dari rumah sakit.”
Dua hati yang terluka duduk bersebelahan. Tak banyak kata, tapi luka mereka seperti saling mengenal.
Dan saat langit berubah jadi ungu muda dengan semburat jingga, Salwa berkata, “Tapi lihat, langit sore hari ini… indah, ya?”
Alano menoleh dan untuk pertama kalinya tersenyum, "Iya, indah banget. Tapi bukan karena langitnya—karena kamu ada di sini.”
---
•Bab 2: Rahasia yang Dititipkan Langit
Setelah sore itu, Salwa dan Alano semakin sering bertemu di tempat langganan mereka: atap belakang sekolah yang penuh debu, tapi menyimpan langit paling luas.
Namun kali ini, suasananya berbeda. Salwa mulai memperhatikan cara Alano melihatnya. Bukan seperti melihat teman. Lebih dari itu—seperti seseorang yang takut kehilangan.
“Kenapa kamu selalu kelihatan sedih setelah lihat langit?” tanya Salwa pelan suatu sore.
Alano menjawab dengan suara rendah, nyaris berbisik, “Karena langit nyimpan semua yang aku pengen lupakan.”
Salwa menggigit bibirnya. Ia tak bertanya lebih jauh. Tapi ia tahu, semakin ia dekat dengan Alano, semakin besar rasa takut yang tumbuh: takut mengetahui semuanya.
Keesokan harinya, Nayaka kembali menghampiri Salwa. Kali ini wajahnya serius.
“Kamu harus berhenti ketemu Alano,” katanya tegas.
Salwa mengerutkan alis. “Kenapa?”
“Karena dia… bisa menghancurkan kamu.”
“Kamu nggak kenal dia.”
Nayaka tertawa miris. “Justru karena aku kenal dia, Sal. Kami satu tempat terapi dulu. Setelah… insiden ayahnya, dia sempat masuk observasi kejiwaan. Kamu tahu apa yang dia lakukan waktu pertama kali datang?”
Salwa menggeleng.
“Dia nyoba lompat dari balkon lantai 3 rumah sakit. Sama kayak ayahnya.”
Darah Salwa serasa membeku.
“Dan kamu pikir… aku bisa meninggalkan dia sekarang?” gumam Salwa, hampir tak terdengar.
Malamnya, Salwa duduk sendiri di kamarnya. Di tangannya ada sketchbook. Ia menggambar langit seperti biasa, tapi kali ini, ada satu siluet kecil berdiri di bawahnya. Sosok Alano. Dan di sebelahnya, sosok dirinya sendiri.
Sebuah pesan masuk. Dari Alano.
> “Besok, datang ke tempat biasa. Aku mau tunjukin sesuatu.”
---
Keesokan harinya, Salwa naik ke atap lebih dulu. Langit hari itu redup, warna birunya pudar, seolah ikut merasa gelisah seperti dirinya.
Tak lama, Alano muncul—membawa sebuah kotak kecil dari kayu. “Ini… punya ayahku. Aku baru berani buka dua minggu lalu.”
Ia duduk di samping Salwa, membuka kotaknya perlahan. Di dalamnya ada benda-benda aneh—foto-foto langit, kertas puisi yang ditulis tangan, dan sebuah rekaman suara dalam tape kecil.
Alano menatap Salwa. “Kamu mau dengar?”
Salwa mengangguk.
Suara lelaki terdengar—dalam dan tenang, tapi penuh luka. “Untuk anakku, Alano… maaf, langit yang kupandangi selama ini terlalu gelap buat kuterangi sendirian. Tapi kamu, kamu harus cari langitmu sendiri—yang cerah, yang nggak seperti milikku…”
Salwa menahan napas. Ia bisa merasakan luka di balik suara itu.
Setelah rekaman berakhir, Alano menatap Salwa. “Dulu aku pikir aku harus nyusul dia. Tapi sekarang, aku mulai mikir… mungkin aku bisa bikin langit versiku sendiri.”
Salwa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Dan mungkin… aku bisa bantu kamu warnai langit itu.”
Alano tersenyum, pertama kalinya tanpa beban. “Aku suka langit sekarang, Salwa. Soalnya… warnanya kayak kamu.”
•Bab 3: Hati yang Tak Punya Kompas
Sejak mendengar rekaman suara ayah Alano, hati Salwa tak bisa tenang. Ada bagian dirinya yang ingin menjaga Alano, tapi juga bagian lain yang takut—takut tersesat dalam luka yang bukan miliknya.
Namun, langit tak pernah berhenti berganti warna, dan begitu juga perasaan manusia.
Hari itu, saat Salwa keluar dari kelas, Nayaka sudah menunggunya di depan gerbang sekolah.
“Aku antar pulang,” katanya.
Salwa ragu. Sejak pembicaraan terakhir mereka, jarak di antara mereka terasa makin dingin.
Tapi akhirnya ia mengangguk. Mereka berjalan kaki, seperti dulu. Diam-diam, Salwa mengingat masa SMP mereka. Saat Nayaka membantunya saat Salwa dibully karena dianggap “aneh”. Saat Nayaka duduk diam di sebelahnya tanpa menghakimi, sambil menggambar tokoh anime di buku matematika mereka.
“Sal…” suara Nayaka pelan, hampir ragu. “Aku tahu kamu lagi dekat sama Alano. Tapi… pernah nggak kamu tanya ke dirimu sendiri, kamu beneran suka dia? Atau cuma pengen nyembuhin dia?”
Langkah Salwa terhenti.
“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Tapi aku tahu… dia bikin aku merasa dilihat. Didengar.”
Nayaka mengangguk pelan, seperti sudah menduga jawabannya. Tapi ia melanjutkan, “Kamu tahu nggak? Aku juga pernah pengen kamu lihat aku kayak gitu.”
Salwa menoleh, matanya melebar. “Nay…”
“Aku cuma… nggak pengen kamu hancur karena seseorang yang belum tentu bisa utuhin dirinya sendiri.”
Mereka terdiam. Tapi kata-kata Nayaka tinggal di kepala Salwa sampai malam.
---
Esok paginya, Salwa menemukan sebuah surat kecil di laci mejanya di kelas. Tidak bertanda nama. Hanya secarik kertas dengan tulisan tangan:
> "Kalau kamu tahu kebenaran tentang Alano, masihkah kamu mau berdiri di sampingnya?"
Jantung Salwa berdegup cepat. Ia memandang sekeliling kelas. Tidak ada yang memperhatikannya.
Hari itu, Alano tidak muncul di atap belakang sekolah. Salwa menunggunya hingga matahari tenggelam. Tapi tak ada jejaknya.
---
Malamnya, Alano baru mengirim pesan.
> “Maaf nggak bisa datang. Aku harus ke tempat lama. Kalau kamu penasaran… temui aku di sana. Jalan Raya Damar 11. Pukul 7 malam. Sendiri.”
Salwa ragu. Tapi ia tahu, hatinya sudah terlalu jauh berjalan untuk mundur sekarang.
Setiba di sana, tempat itu ternyata adalah rumah lama Alano. Rumah peninggalan ayahnya. Sudah lapuk dan berdebu, seperti kenangan yang dilupakan dengan sengaja.
Salwa masuk perlahan. Alano menunggunya di ruang tamu, duduk di lantai, di bawah langit-langit yang sudah bocor.
“Ayahku pernah bilang… ada dua jenis langit. Langit yang jadi tempat sembunyi, dan langit yang jadi saksi terakhir. Aku masih belum tahu… kamu termasuk yang mana, Salwa.”
Salwa duduk di sampingnya. “Kalau aku langit tempat sembunyi, maka tetaplah tinggal. Tapi kalau aku saksi terakhirmu, maka biar aku jadi yang menahanmu sebelum kamu jatuh lagi.”
Alano menoleh. Tatapannya tajam—penuh luka, tapi juga harapan.
Dan di detik itu juga, langit di luar jendela yang pecah berubah warna. Gradasi ungu dan jingga menyatu seperti lukisan hidup.
Mereka hanya duduk berdua, tapi tak lagi merasa sendiri.
•Bab Terakhir: Langit Itu Bernama Kamu
Sudah tiga bulan sejak malam itu di rumah tua. Sejak Salwa berkata, “Biar aku jadi yang menahanmu sebelum kamu jatuh lagi,” Alano mulai berubah perlahan.
Ia kembali ke sekolah, mengikuti terapi dengan kesadaran sendiri, bahkan mulai tersenyum—meski masih jarang.
Dan Salwa? Ia tetap menjadi langitnya. Tak selalu cerah, tapi selalu ada.
Namun, hidup tak pernah berjalan semulus lukisan awan.
Suatu sore yang mendung, Salwa menerima pesan dari Nayaka. Isinya singkat, tapi menghentak:
> “Alano kabur dari rumah sakit tadi pagi. Dia ninggalin surat buat kamu.”
Dengan napas tak teratur, Salwa segera pergi ke atap belakang sekolah. Tempat mereka pertama kali bicara. Dan benar, di sana ada selembar kertas di bawah batu kecil.
Salwa membuka pelan, tangannya gemetar.
---
Surat Alano:
> Salwa Nazeera…
Kalau kamu baca ini, berarti aku sedang ada di tempat yang kamu tahu. Langit kita.
Aku nggak kabur. Aku cuma mau bilang sesuatu tanpa suara orang lain.
Aku pernah pengen mati karena ngerasa nggak ada yang lihat aku.
Tapi kamu datang. Duduk di sampingku, nggak tanya macam-macam, tapi matamu kayak cermin. Aku lihat diriku di sana, versi yang pengen hidup.
Aku cinta kamu, Sal. Tapi aku juga tahu cinta bukan pelampung buat orang tenggelam.
Jadi hari ini, aku mau belajar berenang. Sendiri.
Kalau aku berhasil, aku bakal datang ke atap ini lagi. Tapi kalau nggak… setidaknya kamu tahu, aku pernah benar-benar bahagia di bawah langit bersamamu.
Terima kasih udah jadi langitku.
—Alano
---
Salwa berlari. Ia tahu ke mana harus pergi.
Jembatan besar di ujung kota. Tempat ayah Alano mengakhiri hidupnya.
Langit gelap. Awan tebal menggantung seperti batas antara hidup dan mati. Tapi di ujung jembatan, Salwa melihatnya.
Alano berdiri di tepi, wajahnya menengadah ke langit.
“ALANO!” teriak Salwa.
Alano menoleh. Hujan mulai turun.
“Kamu datang…” gumamnya.
Salwa menghampirinya perlahan. “Kamu udah janji. Kamu mau hidup.”
Alano tersenyum kecil, tapi matanya basah.
“Aku takut, Sal…”
Salwa memegang tangannya. “Semua orang takut. Tapi nggak semua orang punya seseorang buat menggenggam mereka waktu takut.”
Dan saat itu, hujan turun deras. Tapi Alano melangkah mundur dari tepi jembatan.
Ia menangis di pelukan Salwa.
Bukan karena lemah. Tapi karena bertahan.
---
Epilog
Setahun kemudian.
Salwa duduk di atap belakang sekolah. Di tangannya, sketchbook terbuka, menampilkan lukisan langit sore yang indah.
Alano duduk di sebelahnya. Tangannya memegang tangan Salwa.
“Kamu tahu,” kata Alano, “langit nggak cuma tentang cuaca. Tapi tentang perasaan. Dan setiap kali aku lihat langit sekarang…”
Ia menoleh.
“...yang kulihat cuma satu nama. Salwa Nazeera.”
Salwa tersenyum. “Langit itu… udah bukan tempat sembunyi lagi.”
Alano mengangguk. “Karena sekarang, langit itu rumah.”
---
TAMAT.