Aira mengacak rambutnya frustasi. "Mauren, aku nggak ngerti! Kenapa Rangga malah milih Salsa daripada aku?" Air matanya mengancam jatuh. Mereka duduk di bangku taman kampus, sore itu terasa begitu berat bagi Aira.
Mauren, sahabat setia Aira, merangkulnya. "Tenang, Ra. Mungkin ada alasannya. Jangan langsung berburuk sangka."
Aira menggelengkan kepala. "Alasan apa lagi? Salsa cantik, populer, dan pintar. Sedangkan aku...aku biasa saja." Dia menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Jangan ngomong gitu! Kamu cantik, Ra. Cuma kamu terlalu fokus ke kekuranganmu sendiri," tegur Mauren. "Lagipula, kamu dan Rangga kan belum jadian. Mungkin dia memang tertarik sama Salsa dari awal."
Kenangan tentang Rangga dan Salsa berkelebat di pikiran Aira. Senyum Rangga yang selalu tertuju pada Salsa, tatapan mata mereka yang penuh chemistry, membuat hati Aira semakin sesak. Mereka terlihat begitu serasi. Aira merasa dirinya hanya pengagum rahasia yang selalu berharap Rangga akan meliriknya.
"Tapi...aku suka Rangga, Mauren. Aku suka sejak semester satu," lirih Aira.
"Aku tahu, Ra. Dan aku yakin Rangga juga punya perasaan yang baik padamu, walaupun mungkin tidak seperti yang kamu harapkan." Mauren mengelus punggung Aira. "Ingat kejadian waktu itu? Waktu Rangga hampir jatuh dari tangga, kamu yang sigap menolongnya. Ekspresi wajahnya saat itu...tampaknya dia menghargai itu."
Aira terdiam, mengingat kejadian itu. Waktu itu Rangga memang terlihat berbeda, ada rasa terima kasih yang begitu dalam di matanya. Tapi kemudian, Salsa muncul dan mengalihkan perhatian Rangga.
Tiba-tiba Hesa, teman Rangga, datang menghampiri mereka. "Hai, Mauren! Aira?" sapanya.
Mauren tersenyum. "Hai, Hesa."
Aira hanya mengangguk lesu. Hesa tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Eh, Aira...gue sebenarnya mau minta maaf atas sikap Rangga selama ini. Dia... agak bingung, sebenarnya. Dia suka sama kamu, tapi dia takut untuk mengatakannya."
Aira tercengang. "Apa maksudmu?"
Hesa menghela napas. "Rangga itu orangnya agak cupu, Ra. Dia nggak pede untuk mengungkapkan perasaannya, apalagi Salsa ada di dekatnya. Dia malah jadi salah tingkah dan bersikap aneh. Dia suka melihat kamu yang selalu tersenyum dan menolong orang lain. Dia bilang, kamu itu tulus dan baik hati."
Jantung Aira berdebar kencang. Seketika itu juga, rasa frustasi dan sakit hatinya sedikit berkurang. Ada secercah harapan yang muncul. Mungkin, ada kesempatan untuknya.
"Terus... Salsa?" tanya Aira, masih sedikit ragu.
"Salsa? Dia cuma teman biasa, kok. Rangga nggak ada hubungan spesial sama Salsa," jawab Hesa.
Aira tersenyum tipis. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah cerita baru. Cerita tentang dirinya dan Rangga. Cerita yang selama ini ia impikan. "Terima kasih, Hesa," katanya lirih. Ada harapan baru yang berkobar dalam hatinya. "Dia? Mengapa harus dia? Mungkin, karena aku?" gumamnya dalam hati.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Aira. Meskipun ia masih sedikit ragu, namun benih harapan yang ditanam Hesa perlahan-lahan tumbuh subur. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang selama ini terlewatkan. Senyum Rangga yang terkadang ia tangkap, tatapan mata Rangga yang sebentar namun penuh arti, dan beberapa kali Rangga secara tidak sengaja menyenggol tangannya, seolah-olah tanpa sengaja ingin menyentuh.
Suatu sore, setelah selesai kuliah, Aira bertemu Rangga di perpustakaan. Mereka berdua sama-sama meminjam buku yang sama, sebuah buku novel bergenre romantis. Saat akan meninggalkan perpustakaan, Rangga tiba-tiba memanggilnya.
"Aira," panggil Rangga, suaranya sedikit gugup.
Aira menoleh, jantungnya berdebar tak karuan.
Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal. "A-aku...aku mau minta maaf. Aku...aku selama ini bodoh. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku." Ia mengambil napas dalam-dalam. "Aira, aku suka sama kamu. Lebih dari sekedar teman."
Aira terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Air matanya kembali mengancam jatuh, namun kali ini, air mata bahagia.
Rangga meraih tangan Aira. "Aku tahu, mungkin aku bukan yang terbaik. Tapi aku berjanji akan selalu ada untukmu, selalu menjagamu, dan selalu membuatmu bahagia."
Aira tersenyum, air matanya jatuh membasahi pipinya. "Aku juga suka kamu, Rangga," katanya lirih, suara sedikit bergetar. "Aku juga...menunggu kamu."
Mereka saling memandang, sebuah senyuman tulus terukir di bibir mereka. Di bawah langit senja yang indah, Aira dan Rangga akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan "Dia? Mengapa harus dia?!?" Jawabannya sederhana, karena memang seharusnya mereka bersama. Karena takdir telah mempertemukan mereka, dan menuntun mereka untuk saling menemukan cinta. Cinta yang selama ini terpendam, kini akhirnya terungkap. Dan kini, tak ada lagi keraguan, hanya ada kebahagiaan yang terpancar dari kedua mata mereka. Mulai saat itu, Aira dan Rangga pun memulai lembaran baru dalam kisah cinta mereka. Mereka belajar untuk saling memahami, saling mendukung, dan saling menyayangi, bersama-sama melewati suka dan duka kehidupan kampus dan masa depan mereka.