Langit malam itu berwarna ungu tua, seakan langit menyimpan rahasia besar yang siap dibisikkan angin pada siapa pun yang mau mendengar. Tapi tidak semua orang bisa mendengar. Hanya mereka yang pikirannya howling—melolong dalam diam, seperti suara serigala di padang salju sunyi.
Namanya Aira. Usianya baru tiga tahun, tapi pikirannya seperti galaksi kecil—penuh bintang, suara, dan warna yang belum tentu bisa dijelaskan. Ia lebih suka berbicara dengan robot-robot kecilnya ketimbang menjawab pertanyaan orang dewasa. Bila ditanya, ia diam. Tapi bila menyanyi, ia menyentuh langit.
Di dalam kamarnya, Aira sering berjalan jinjit, tubuh mungilnya melayang seakan menolak gravitasi. Ia bisa menghitung, mengeja, bahkan bernyanyi dalam bahasa Inggris dengan nada yang nyaris sempurna. Tapi ketika diajak ke taman, Aira justru seperti kehilangan keseimbangan. Dunia luar terlalu bising, terlalu cepat, terlalu… aneh.
Malam itu, hujan turun pelan. Aira duduk di sudut kasur, memeluk robot kecil yang diberi nama “Tomo.”
“Aira, tidur, yuk,” ajak ibunya lembut.
Aira menoleh sebentar. “Mom, can you hear it?”
“I hear the rain.”
“No, the howl... inside.”
Ibunya terdiam. Aira menatap ke arah jendela, lalu ke langit.
Di sudut kamar, Aira duduk memeluk lututnya. Lampu redup menyorot bayangan tubuh mungilnya ke dinding. Di sekelilingnya, robot-robot kecil tersusun rapi. Ia tidak sedang menangis, tapi wajahnya terlihat berat, seperti ada badai yang berputar di dalam kepalanya.
“Mom…” katanya pelan, “…my brain is loud again.”
Ibunya mendekat dan duduk di lantai, sejajar dengannya.
“Apa yang Aira dengar?” tanya sang ibu dengan lembut.
Aira menutup matanya. “It’s like... howling. Like a wolf… but it’s not scary. Just… loud. In here.” Ia menunjuk kepalanya.
Ibunya terdiam. Bukan karena tak mengerti, tapi karena mengerti terlalu dalam. Aira selalu begitu. Tidak menangis keras saat sedih, tapi pikirannya melolong dalam diam.
“Ibu juga kadang dengar suara itu,” jawab ibunya, “Tapi ibu belajar mendengarnya seperti musik, bukan monster.”
Aira mengerutkan kening. “How?”
Ibunya tersenyum. “Dengan bernapas. Dengan menyanyi. Dengan pelan-pelan bilang: ‘It’s okay. You are safe. I’m listening.’”
Aira memejamkan mata lagi. Kali ini, lebih tenang.
“I’m listening,” bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, lolongan di pikirannya mulai mereda.
Diam… bukan karena hilang, tapi karena akhirnya didengar.
“Aku dengar lagi, Mom,” bisik Aira keesokan paginya.
Ibunya menghentikan lipatan baju dan menoleh. Aira berdiri di ambang pintu kamar, rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama. Robot Tomo digenggam erat.
“Kapan mulai berisiknya?” tanya ibunya pelan.
Aira memejamkan mata. “Sejak bangun. Tapi semalam sempat tenang… pas aku bilang ‘I’m listening.’”
Ibunya tersenyum tipis. Ia tidak butuh penjelasan ilmiah. Yang ia butuhkan hanya menemani.
“Ayo duduk di luar. Dengar burung. Dengar angin,” ajaknya.
Mereka duduk di teras. Aira tidak bicara, hanya mengangguk pelan. Ia menyentuhkan telapak kakinya ke lantai semen yang masih dingin. Di kejauhan, suara motor, ayam, dan angin membentuk orkestrasi pagi yang tidak selalu nyaman. Tapi Aira mencoba.
“Mom…” gumamnya lagi, “Kalau otak kita bisa howling, apa itu artinya dia punya suara sendiri?”
Ibunya menoleh cepat. “Menurut Aira?”
Aira berpikir. “Mungkin dia cuma minta didengar. Bukan dimarahin. Bukan disuruh diam.”
Lalu ia berdiri, tangan masih memegang Tomo, dan menatap ke langit.
“Aku mau ngajak otakku temenan,” katanya.
“Bagaimana caranya?” tanya ibunya.
“Mulai dengan bilang: ‘Kamu nggak aneh. Kamu ajaib.’”
Ibunya mengangguk. Aira mungkin baru tiga tahun, tapi pikirannya sudah berlari ke tempat-tempat yang belum pernah dijelajahi siapa pun.
Dan sejak pagi itu, setiap kali suara-suara itu datang melolong di dalam kepala Aira, ia tidak lagi takut. Ia akan berhenti, mendengarkan, lalu berkata:
> "Aku dengar kamu. Kamu nggak sendiri. Kamu ajaib."
“Anak Itu Masuk ke Dalam Kepalanya Sendiri”
Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Tapi bukan karena takut atau gelisah. Ada sesuatu yang memanggilnya — bukan suara dari luar, tapi dari dalam.
Saat ia memejamkan mata, terasa seperti ada pintu kecil yang terbuka di belakang kelopak matanya. Perlahan, ia terbang. Tubuhnya melayang ringan, dan saat ia membuka mata kembali… ia berada di tempat yang lain.
Langitnya berwarna biru pekat, tapi berbintang terang. Tanahnya lembut seperti bantal. Aira berdiri di tengah hutan yang aneh — pohon-pohonnya seperti kabel-kabel berpijar dan akar-akarnya berdenyut seperti nadi.
Tiba-tiba terdengar lolongan. Dalam.
Panjang.
Sunyi.
Seekor serigala muncul dari balik kabut. Tapi ini bukan serigala biasa. Tubuhnya seperti kabut bercahaya, matanya besar dan penuh… kesedihan?
“Siapa kamu?” tanya Aira pelan.
“Aku…” serigala itu menghela napas, “...adalah suara yang kamu dengar setiap malam. Aku yang melolong di dalam kepalamu.”
Aira menatapnya tanpa takut. “Kenapa kamu sedih?”
“Aku tidak pernah dimengerti. Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu tidak sendiri. Tapi aku selalu dianggap menakutkan.”
Aira mendekat, menyentuh bulunya yang terasa seperti angin hangat. “Aku dengar kamu. Sekarang.”
Serigala itu menunduk. Dan saat itu juga, tubuhnya mulai berubah — dari kelabu jadi biru cerah, dari bentuk yang melolong jadi bentuk yang tersenyum.
“Kamu berhasil masuk ke pikiranmu sendiri, Aira,” katanya. “Dan kamu tidak sendirian. Ada banyak hal di sini yang menunggumu.”
Dari balik pohon, muncullah makhluk lain:
Seekor burung kuning kecil dengan suara cerewet — si Cemas
Seekor boneka besar seperti beruang yang suka menangis — si Kesepian
Dan cahaya melayang yang terus bergerak tanpa arah — si Bingung
Mereka semua datang dan duduk mengelilingi Aira. Tidak ada yang menyeramkan. Semuanya hanya ingin didengar.
Aira duduk di tengah-tengah mereka dan berkata:
> “Mulai malam ini, aku teman kalian. Aku nggak akan suruh kalian diam. Tapi kita belajar tenang bareng-bareng, ya?”
Makhluk-makhluk itu mengangguk. Serigala itu melolong pelan, tapi kali ini seperti lagu pengantar tidur.
Dan saat Aira bangun keesokan paginya, ia masih memegang robot Tomo…
…dan di dalam hatinya, semuanya terasa jauh lebih tenang.