Hujan lebat mengguyur Kota Raya, membasahi jalanan aspal dan memantulkan lampu-lampu neon yang buram. Di dalam apartemennya yang hangat, Bima menatap lukisan yang baru saja ia beli dari sebuah pameran seni unik di pinggiran kota. Ia memang punya selera aneh pada karya-karya yang menantang nalar, dan lukisan ini... ini adalah yang paling aneh. Lukisan itu kini bersandar di dinding ruang tamunya, memancarkan aura ganjil yang tak bisa ia jelaskan, namun entah mengapa, terasa begitu memikat sekaligus meresahkan.
Itu adalah potret seorang anak perempuan, mungkin sekitar delapan tahun, dengan gaun putih yang lusuh. Rambutnya panjang terurai menutupi sebagian wajah, dan matanya... mata itu adalah yang paling mengerikan. Pupilnya hitam pekat, nyaris tanpa pantulan cahaya, seolah menelan semua kegelapan di sekitarnya. Bibirnya pucat, sedikit ternganga, seperti hendak mengeluarkan bisikan yang terputus.
Bima merasakan bulu kuduknya meremang setiap kali pandangannya jatuh ke lukisan itu. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang sangat tidak wajar. Namun, rasa penasaran yang aneh, didorong oleh insting gelap yang tak ia mengerti, terus menariknya. Ia mendekat, tangannya gemetar saat ia mengulurkan jari, perlahan menyentuh bingkai kayu yang terasa dingin, seolah membeku.
Tiba-tiba, ia merasakan tarikan lembut dari dalam lukisan, seolah ada tangan kecil yang dingin menarik ujung jemarinya. Aroma tanah basah dan lumut yang menusuk hidung memenuhi kamar apartemennya yang modern. Hawa dingin yang tadinya hanya dari jendela yang terbuka kini terasa seperti embusan napas di lehernya. Pandangannya kabur, dan ia mendengar bisikan lirih, seolah namanya dipanggil dari tempat yang sangat jauh. Gemuruh hujan di luar mendadak terasa senyap, digantikan oleh suara-suara aneh dari dalam.
Ketika pandangannya kembali jernih, Bima merasakan tubuhnya limbung. Ia jatuh berlutut di atas tanah yang lembap, dingin, dan berbau busuk. Cahaya di sekelilingnya redup, hanya berasal dari celah-celah dinding batu yang berlumut. Ia tahu ia tidak berada di apartemennya lagi. Udara terasa berat, dipenuhi aura keputusasaan yang mencekik. Ia mencium bau yang tak asing - bau kematian.
Di depannya, berdiri sosok anak perempuan dari lukisan itu. Gaun putihnya kini tampak kotor dan robek, menampakkan kulit pucat yang tertutup bercak-bercak aneh. Rambutnya yang panjang terasa bergerak-gerak sendiri, seolah setiap helainya hidup. Namun, yang paling menakutkan adalah matanya. Pupil hitam pekat itu kini memantulkan bayangan Bima, seolah menelan keberadaannya. Dan dari bibir pucatnya, sebuah bisikan meluncur, nyaris tak terdengar, namun menggema di benak Bima.
"Kau datang..."
Bima mencoba berdiri, namun kakinya terasa lemas. Ia melihat sekeliling. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi lukisan-lukisan lain. Bukan kanvas biasa, melainkan seperti kulit yang dikeringkan, di atasnya terukir wajah-wajah yang memelintir kesakitan. Beberapa mata lukisan itu berkedip perlahan, seolah mereka masih hidup, terperangkap dalam siksaan abadi. Dari setiap lukisan itu, ia mendengar rintihan tipis, seperti jeritan yang tertahan.
"Kami menunggu," suara anak perempuan itu berbisik lagi, kini lebih dekat.
"Kami menunggu korban berikutnya."
Dari setiap lukisan di dinding, perlahan, siluet-siluet tipis mulai muncul. Mereka bukan lagi sekadar bayangan, melainkan bentuk-bentuk samar yang melayang di udara. Wajah mereka buram, tetapi Bima bisa merasakan tatapan mata kosong mereka yang penuh dendam. Mereka bergerak tanpa suara, mengelilinginya, aura dingin mereka membekukan setiap bagian tubuh Bima. Ia mencium bau busuk yang lebih pekat, campuran tanah, darah kering, dan sesuatu yang busuk tak terlukiskan.
"Kau akan menjadi kanvas baru," bisik anak perempuan itu, jari-jarinya yang kecil, pucat, dan dingin menyentuh pipi Bima. Sentuhan itu terasa seperti es yang membakar kulit.
"Kami akan berbagi penderitaan ini denganmu."
Bima membuka mulutnya untuk berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokannya terasa tersumbat, seolah ada sesuatu yang mencekiknya dari dalam. Ia mencoba melarikan diri, berlari ke dinding, menggedornya dengan putus asa. Namun, dinding itu terasa seperti batu nisan yang kokoh, tidak ada celah, tidak ada jalan keluar. Setiap inci dinding seolah menertawakan usahanya, membisikkan bahwa ia telah tiba di tujuan terakhirnya. Ia terperangkap dalam neraka ini, menjadi bagian dari koleksi horor yang bernapas.
Sosok anak perempuan itu kini berdiri tepat di hadapannya. Matanya yang hitam pekat menatap dalam ke mata Bima, seolah mencari-cari sisa-sisa jiwanya. Dari mulutnya yang ternganga, ia melihat kegelapan tak berdasar, seolah terhubung langsung dengan jurang neraka. Bisikan-bisikan dari lukisan lain semakin kencang, berubah menjadi ratapan dan tawa mengerikan.
"Nikmati abadi," bisik anak perempuan itu, sebelum kegelapan dari matanya melesat keluar, menelan Bima sepenuhnya. Ia merasakan rasa sakit yang luar biasa, seolah jiwanya ditarik paksa, direnggut dari raganya, dan kemudian, ia merasakan dirinya ditarik masuk ke dalam dinginnya kanvas.
Esok harinya, seorang tetangga yang kebetulan lewat menemukan pintu apartemen Bima sedikit terbuka. Hujan sudah reda, digantikan oleh udara segar Kota Raya. Ketika masuk, ia menemukan kamar Bima kosong melompong. Hanya ada satu hal yang tertinggal di dinding: sebuah lukisan potret seorang pria dewasa dengan mata yang kosong dan bibir yang sedikit ternganga, seolah hendak berteriak. Di sudut lukisan, dengan goresan kasar, tertulis, "Yang Berikutnya."
Sejak hari itu, lukisan itu berpindah tangan dari satu orang ke orang lain, selalu ditemukan di tempat-tempat tak terduga, seringkali di galeri seni alternatif yang baru muncul. Dan setiap kali lukisan itu berpindah, orang yang memilikinya akan menghilang tanpa jejak, digantikan oleh potret baru di kanvas yang sama, dengan mata yang semakin gelap dan kosong, menunggu mangsa berikutnya untuk menjadi bagian dari koleksi jiwa yang terperangkap dalam kengerian abadi.
Bisikan-bisikan dari dalam kanvas itu terkadang masih bisa terdengar, terutama di malam-malam hujan lebat di Kota Raya, seolah lukisan itu masih bernapas dan mencari jiwa baru. Dan di setiap tatapan mata kosong dari potret-potret itu, tersimpan jeritan yang tak akan pernah mati.