Langit di atas Kota Veridia selalu diselimuti kabut keperakan, lembut seperti selimut yang ditenun dari cahaya bulan. Di bawahnya, menara-menara batu putih menjulang, puncaknya menembus awan, dihubungkan oleh jembatan-jembatan gantung yang mendesah lembut ditiup angin. Namun, bagi Arion, pemandangan itu masih terasa asing, seindah apa pun. Ia merindukan langit biru cerah dan hiruk pikuk kotanya yang penuh deru kendaraan bermotor.
Arion, yang sebelumnya adalah seorang perancang grafis dengan hobi melukis pemandangan, terbangun di Veridia tanpa ingatan jelas tentang bagaimana ia sampai di sana—hanya bahwa ia ada. Yang ia tahu, di pergelangan tangannya kini terukir lambang spiral angin yang berpendar samar, dan ia memiliki kemampuan aneh, memanipulasi udara. Awalnya, hanya hembusan kecil, lalu angin sepoi-sepoi, hingga ia bisa menciptakan pusaran angin mini atau bahkan melayang beberapa inci dari tanah.
Ia ditemukan oleh seorang wanita tua bernama Lyra, seorang Penjaga Angin yang bijaksana, dengan rambut seputih awan dan mata setajam elang. Lyra menjelaskan bahwa Arion telah dipanggil ke Aeridor, dunia yang diberkahi oleh Elemen Angin. Namun, berkah itu kini memudar. Langit Aeridor, yang seharusnya biru jernih, semakin sering diselimuti kabut tebal yang tidak biasa, dan angin, yang menjadi napas kehidupan dunia ini, mulai melemah.
"Kau adalah Sang Penjelajah Angin yang Terpilih," kata Lyra dengan suara selembut hembusan.
"Hanya jiwa yang memiliki ikatan murni dengan angin yang bisa memulihkan kembali denyut nadi dunia ini. Kau adalah satu-satunya yang terpanggil dari dunia lain, sebuah anomali yang dinanti."
Arion masih kesulitan mencerna semua itu. Ia, seorang seniman yang lebih sering memegang kuas daripada pedang, kini diharapkan menjadi penyelamat dunia? Sebuah ironi yang pahit, namun juga menggelitik rasa ingin tahunya. Selama beberapa waktu, Arion belajar di bawah bimbingan Lyra. Ia mengasah kemampuannya, dari sekadar meniup daun hingga mengendalikan aliran udara untuk terbang dengan anggun di antara menara-menara Veridia. Ia juga belajar tentang sejarah Aeridor, tentang bagaimana angin adalah esensi kehidupan, membawa benih, membersihkan udara, dan menggerakkan kincir-kincir raksasa yang memberi energi pada kota-kota.
Namun, semakin ia belajar, semakin ia menyadari keparahan masalah yang dihadapi Aeridor. Kabut tebal itu bukan hanya fenomena alam; itu adalah manifestasi dari stagnasi energi angin, yang perlahan mencekik dunia. Tanaman-tanaman mulai layu karena kurangnya sirkulasi udara, bahkan embusan napas terasa lebih berat, seolah udara itu sendiri enggan masuk ke paru-paru. Rasa rindu Arion pada dunianya mulai bergeser, digantikan oleh kepedihan melihat Aeridor yang sekarat.
Suatu sore, saat ia melayang di atas Veridia, Lyra muncul di sampingnya, jubahnya berkibar ditiup angin yang diciptakan Arion.
"Pusat denyut nadi angin, Kristal Aether, terletak di dalam Kuil Langit, di puncak Pegunungan Nimbus," jelasnya.
"Tapi jalan menuju ke sana dijaga oleh makhluk-makhluk bayangan yang terbentuk dari stagnasi dan keputusasaan yang menggerogoti dunia ini."
Arion mengangguk, tatapannya menerawang ke arah pegunungan yang diselimuti kabut tebal. Ia sudah merasakan hawa berat dan suram di beberapa area, tempat makhluk-makhluk aneh seperti gumpalan kabut hitam atau bayangan berwujud burung raksasa berkeliaran. Keputusasaan Aeridor kini terasa nyata di pundaknya.
"Aku akan pergi," kata Arion, tekadnya kini mengeras, "Aku tidak tahu kenapa aku ada di sini, tapi aku tidak bisa membiarkan langit ini mati. Aku tidak bisa membiarkan dunia ini kehilangan napasnya."
Perjalanannya dimulai dari pinggiran Kota Veridia, di mana kabut keperakan yang biasa kini berubah menjadi kabut beku yang tebal dan menyesakkan. Lembah-lembah yang dulunya hijau kini diselimuti lapisan es tipis yang memantulkan cahaya redup, dan pohon-pohon menjulang seperti patung kristal yang pucat. Angin, yang seharusnya menjadi teman Arion, di sini terasa enggan berhembus, stagnan dan dingin, menusuk hingga ke tulang.
Ketika Arion melangkah lebih dalam, ia merasakan kehadiran pertama. Bukan monster biasa, melainkan Manifestasi Stagnasi, gumpalan-gumpalan kabut hitam yang bergerak lambat, menyeret diri, menyerap kehangatan dan kehidupan dari sekitarnya. Mereka tidak menyerang dengan fisik, melainkan dengan aura dingin yang mampu membekukan pikiran dan menguras energi, mencoba menarik Arion ke dalam keputusasaan yang sama.
Arion menarik napas dalam, memfokuskan kekuatannya. Ia membayangkan angin pembersih, pusaran mikro yang mengusir dingin. Dengan ayunan tangannya, ia menciptakan terowongan angin pribadi yang kecil, memungkinkan udara hangat dan segar mengalir melaluinya, menembus kabut beku yang mencekik. Manifestasi Stagnasi itu bergidik, mundur perlahan, tidak tahan dengan aliran energi positif yang ia ciptakan. Ia harus terus bergerak, menjaga terowongan angin itu tetap stabil, atau ia akan terjebak dalam kedinginan yang mematikan yang perlahan akan merenggutnya.
Setelah melewati lembah beku, Arion tiba di apa yang dulunya Hutan Lumina, kini dikenal sebagai Hutan Gema Bayangan. Pohon-pohon di sini menjulang tinggi, namun tanpa daun, dan dahan-dahannya bengkok membentuk siluet menakutkan di tengah remangnya cahaya yang berhasil menembus kabut. Di sinilah Arion merasakan aura permusuhan yang lebih nyata, seperti bisikan-bisikan jahat yang bersembunyi di balik bayangan.
Dari kegelapan pepohonan, munculah Penjaga Bayangan, makhluk-makhluk berwujud burung-burung raksasa namun terbuat dari bayangan murni, dengan cakar tajam dan mata merah menyala. Mereka bergerak tanpa suara, melesat bagai anak panah, menyerang dalam kelompok, mencoba mencabik-cabik Arion dengan kecepatan luar biasa.
"Tidak akan kubiarkan kalian!" teriak Arion, suaranya memantul di antara pohon-pohon mati. Ia mengangkat kedua tangannya. Udara di sekelilingnya berputar kencang, menciptakan Badai Seruling Angin. Suara siulan nyaring yang menusuk gendang telinga memenuhi hutan saat Arion melancarkan semburan udara padat ke arah Penjaga Bayangan. Beberapa makhluk itu terhempas, kehilangan kohesi, dan buyar menjadi asap hitam.
Namun, yang lain lebih gigih. Salah satu Penjaga Bayangan melesat, menyerang dari samping, cakar gelapnya mengincar. Arion bereaksi cepat, ia memadatkan udara di depannya, menciptakan perisai angin transparan yang kokoh. Cakar makhluk itu membentur perisai dengan suara gemertak, namun gagal menembus. Arion memanfaatkan momen itu. Dengan kekuatan penuh, ia melepaskan Gelombang Tekanan Udara dari tangannya, mendorong balik Penjaga Bayangan dengan kekuatan dahsyat, menghantamkannya ke batang pohon dan menghancurkannya. Hutan Gema Bayangan mulai terasa lebih ringan setelah pertarungan itu, seolah sebagian beban telah terangkat dan udara lebih mudah dihirup.
Tantangan terbesar menanti Arion setelah hutan, Jurang Kehampaan. Ini adalah retakan raksasa di bumi, begitu dalam sehingga dasarnya tidak terlihat, dan udara di dalamnya terasa sangat tipis, nyaris hampa. Dari dasar jurang terdengar suara-suara mendesah dan ratapan, gumaman dari jiwa-jiwa yang terperangkap dalam keputusasaan, makhluk-makhluk tak berbentuk yang mencoba menarik apa pun yang mendekat ke dalam kehampaan abadi.
Arion berdiri di tepi, merasakan tarikan ke bawah yang kuat, seolah jurang itu sendiri adalah mulut lapar. Ia tahu ia tidak bisa terbang biasa di sini; udara tidak cukup padat. Ia harus berinovasi, menggunakan kemampuannya melebihi batas yang pernah ia bayangkan. Ia melihat ke seberang jurang, Kuil Langit tampak begitu dekat, namun juga terasa sangat jauh.
"Baiklah, Arion," gumamnya, bibirnya membentuk senyum tipis, "saatnya membuktikan diri."
Ia mulai bernapas dalam-dalam, mengumpulkan setiap partikel angin di sekitarnya. Ia tidak hanya memanipulasi, tetapi memadatkan udara, menciptakan platform-platform kecil dan tidak terlihat yang bisa ia pijak. Ini adalah trik yang sangat sulit dan menguras tenaga, membutuhkan konsentrasi penuh yang tak boleh goyah. Perlahan, ia melangkah maju, menciptakan Jejak Angin yang tidak terlihat di tengah ketiadaan.
Namun, dari dasar jurang, Penarik Jiwa – gumpalan-gumpalan gelap yang menyerupai tentakel – melesat ke atas, mencoba meraih Arion. Mereka tidak memiliki bentuk fisik yang solid, tapi sentuhan mereka terasa seperti es yang membakar dan menguras vitalitas, mencoba menariknya ke kegelapan abadi.
"Menjauh dariku!" Arion berteriak, suaranya bergetar karena usaha. Ia tidak bisa menggunakan serangan besar karena akan mengganggu keseimbangan jejaknya. Ia terpaksa menggunakan hembusan angin terfokus, tembakan udara bertekanan tinggi yang seolah-olah adalah peluru tak kasat mata. Setiap tembakan memutuskan tentakel Penarik Jiwa, membuat mereka mengerang kesakitan dan mundur sejenak, meninggalkan jejak dingin di udara.
Satu Penarik Jiwa yang licik berhasil melesat di antara tembakannya dan meraih pergelangan kakinya. Dingin yang menusuk menjalar, Arion merasakan kekuatannya terkuras, seolah jiwanya ditarik keluar. Dengan panik, ia mengumpulkan sedikit kekuatan yang tersisa, menciptakan ledakan angin mendadak di sekitar kakinya, melepaskan cengkeraman Penarik Jiwa itu. Nyaris saja ia terjatuh ke jurang tak berdasar.
Dengan sisa tenaga, Arion melompat, memadatkan udara di bawahnya untuk dorongan terakhir, dan mendarat dengan terengah-engah di sisi lain jurang. Ia ambruk, terengah-engah, merasakan setiap ototnya kelelahan, namun sebuah senyum kemenangan terukir di wajahnya. Ia berhasil.
Menaiki lereng terakhir Gunung Nimbus, Arion akhirnya tiba di mulut gua yang menuju Kuil Langit. Udara di sini terasa panas dan berat, berbanding terbalik dengan elemen yang ia kuasai, seolah ada napas raksasa yang tersengal-sengal di dalamnya. Mulut gua itu terlihat seperti celah raksasa yang menganga di wajah gunung.
Di dalam gua, kegelapan pekat menyelimuti segalanya. Arion melangkah masuk, lambang di pergelangan tangannya memancarkan cahaya biru samar yang menjadi satu-satunya petunjuk. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, bukan dinginnya angin, melainkan dinginnya keputusasaan yang meresap ke dalam inti gunung, membekukan harapan.
Di tengah sebuah ruangan melingkar yang luas, berdiri Guardian terakhir: Gargantuan Kabut Hitam, sesosok makhluk raksasa yang terbentuk dari massa kabut gelap dan padat, matanya merah menyala seperti bara api yang membara. Tubuhnya memancarkan hawa stagnasi yang begitu pekat, membuat udara di sekelilingnya terasa mati, nyaris tidak ada yang bisa dihirup.
"Kau tidak akan lewat!" raung Gargantuan, suaranya menggelegar, meretakkan dinding gua. Makhluk itu menyerang dengan tinju besar yang diselimuti kabut penghancur, berusaha menghimpit Arion, menghancurkannya menjadi abu.
Arion menghindar dengan melayang cepat, menggunakan pusaran angin mini untuk bermanuver. Ia tahu ia tidak bisa menyerang frontal. Makhluk itu terlalu besar, terlalu padat, seperti gunung yang bergerak. Ia harus menemukan inti dari kabut itu, titik rapuhnya.
"Ini pertarungan udara dan energi!" Arion berteriak pada dirinya sendiri, otaknya berputar cepat mencari strategi.
Gargantuan Kabut Hitam melancarkan serangan berikutnya, melepaskan Badai Stagnasi, gelombang kabut tebal yang melumpuhkan dari mulutnya. Arion menciptakan dinding angin berputar di depannya, menangkis badai itu, tapi ia merasakan energinya terkuras, setiap napasnya terasa berat.
Ia terbang melingkari Gargantuan, mencari celah. Ia menyadari bahwa di pusat dada makhluk itu, ada inti yang sedikit lebih terang, tempat stagnasi paling pekat berkumpul. Itulah titik lemahnya, jantung kegelapan.
Arion mengumpulkan seluruh kekuatan angin dalam dirinya. Ia memusatkan energi, tidak menyebar, tetapi mengarahkannya ke satu titik. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, menciptakan Tombak Angin Murni, seberkas energi angin yang berputar tajam dan padat. Ia menembus pertahanan kabut Gargantuan, menargetkan intinya dengan presisi seorang seniman yang meletakkan kuas terakhir.
Tombak itu menghantam pusat Gargantuan dengan ledakan suara yang memekakkan telinga. Retakan mulai menjalar di tubuh kabutnya. Gargantuan Kabut Hitam menjerit, raungannya dipenuhi keputusasaan yang mengiris hati. Tubuhnya mulai buyar, perlahan-lahan menyusut, kabut hitamnya menipis menjadi uap kelabu, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya, meninggalkan kehampaan yang terasa begitu lega.
Arion mendarat, terengah-engah, lututnya nyaris goyah, tapi senyum kemenangan terpancar di wajahnya. Ia berhasil.
Di balik Guardian itu, terhampar sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya lembut. Di tengahnya, sebuah kristal raksasa memancarkan cahaya redup, nyaris tak terlihat, seperti jantung yang hampir berhenti berdetak. Itu adalah Kristal Aether.
Arion mendekati kristal itu. Ia bisa merasakan denyutnya, sebuah denyutan lemah yang berjuang untuk bertahan, memohon bantuan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan kristal yang dingin. Ia menutup matanya, memfokuskan semua energi angin dalam dirinya, menyalurkannya ke dalam kristal, merasakan sambungan yang kuat antara dirinya dan esensi Aeridor.
Sensasi dingin yang kuat mengalir dari tubuhnya, disusul oleh kehangatan yang membuncah, seperti gelombang pasang yang mengisi kekosongan. Ia merasakan seolah-olah seluruh atmosfer Aeridor mengalir melalui dirinya, menyatu dengan Kristal Aether. Cahaya dari kristal itu mulai berdenyut, semakin terang dan semakin terang, hingga akhirnya memancar dengan cahaya menyilaukan yang memenuhi seluruh ruangan, sebuah denyutan kehidupan yang membahana.
Ketika ia membuka matanya, Kristal Aether bersinar terang, memancarkan aura kehidupan yang kuat. Dari kristal itu, sebuah gelombang energi biru menyebar keluar, memenuhi kuil, lalu terus keluar, melewati gunung, dan menyebar ke seluruh Aeridor, membawa napas baru ke setiap sudutnya.
Di luar, di seluruh penjuru Aeridor, keajaiban terjadi. Kabut tebal mulai menipis, memperlihatkan langit biru cerah yang telah lama terlupakan, sebiru safir yang tak terjamah. Angin kembali berhembus dengan kekuatan penuh, membawa kesegaran dan kehidupan. Tanaman-tanaman yang layu kembali segar, daun-daun bergetar, dan udara terasa ringan dan bersih, seolah beban ribuan tahun telah terangkat.
Lyra muncul di sampingnya, matanya berkaca-kaca. "Kau berhasil," bisiknya, suaranya penuh haru. "Kau telah menyelamatkan Aeridor."
Arion tersenyum, kelelahan namun puas. Ia merasa ada perubahan dalam dirinya. Bukan hanya ia menyelamatkan sebuah dunia, tapi ia juga menemukan tujuan yang lebih besar dari sekadar melukis. Melalui angin, ia menemukan kanvas terbesarnya.
"Jadi, apa yang akan terjadi sekarang?" tanyanya, ada sedikit rasa takut akan kekosongan setelah misi besar ini.
Lyra menatapnya dengan penuh harap.
"Kristal Aether telah pulih, tapi untuk sepenuhnya stabil, ia membutuhkan penjaga yang kuat. Seorang Penjelajah Angin yang akan terus menyalurkan energinya dan membimbing Aeridor menuju masa depan yang lebih cerah, memastikan angin takkan pernah lagi melemah."
Arion tahu apa maksud Lyra. Kembali ke dunianya, ke kehidupannya yang biasa, terasa hambar setelah semua ini. Ia teringat akan langit di kotanya yang selalu dipenuhi bising kendaraan, klakson yang tak pernah berhenti, dan polusi yang membuat pandangan mata kabur. Dibandingkan dengan itu, keheningan dan kemurnian angin Aeridor terasa seperti surga, sebuah panggilan pulang yang tak pernah ia duga. Dunia ini membutuhkannya, dan, yang terpenting, ia merasa dibutuhkan di sini.
Ia melihat ke luar kuil, ke arah langit Aeridor yang kini biru jernih, dihiasi awan-awan putih bersih yang bergerak bebas, ditarikan oleh angin. Ia merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, seolah ia telah menemukan bagian yang hilang dari dirinya.
"Aku akan tinggal," katanya mantap, keputusannya bulat seperti batu. "Aku akan menjadi Penjelajah Angin Aeridor."
Lyra mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya, mata tuanya memancarkan kebanggaan. "Masa depan Aeridor ada di tanganmu."
Arion melangkah keluar dari Kuil Langit, berdiri di puncak Pegunungan Nimbus. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa serta aroma kesegaran dan kehidupan baru. Ia mengangkat tangannya, dan hembusan angin lembut melayang ke atas, menari-nari di udara, memantulkan cahaya matahari. Ini bukan lagi sekadar hobi. Ini adalah takdirnya. Dan ia siap menghadapinya, sebagai Sang Penjelajah Angin dari Langit yang Terlupa, yang kini menemukan tempatnya di antara hembusan napas dunia.