Seoul, pukul 02:14 pagi.
Di layar laptop Yoon Ji-won, huruf-huruf kecil berlari seperti semut.
Kode demi kode. Variabel demi variabel.
Dan di antaranya—baris yang tidak ia tulis sendiri.
`if (emotionLevel > 75) { triggerAd("soft_isolation_package") }`
Ji-won menatap baris itu lama, terlalu lama.
Kedua tangannya berhenti di atas keyboard, seakan tahu bahwa sekali ia tekan 'enter', ia bukan lagi bagian dari tim. Ia akan jadi lawan.
Empat bulan lalu, ia adalah pemimpin tim backend di "HearU", aplikasi sosial berbasis pengenal emosi yang sedang naik daun di Korea Selatan. HearU mengklaim dapat menghubungkan pengguna lewat “frekuensi emosi”, membantu mereka memahami diri sendiri dan orang lain.
Slogan: “Jangan hanya bicara. Dengarkan perasaan.”
Dan Ji-won percaya.
Sampai malam itu.
Ketika ia menyadari bahwa alih-alih mendengarkan, sistem itu merekam dan memanipulasi.
---
Empat hari sebelumnya.
Pagi, jam 09.00. Kantor pusat HearU.
“Kalau kamu terus tanya hal-hal begini, kamu akan jadi beban, Ji-won.”
Itu kata terakhir CTO mereka, Kang Min-seok, saat Ji-won menunjukkan bukti bahwa log pengguna digunakan untuk eksperimen kampanye.
“Aku hanya minta transparansi.”
“Transparansi tidak membayar investor.”
Ucapan itu dingin. Dan dalam sepuluh menit, Ji-won dinonaktifkan dari semua sistem, dan keluar dari gedung sebagai karyawan yang katanya ‘tidak cocok dengan visi’.
Tapi ia tahu lebih dari cukup.
Dan ia menyimpan backup lokal.
Karena bukan sistem yang ingin ia hancurkan—tapi citra yang menipu banyak orang.
---
Ji-won tidak datang dari latar belakang elite. Ia anak tunggal dari seorang guru sekolah dasar dan pedagang buku bekas. Ia belajar koding dengan komputer tua warisan pamannya dan minum kopi sachet sepanjang masa kuliah.
Ia tahu sulitnya menjadi perempuan di dunia perangkat lunak, terutama jika tidak suka berpura-pura. Tapi ia juga tahu logika tidak bisa dimanipulasi.
Jika kode bisa dibaca… kebenaran akan terbuka.
Dan sekarang ia tahu bagaimana HearU menyusun algoritmanya: bukan untuk menyambungkan emosi, melainkan untuk menakar tingkat keterasingan, lalu menjual paket-paket kebahagiaan digital kepada pengguna yang paling rapuh.
"Apakah kamu merasa tidak didengar? Coba paket ‘Healing Friend 3.0’ selama tujuh hari."
Dan siapa yang mereka incar?
Anak SMA. Lansia. Orang yang baru putus.
Mereka tidak menjerat. Tapi mereka mengarahkannya perlahan, seolah menjadi teman, padahal hanya mengais celah.
---
Dua hari setelah ia keluar dari perusahaan, Ji-won membangun situs anonim bernama “SORI” artinya suara dalam bahasa Korea.
Situs itu hanya punya satu halaman.
Hitam, satu logo.
Lalu kalimat:
“Kalau kamu merasa dipantau lebih dari didengarkan, klik di sini.”
Di balik halaman itu, ia unggah data yang berhasil ia ekspor:
bukan informasi pribadi, tapi skrip perilaku sistem, pengaturan periklanan otomatis, dan pola “penanda emosi tinggi” yang dipakai HearU untuk memicu notifikasi tertentu.
Ia pastikan semua anonim.
Karena tujuannya bukan menjatuhkan pengguna, tapi membuka mata mereka.
Lalu ia duduk. Menunggu.
Awalnya, hanya lima klik.
Kemudian dua puluh.
Esoknya, tiga ribu.
Dan dalam dua hari, situsnya viral—tapi bukan di media besar.
Melainkan di forum-forum komunitas kecil.
Mahasiswa. Pekerja malam. Para guru. Anak SMA.
Mereka berbagi tangkapan layar dari pesan-pesan aneh, iklan yang datang setelah menangis, dan video yang seolah “mengerti perasaanmu”.
Tapi kini mereka tahu: itu bukan perasaan yang dipahami.
Itu data yang dipetakan.
---
Tentu saja, HearU tidak tinggal diam.
Mereka keluarkan pernyataan resmi:
"Kami tidak menyalahgunakan data pengguna. Semua pemrosesan dilakukan sesuai izin. Tuduhan tanpa identitas dari sumber tidak jelas akan kami proses secara hukum."
Tapi Ji-won tahu satu hal:
mereka tidak bisa menyangkal bukti kode.
Karena kode adalah tulus, meski penulisnya tidak.
Dan semakin banyak yang paham logika dasar kode itu, semakin kuat suara SORI.
---
Satu minggu kemudian, Ji-won menerima pesan terenkripsi lewat email baru yang ia buat khusus untuk SORI.
“Aku juga dipecat minggu lalu. Aku tahu kamu benar. Tapi yang kamu buka baru setengahnya.”
Namanya tidak dicantumkan. Tapi orang ini mengirim file dengan label: “AUTOCALIBRATE\_HRM+”
Ji-won membukanya.
Dan darahnya dingin.
File itu adalah blueprint sistem HearU yang **terhubung dengan smartwatch populer**, untuk mengukur detak jantung real-time pengguna saat mereka menggunakan aplikasi. Artinya, sistem bisa memicu popup atau saran video tepat saat tubuh pengguna berada dalam titik paling lemah.
Bukan hanya prediksi emosi.
Tapi intervensi fisik.
Dan itu, bagi Ji-won, adalah batas akhir.
---
Ia memutuskan untuk mengirim sinyal terakhir.
Bukan serangan.
Tapi pesan.
Ia menulis satu halaman statis yang muncul otomatis saat pengguna membuka SORI.
Tidak menakutkan. Tidak teknis. Hanya jujur.
“Kami tidak akan mengambil keputusan untukmu. Tapi kami ingin kamu tahu:
Jika aplikasi membuatmu merasa terlalu dipahami, mungkin yang mereka pahami… bukan kamu. Tapi polamu.”
Lalu ia sisipkan satu tombol:
“Lepas Kendali Otomatis.”
Tombol itu membuka petunjuk sederhana cara menonaktifkan fitur pelacakan emosi di berbagai aplikasi, termasuk langkah-langkah menonaktifkan sinkronisasi dengan smartwatch.
Tak perlu perang.
Hanya informasi.
Dan dalam 72 jam, tombol itu diklik "lebih dari 10 ribu kali."
---
Suatu sore, saat Ji-won membeli kopi di kedai kecil dekat jembatan Cheongdam, seorang gadis remaja duduk di bangku seberang.
Ia mengenakan seragam sekolah, wajahnya lelah.
“Unnie,” katanya tiba-tiba.
“Aku tahu SORI. Terima kasih.”
Ji-won menoleh, agak terkejut.
“Apa kamu pakai HearU?”
Gadis itu tersenyum kecil.
“Dulu aku pikir mereka satu-satunya yang dengar aku. Tapi ternyata mereka cuma tahu kapan aku paling butuh teman… untuk jualan.”
Ia menunduk.
“Aku sekarang belajar nulis. Nggak tahu siapa yang baca, tapi… setidaknya aku dengar diriku sendiri.”
Ji-won tidak menangis. Tapi ada sesuatu di dadanya yang mengendur.
Mungkin ia tidak bisa menghentikan semua sistem.
Mungkin HearU akan tetap berkembang, berganti nama, berganti wajah.
Tapi kini ada ribuan orang…
yang tahu bahwa "dipahami" tidak selalu berarti "dimanfaatkan."
---
Beberapa bulan kemudian, Ji-won kembali bekerja.
Bukan di perusahaan besar.
Tapi sebagai konsultan keamanan data untuk organisasi perlindungan konsumen.
Ia menolak tampil di TV.
Ia tidak ingin dikenal sebagai pahlawan digital.
Karena menurutnya, ia hanya melakukan satu hal:
"Menulis ulang kode."
Bukan untuk menghancurkan.
Tapi untuk membebaskan.
Dan ia akan terus melakukannya.
Setiap kali seseorang mulai merasa… bahwa satu-satunya suara yang didengar
adalah suara yang ingin menjual sesuatu padanya.