Part 1
Erica bukan tipe gadis yang suka banyak bicara. Duduk di barisan ketiga dari belakang kelas 8B, dia lebih senang mengamati dan mendengarkan. Wajahnya selalu tenang, nyaris datar, tapi bukan berarti dia tak punya perasaan. Orang-orang hanya belum cukup dekat untuk tahu seperti apa sebenarnya Erica.
Teman dekatnya tahu, di balik wajah datarnya, Erica bisa sangat konyol dan lucu. Bersama Nia dan Ayu, dia bisa tertawa sampai terpingkal, meniru gaya guru Matematika atau membuat suara-suara aneh hanya untuk membuat suasana ceria. Tapi itu hanya jika sudah merasa aman. Sayangnya, tak semua teman sekelas bisa memahami sisi itu dari Erica.
Beberapa dari mereka malah menjadikan sikap diam Erica sebagai alasan untuk mengolok-oloknya. Termasuk Siti, siswi yang duduk di depan Erica, yang merasa dirinya paling lucu di kelas.
“Erica mah diam-diam gitu, paling ayahnya juga pendiam. Atau jangan-jangan ayahnya ngga ada?” ejek Siti suatu siang, disambut tawa beberapa teman yang juga tidak berpikir panjang.
Erica menunduk. Mulutnya diam, tapi dadanya terasa sesak. Ia menggenggam pensil kuat-kuat. Ia masih bisa tahan. Masih mencoba sabar.
Tapi siang itu, saat kelas kosong karena guru belum masuk, Siti makin menjadi-jadi. Ia berdiri di depan kelas dan mulai bernyanyi seenaknya, menyebut-nyebut nama ayah Erica sambil tertawa-tawa. Lagu yang dibuat-buat itu terasa menusuk. Ada batas untuk semuanya—dan hari itu, batas itu dilanggar.
Tanpa banyak kata, Erica berdiri. Kakinya melangkah mantap ke arah Siti. Semua mata tertuju padanya.
“Berhenti,” ucap Erica, datar.
Tapi Siti malah tertawa. “Ih, serem banget kamu! Mau ngapain?”
DOR.
Tendangan Erica mendarat tepat di paha Siti. Tidak keras, tapi cukup membuatnya kaget dan mundur.
“Sekali lagi kamu bawa-bawa nama ayahku, aku gak akan segan,” ucap Erica, tajam.
Ruangan hening. Siti tak bersuara lagi. Ia menunduk sambil mengelus pahanya, malu sekaligus kaget. Mulai saat itu, Siti tak pernah lagi membuka mulut untuk mengolok Erica.
Tapi belum selesai sampai di situ.
Beberapa hari kemudian, saat sedang mencatat pelajaran, suara Ruslan—cowok yang suka sok asik—terdengar dari belakang. “Eh, Erica. Papa kamu itu kerja apa sih? Jangan-jangan cuma tukang tambal ban ya? Haha!”
Erica berhenti menulis. Tangannya gemetar. Ia tak tahu siapa ayah Ruslan. Tak tahu harus membalas dengan kalimat apa. Tapi amarahnya menggelegak. Harga diri keluarganya diinjak-injak.
Tanpa berkata apa-apa, Erica berdiri. Langkahnya cepat menuju bangku Ruslan. Dan sebelum siapapun sempat bereaksi—
Plak.
Ludah Erica mendarat tepat di wajah Ruslan.
Seketika kelas sunyi. Ruslan kaget, matanya membelalak.
Erica menatapnya sebentar, lalu berbalik dan keluar kelas tanpa sepatah kata pun.
“Eh, Ra… Erica…” panggil Nia, tapi Erica sudah lenyap di balik pintu.
Beberapa menit kemudian, Ruslan mengambil tisu dari tasnya, membersihkan wajahnya, lalu duduk terpaku. “Gue… keterlaluan ya…” gumamnya pelan.
Hari berikutnya, Ruslan mendekati Erica saat pulang sekolah. Ia berdiri canggung di depan gerbang.
“Maaf ya, Ra. Gue kebangetan kemarin,” katanya pelan.
Erica hanya menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil dan berjalan pergi.
Sejak kejadian itu, suasana kelas 8B berubah. Tak ada lagi yang berani main-main dengan nama orang tua Erica. Bahkan mereka mulai menjaga omongan satu sama lain. Erica, yang selama ini dianggap lemah hanya karena diam, akhirnya menunjukkan bahwa diam bukan berarti bisa diinjak.
Dan sejak itu, semua tahu: jangan remehkan Erica
---
Jangan Mau Di-bully
part 2
Hari pertama Erica menginjakkan kaki di SMA Harapan Bangsa, langit pagi cerah seperti menyambut awal baru. Seragam putih abu-abu terasa masih asing di tubuhnya, tapi wajahnya tetap seperti biasa—tenang, datar, dan sedikit dingin.
Tak sedikit siswa yang menatapnya saat ia berjalan melewati gerbang. Beberapa dari mereka adalah teman satu SMP-nya dulu. Beberapa tersenyum malu-malu, bahkan menyingkir diam-diam. Mereka masih ingat betul siapa Erica—gadis pendiam yang bisa berubah jadi singa ketika batas kesabarannya disentuh.
Namun, tidak semua mengenalnya. Beberapa siswa yang belum pernah dengar nama Erica mencoba "menguji".
Salah satunya adalah Kaderani—siswi yang suka merasa paling cantik dan paling berkuasa di kelas X-1, tempat Erica ditempatkan. Hari itu, saat pelajaran kosong dan suasana kelas gaduh, Kaderani sengaja duduk di bangku Erica dan mulai membuka-buka buku catatannya.
“Ih, tulisannya kecil-kecil banget. Kamu nulis buat semut ya?” ejek Kaderani sambil tertawa bersama dua temannya.
Erica yang sedang membaca novel di pojok hanya menatap sejenak. Tapi begitu Kaderani mulai mencoret halaman bukunya dengan spidol, Erica bangkit. Langkahnya cepat. Tanpa sepatah kata pun, ia merebut buku catatannya, lalu suarrtt!—dengan tenang tapi penuh emosi, Erica mengoyak buku itu dan menghamburkan sobekannya tepat di depan wajah Kaderani.
Serpihan kertas beterbangan seperti salju musim gugur.
Semua terdiam. Bahkan suara tawa teman-teman Kaderani ikut menguap bersama udara kelas yang mendadak dingin.
Erica menatap Kaderani dalam-dalam, lalu berkata pelan namun menusuk, “Aku pendiam, bukan boneka. Kalau mau cari masalah, pastikan kamu siap dapat balasannya.”
Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani main-main dengannya.
Hari-hari berikutnya di SMA terasa lebih ringan. Erica tidak lagi selalu sendirian. Saat naik ke kelas XI, ia mulai punya banyak teman dekat. Nia dan Ayu, dua sahabat lamanya dari SMP, kembali sekelas dengannya. Mereka bertiga tetap akrab seperti dulu, namun kini bertambah teman-teman baru.
Fanny, siswi humoris yang pintar menirukan gaya guru Bahasa Indonesia, masuk dalam lingkaran mereka. Begitu juga Charles—anak pintar kedua setelah Costan dan diam-diam punya perhatian lebih ke Erica. Costan anak paling pintar di kelas dan Tio, dua cowok jenaka dan suka membuat suasana ramai, serta Alvin, sang ketua OSIS yang karismatik dan dewasa.
Tanpa mereka sadari, mereka membentuk satu geng yang tak terpisahkan. Geng yang bukan sekadar kumpulan anak-anak populer, tapi kelompok yang saling menjaga dan saling menghargai.
Erica, yang dulu dikenal karena diam dan pemberontakannya saat dibully, kini mulai dikenal karena ketegasannya, kesetiaannya pada teman, dan sikapnya yang adil.
Mereka kemana-mana bersama. Makan di kantin, belajar kelompok, sampai jalan-jalan sepulang sekolah. Bahkan mereka punya nama grup di chat: “Kelas Satu Rasa Rumah”.
Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Erica merasa benar-benar damai. Ia tak perlu lagi marah-marah hanya untuk membuat orang berhenti mengganggu. Karena kini, ia tidak sendiri.
---Selesai---