Bab 1: Cinta dan Janji
Aku menikah dengan orang yang paling aku cintai.
Namanya Raka. Dulu dia kakak tingkatku di kampus. Dingin, tapi perhatian. Tak banyak bicara, tapi pandai membuatku merasa aman. Kami bertemu saat ospek jurusan, lalu perlahan mulai dekat karena satu kepanitiaan. Dua tahun bersama, lalu dia melamarku.
Malam sebelum menikah, aku berdiri di depan cermin kamar, mengenakan gaun putih yang sudah kugantung sejak sebulan lalu. Mataku berkaca-kaca melihat bayanganku sendiri.
“Besok aku resmi jadi istrimu, Raka,” bisikku pelan. “Akhirnya impian jadi nyata.”
Orang bilang, pernikahan adalah bab baru dari kisah cinta. Aku menyambutnya dengan hati penuh harap.
Sayangnya, tidak semua kisah cinta layak dijadikan novel.
Bab 2: Tiga Bulan Pertama
Awalnya indah. Kami tinggal di rumah mungil pemberian orang tua Raka. Setiap pagi aku menyiapkan sarapan, Raka tersenyum sambil mencium keningku sebelum berangkat kerja. Kami tertawa saat mencuci piring bersama, atau sekadar rebahan sambil nonton drama Korea.
Aku mencintai setiap detiknya.
Tapi seiring waktu, wajahnya tak lagi semanis dulu. Panggilannya berubah. Dulu selalu “Sayang,” sekarang hanya “Ra.”
Pulang kerja, Raka lebih sering langsung mandi lalu tidur, tanpa cerita tentang harinya. Bahkan kadang, dia lupa bertanya bagaimana hariku. Aku mencoba memaklumi. Mungkin lelah. Mungkin beban kerja menumpuk.
Tapi saat aku memulai percakapan, dia hanya menjawab singkat. Kadang sambil tetap menatap layar ponsel.
Aku mulai merasa... sendiri.
Bab 3: Makan Malam yang Sunyi
Suatu malam aku menyiapkan makanan kesukaannya: rendang buatan ibunya yang dulu pernah kupelajari langsung. Kuletakkan meja makan dengan rapi, bahkan kupasang lilin kecil agar lebih romantis.
Tapi Raka pulang jam sembilan malam, membawa kantong plastik berisi ayam goreng cepat saji.
“Aku udah beli makan,” katanya singkat sambil duduk di sofa.
Hatiku remuk. Tapi aku hanya tersenyum, mengangkat rendang yang sudah dingin tanpa sepatah kata. Saat itu aku sadar, rasa sakit bukan hanya saat dimarahi—tapi juga saat diabaikan.
Bab 4: Aku Salah Apa?
Sebulan kemudian, aku mencoba bicara. Duduk di ranjang, menatap wajahnya yang sibuk dengan laptop.
“Raka... kita baik-baik aja, kan?”
Dia berhenti mengetik, menatapku sebentar.
“Kamu kenapa?”
“Aku ngerasa kamu berubah.”
Dia menghela napas. “Kamu terlalu banyak mikir.”
“Karena aku ngerasa sendiri.”
“Ra, semua orang juga pasti berubah setelah menikah. Jangan drama.”
Aku diam. Kata-katanya seperti cambuk. Aku bukan sedang drama. Aku hanya rindu dicintai seperti dulu.
Bab 5: Dunia yang Menghakimi
Lingkungan seolah ikut menambah sesak. Setiap reuni keluarga, pertanyaannya sama: “Kapan punya anak?”
Setiap aku menjawab sambil tersenyum bahwa kami sedang menunggu waktu, mereka akan saling pandang dan berbisik. Beberapa bahkan terang-terangan berkata, “Kalau terlalu sibuk kerja, kapan punya anaknya?”
Aku hanya tertawa. Tapi dalam hati, aku ingin berteriak: Aku belum siap! Aku bahkan merasa belum utuh dalam rumah ini!
Tapi siapa peduli?
Bab 6: Air Mata di Balkon
Suatu malam, aku duduk di balkon sendirian. Udara dingin menusuk kulit, tapi rasa perih di dalam jauh lebih menusuk. Ponselku berdering—Mama menelepon.
Aku jawab dengan suara pelan, berusaha terdengar ceria. Tapi Mama tahu.
“Kamu habis nangis ya?”
Aku menahan isak.
“Kenapa, Nak?”
Aku tidak bisa jawab.
Aku takut mengecewakan orang tuaku yang sudah mempercayakan aku pada Raka. Aku takut dibilang istri manja. Tapi aku lelah. Lelah berperan bahagia.
Bab 7: Orang Ketiga
Aku mulai curiga saat Raka sering pulang larut malam. Katanya lembur. Tapi suatu malam, aku melihat pesan singkat di ponselnya dari nama yang asing.
“Jangan lupa makan malam ya. I miss you.”
Hatiku luruh. Tanganku gemetar. Aku tidak langsung menanyakannya malam itu. Aku takut jawaban yang kuterima benar-benar menghancurkanku.
Keesokan harinya, aku memberanikan diri bertanya.
“Siapa Nia?”
Dia terdiam. Lalu dengan tenang berkata, “Teman kerja.”
“Teman yang bilang I miss you?”
Dia marah. “Kamu ngecek HP aku?”
Dan semua kesalahan seolah dibebankan padaku. Aku yang tidak percaya, aku yang kelewatan, aku yang ‘lebay’.
Bab 8: Pilihan yang Berat
Aku sempat berpikir untuk pergi.
Kupikir, mungkin aku akan lebih tenang sendiri. Tapi lalu aku teringat janji pernikahan kami. Terbayang wajah orang tuaku saat mengantar ke pelaminan. Terbayang foto-foto di dinding, senyum kami saat masih bisa tertawa bersama.
Aku mencoba bertahan. Mencoba memperbaiki.
Aku mengajak Raka bicara. Aku minta dia jujur, aku minta dia terbuka. Tapi hasilnya sama: tembok.
Sampai suatu malam, Raka sendiri yang berkata:
“Mungkin kita menikah terlalu cepat. Aku... ngerasa kayak gak siap.”
Hatiku hancur berkeping. Bukan karena dia berkata itu, tapi karena aku sendiri sudah lama merasa hal yang sama.
Bab 9: Meninggalkan yang Dicintai
Aku mengepak barang-barangku seminggu setelah itu. Baju-baju, buku favorit, dan kenangan yang masih mengendap di dinding.
Raka hanya melihatku dari ambang pintu. Tak berkata apa-apa. Mungkin karena dia juga bingung harus berkata apa.
Di depan rumah, aku menatap bangunan yang dulu kupikir akan jadi istana. Ternyata hanya tempat singgah luka.
Aku pergi, bukan karena aku tak cinta lagi. Tapi karena aku akhirnya belajar mencintai diriku sendiri.
Bab 10: Menata Ulang Luka
Aku kembali ke rumah orang tuaku. Mama menyambutku dengan pelukan panjang, tanpa banyak tanya. Hanya air mata kami yang bicara.
Aku mulai bekerja lagi. Mengajar les privat, mengisi seminar. Sibuk adalah penyelamatku. Aku menulis di blog tentang pernikahan, tentang luka yang tak kasat mata.
Tulisan-tulisanku banyak dibaca. Banyak perempuan lain yang juga merasa senasib. Kami saling menguatkan.
Satu kalimat yang sering kutulis: Menikah bukan tujuan akhir. Bahagia tetaplah tanggung jawab pribadi.
Bab 11: Pertemuan yang Biasa Saja
Dua tahun setelah kami berpisah, aku bertemu Raka di sebuah kafe. Dia datang bersama seorang perempuan—mungkin kekasihnya. Aku hanya mengangguk sopan, dan dia juga. Tak ada dendam, hanya kenangan yang sudah lewat tanggal kadaluarsanya.
Saat keluar dari kafe, aku melihat diriku di kaca. Aku tersenyum.
Aku bukan lagi perempuan yang memaksa rumah tangga untuk bahagia. Aku adalah perempuan yang menyadari bahwa cinta harusnya tak membuat luka terasa nyaman.
Epilog: Ternyata Menikah Tidak Seindah Itu
Aku pernah percaya bahwa menikah adalah kunci bahagia. Tapi nyatanya, kadang kunci itu bisa membuka pintu ke jurang.
Aku tidak menyesal pernah mencintai Raka. Tapi aku juga tidak menyesal memilih pergi. Karena dalam setiap luka, ada pelajaran yang membuatku tumbuh.
Jadi, untuk kalian yang membaca ini—ingatlah:
Ternyata menikah tidak seindah itu. Tapi bukan berarti hidup harus berhenti di situ.