Pagi itu, matahari baru saja menanjak, menyelimuti kampus Universitas Merdeka dengan kehangatan yang lembut.
Agam Antasea, mahasiswa tahun ketiga jurusan Teknik Sipil, melangkah cepat menuju perpustakaan. Seperti biasa, ia memanfaatkan waktu pagi untuk menyelesaikan tugas sebelum siang tiba.
Namun, siapa sangka, pagi itu akan menjadi awal dari sesuatu yang mengubah hidupnya.
Saat membuka pintu perpustakaan, langkahnya tiba-tiba terhenti karena menabrak seseorang yang keluar dengan tumpukan buku di tangan.
"Astaga, maaf!" Suara perempuan itu terdengar panik. Ia langsung berjongkok untuk memungut buku-bukunya.
Agam ikut membungkuk. "Tidak apa-apa, saya yang salah. Saya terlalu buru-buru." Ketika Agam menyerahkan buku terakhir yang terjatuh di lantai, pandangan mereka bertemu. Mata perempuan itu memancarkan kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
"Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum. "Aku Rindu, Rindu Kinandita."
"Agam Antasea," balas Agam singkat.
Perkenalan sederhana itu menjadi awal dari hubungan yang perlahan berkembang.
Rindu adalah mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, seorang gadis dengan kepribadian ceria dan pandangan hidup yang unik. Ia gemar menulis puisi dan memiliki kebiasaan memandang hal-hal kecil dengan rasa takjub, seolah semuanya punya makna mendalam.
"Bagaimana bisa kamu melihat keindahan dalam hujan deras?" tanya Agam suatu hari ketika mereka duduk bersama di bawah payung kecil di dekat kantin kampus. Rindu tersenyum, menatap tetesan hujan yang jatuh di atap seng kantin. "Karena hujan itu seperti hidup. Kadang membawa badai, tapi selalu meninggalkan udara segar setelahnya. Agam tersenyum kecil. Ia tak pernah memikirkan hal-hal seperti itu sebelumnya. Bagi Rindu,
hidup adalah puisi yang harus dihargai setiap baitnya, bahkan ketika ada yang menyakitkan. Semakin sering mereka bertemu, hubungan mereka semakin erat. Agam yang biasanya kaku mulai berubah. Bersama Rindu, ia belajar untuk melepaskan ketegangan hidupnya, menikmati hal-hal sederhana seperti senja, buku puisi, dan obrolan ringan di taman kampus.
Suatu sore, mereka duduk di bawah pohon besar di taman. Agam membawa buku catatan tugas, sedangkan Rindu memegang sebuah novel sastra klasik."Agam," panggil Rindu tiba-tiba. "Hmm?" Agam mengangkat kepala dan melihat Rindu.
"Apakah kau tau makna dibalik namamu?, karena kan setiap nama pasti ada arti dan maknanya." Agam berpikir sejenak. "Orang tuaku bilang, 'Agam' itu berarti keyakinan, dan 'Antasea' artinya di atas laut. Mereka suka filosofi tentang luasnya lautan." Rindu tersenyum, matanya berbinar. "Nama itu cocok buatmu. Kamu seperti laut—tenang di
luar, tapi aku yakin di dalamnya ada banyak cerita yang belum kamu bagi."
Agam terdiam, merasa kata-kata Rindu menembus hatinya. Namun, seperti puisi yang penuh kejutan, takdir sering kali menulis bait yang tak diharapkan.
Pada suatu malam, setelah mereka menghabiskan waktu di sebuah kafe kecil, Rindu berpamitan lebih dulu. "Aku harus pulang cepat, ada tugas besar yang harus kukerjakan," katanya sambil mengemas buku-bukunya. "Hati-hati di jalan, ya," pesan Agam, seperti biasa. Namun, selang beberapa jam setelah kepergian Rindu, kabar buruk datang menghampiri Agam.
Rindu mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang. Ia tidak dapat diselamatkan. Dunia Agam seketika hancur. Kehilangan Rindu seperti kehilangan bagian dari dirinya
sendiri. Hari-hari setelah kepergian Rindu terasa seperti mimpi buruk yang tiada akhir. Agam mengurung diri di kamar kosnya, memandangi foto-foto mereka berdua di ponselnya. Buku-buku puisi yang dulu sering mereka baca bersama kini hanya menjadi saksi bisu dari luka yang mendalam. Ia sering membayangkan suara Rindu, senyumannya, dan cara dia memandang dunia dengan
penuh keajaiban. "Kenapa harus dia?" Agam berulang kali bertanya pada dirinya sendiri, namun tak pernah mendapat jawaban.
Waktu berlalu, tetapi rasa sakit itu tidak kunjung hilang. Teman-teman Agam mencoba menghiburnya, namun tidak ada yang benar-benar berhasil. Setiap sudut kampus mengingatkannya pada Rindu. Taman tempat mereka biasa duduk, perpustakaan tempat mereka pertama kali bertemu, hingga kafe kecil di sudut kota.
Namun, suatu hari, Agam menemukan sesuatu yang mengubah segalanya.
Di antara buku-buku puisi milik Rindu, ia menemukan sebuah catatan kecil yang diselipkan pada halaman terakhir salah satu buku favoritnya. Di dalamnya, tertulis:
"Gam, jika suatu hari aku tidak ada lagi, jangan terlalu lama bersedih. Hidup ini seperti puisi, indah meskipun kadang menyakitkan. Aku ingin kamu terus melangkah dan menemukan kebahagiaanmu. Aku akan selalu ada di setiap kenangan indahmu."
Membaca kata-kata itu, Agam merasa seperti menemukan kekuatan baru. Ia tahu Rindu tidak ingin ia terjebak dalam kesedihan.
Pelan-pelan, Agam mulai bangkit. Ia kembali menyelesaikan tugas kuliahnya, mengikuti kegiatan kampus, dan menerima tawaran magang di sebuah perusahaan konstruksi. Setiap langkah yang ia ambil adalah bentuk penghormatan kepada Rindu, yang telah mengajarkannya untuk menghargai hidup. Bertahun-tahun kemudian, Agam menjadi seorang insinyur sukses. Di meja kerjanya, ia selalu menyimpan foto kecil mereka berdua di taman kampus, serta buku puisi milik Rindu yang warnanya sudah mulai memudar.
Bertahun-tahun telah berlalu, namun ingatan tentang Rindu tetap hidup di hati Agam. Bukan sebagai luka yang menyakitkan, tetapi sebagai kenangan manis yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat.
Pada suatu senja, Agam berdiri di tepi pantai, tempat yang selalu mengingatkannya pada sosok Rindu Kinandita. Angin lembut menyapu wajahnya, membawa aroma laut yang menenangkan. Di hadapannya, lautan yang luas berkilau diterpa sinar matahari yang hampir tenggelam, seolah berbisik bahwa waktu terus berjalan, dan kehidupan harus dilanjutkan. Ia menarik napas panjang, merasakan kedamaian yang perlahan memenuhi hatinya. Dalam benaknya, suara lembut Rindu kembali terdengar, seperti gema yang datang dari masa lalu. Kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan saat mereka berdiskusi tentang hidup, kini terasa begitu mewakilkan.
"Gam, jika lukamu sedalam lautan, maka ikhlasmu harus seluas langit."
Kalimat itu menghantam hati Agam dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Ia
memejamkan mata, membiarkan air mata terakhirnya jatuh. Bukan sebagai tanda kesedihan, tetapi sebagai tanda pembebasan. Lautan di depannya seperti simbol dari luka yang pernah ia rasakan begitu dalam, begitu luas. Namun kini, ia sadar bahwa ikhlas yang ia bangun selama ini tak kalah besar. Langit senja
yang terbentang di atasnya menjadi saksi, bahwa ia telah belajar menerima dan mengikhlaskan. Agam membuka matanya, menatap di mana langit dan laut bertemu. Ia tahu, meskipun Rindu telah pergi, kenangan mereka tetap hidup di dalam dirinya. Bukan untuk membuatnya terjebak di masa lalu, tetapi untuk mengingatkan bahwa cinta yang tulus tidak pernah
benar-benar hilang. "Rindu, aku sudah memahami apa yang kamu maksudkan," bisiknya, seolah berbicara pada angin. "Aku belajar, bahwa hidup tidak hanya tentang merelakan yang hilang, tapi juga
tentang menerima bahwa keindahan selalu ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda." Ia melangkah perlahan meninggalkan pantai, membawa hati yang lebih ringan. Dalam dirinya, ada keyakinan baru bahwa hidup harus terus berjalan, dan bahwa setiap kehilangan
adalah bagian dari perjalanan yang akan membawanya menuju kedewasaan. Kini, Agam tidak lagi memandang kenangan sebagai rasa sakit, tetapi sebagai pengingat. Bahwa meskipun luka pernah begitu dalam, ia memiliki kekuatan untuk ikhlas seluas langit. Luka yang pernah ia rasakan mungkin tidak akan hilang sepenuhnya, tetapi ia tahu bahwa itu bukan lagi hal yang menyakitinya. Ia akan terus melangkah, membawa Rindu dalam setiap
langkahnya, bukan sebagai kesedihan, tetapi sebagai inspirasi. Dan di bawah langit yang semakin gelap, Agam tersenyum kecil. Langit itu, seperti hatinya, kini luas dan tenang, siap menerima apa pun yang akan datang di masa depan.
—TAMAT—