Aku bukan orang yang mudah membuka diri. Sejak kecil, aku lebih suka mengamati daripada bicara. Duduk di sudut kelas, mendengarkan suara-suara lain yang lebih lantang, membiarkan diriku larut dalam diam. Bukan karena aku takut, hanya merasa tak perlu memaksakan suara ke dalam ruang yang sudah penuh.
Hari itu, langit mendung. Jam pelajaran Matematika hampir dimulai ketika pintu kelas terbuka. Wali kelas masuk bersama seorang perempuan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Langkahnya pelan, tapi pasti. Rambutnya diikat tinggi, dan ia memegang map biru di tangan kanan.
“Anak-anak, ini teman baru kalian. Silakan perkenalkan diri.”
Perempuan itu berdiri di depan kelas. Pandangannya menyapu kami sekilas sebelum ia berkata pelan.
“Halo, aku Kirana. Pindahan dari luar kota. Senang bisa jadi bagian dari kelas ini.”
Suara-suara pelan terdengar. Beberapa anak berbisik, ada yang tersenyum kecil, ada pula yang mengangkat alis tanpa ekspresi. Aku tetap duduk diam di bangkuku, dua baris dari belakang jendela.
“Silakan duduk di kursi kosong paling belakang itu,” kata wali kelas menunjuk tempat di sampingku.
Kirana berjalan, tidak terburu-buru. Saat ia duduk, matanya sempat menatapku sebentar, lalu berpaling. Aku hanya kembali menatap ke luar jendela. Angin lembut menggerakkan dedaunan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa selalu membuatku tenang.
Pelajaran dimulai, tapi pikiranku tidak sepenuhnya di papan tulis. Sesekali, tanpa sengaja, aku mencuri pandang ke arah gadis yang duduk di sebelahku. Ia mencatat dengan tulisan rapi, alisnya sedikit berkerut saat menyalin soal. Ia tampak biasa saja. Tapi ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tak tahu apa.
Saat istirahat, aku tetap duduk di tempat. Seperti biasa. Aku tidak suka keramaian kantin atau suara teriakan anak-anak yang bermain di lorong. Biasanya aku membuka buku dan membaca ulang catatan. Tapi kali ini, Kirana membuka bekalnya. Roti isi dan sebotol teh.
“Kamu gak turun ke kantin?”
Suara itu membuatku menoleh. Ia menatapku dengan wajah datar, tak menghakimi.
“Enggak,” jawabku singkat.
Ia mengangguk, lalu menggigit rotinya.
“Kalau aku sih gak kuat antre di kantin. Udah gitu suka kehabisan.”
Aku tak menjawab. Tapi saat ia menyodorkan separuh rotinya, aku menatapnya heran.
“Coba aja. Enak, kok. Ibuku yang buat.”
Aku ragu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya. Ia tersenyum kecil.
“Namamu siapa?”
Aku menoleh. “Reno.”
Ia mengangguk. “Aku Kirana.”
Aku tahu, tentu saja. Tapi aku menghargai usahanya untuk tetap memperkenalkan diri. Seolah ingin memastikan semuanya dimulai dengan benar.
Hari-hari berlalu. Kirana tak banyak bicara, tapi cukup ramah untuk membuat orang merasa nyaman. Ia mulai terbiasa duduk di sebelahku. Kadang bertanya soal tugas, kadang hanya menyapa pelan. Ia tidak cerewet, tidak juga terlalu diam. Ia ada di tengah-tengah, dan itu cukup.
Suatu sore, sepulang sekolah, ia menghampiriku yang sedang duduk di taman belakang sekolah.
“Boleh aku duduk?”
Aku mengangguk.
Ia membuka buku catatannya. “Aku gak paham bagian ini. Bisa jelasin?”
Aku menggeser sedikit tubuhku, lalu menunjuk bagian soal yang ia maksud. Ia mendengarkan, sesekali mengangguk. Saat selesai, ia menutup bukunya.
“Kamu sabar banget ya kalau ngajarin.”
Aku tak menjawab. Hanya menatap lurus ke depan.
“Aku suka orang kayak kamu,” katanya tiba-tiba. “Tenang, tapi jelas.”
Aku menoleh. Matanya jernih, tak ada maksud tersembunyi di dalamnya. Aku menunduk, merasa pipiku hangat.
Hari-hari kami menjadi lebih sering diisi kebersamaan. Belajar bersama, diam bersama, bahkan tertawa bersama meski tidak sering. Ia pernah bercerita soal adik perempuannya yang suka menempel terus setiap malam. Atau soal ayahnya yang suka menyanyi sumbang saat menyetir. Aku hanya mendengarkan, dan ia tidak pernah menuntut balasan cerita.
Suatu hari, Kirana tidak masuk sekolah. Lalu besoknya juga tidak. Tiga hari, empat hari, dan aku mulai merasa ada yang hilang. Tidak ada senyum kecil di bangku sebelah. Tidak ada gumaman lucu saat guru mengajar.
Aku mencoba mengabaikannya. Tapi saat minggu kedua, aku memberanikan diri mengirim pesan. Nomornya kudapat dari grup kelas.
Kenapa gak masuk? Gak papa, kan?
Pesan itu kubaca ulang beberapa kali sebelum akhirnya kukirim.
Balasannya datang malam harinya.
Papa sakit. Aku di rumah sakit terus.
Aku menatap layar ponsel cukup lama. Lalu menulis.
Kalau ada yang bisa dibantu, bilang ya.
Ia tak membalas lagi malam itu. Tapi keesokan paginya, ia hadir di kelas. Wajahnya lelah, kantung matanya gelap. Tapi ia tetap duduk di sebelahku, seperti biasa.
“Papa belum sadar,” katanya lirih.
Aku hanya mengangguk. Ia menunduk, menahan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Hari-hari itu, Kirana tidak sama. Ia tetap datang, tapi kadang hanya setengah hari. Kadang hanya untuk mengambil tugas. Tapi aku tetap menemaninya, sejauh aku bisa. Kami tidak banyak bicara, tapi kehadirannya cukup untuk saling tahu bahwa masing-masing sedang bertahan.
Suatu siang, ia menyerahkan kertas ulangan kosong.
“Gak sempat belajar,” gumamnya.
Aku menoleh. Ia tersenyum kecut.
“Mama bilang Papa kritis. Aku... gak tahu harus gimana.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi kali ini aku menepuk pelan pundaknya. Ia menoleh, matanya mulai basah. Tapi ia tidak menangis.
Minggu berikutnya, Kirana tidak masuk lagi. Lalu wali kelas masuk ke kelas dan mengumumkan bahwa Kirana pindah sekolah. Tak ada penjelasan panjang. Hanya kalimat singkat yang membuat ruang terasa hampa.
Sepulang sekolah, aku membuka laci mejaku. Ada selembar surat di sana, dilipat rapi.
Reno,
Maaf aku pergi tanpa pamit. Papa sudah pergi. Mama memutuskan kami pindah ke rumah nenek karena lebih dekat ke rumah sakit dan ada yang bantu jagain adik-adik.
Aku gak sempat bilang langsung ke kamu, padahal kamu orang yang paling aku pengin temui sebelum pergi. Tapi semuanya terjadi terlalu cepat. Terlalu mendadak.
Kamu tahu? Duduk di sebelah kamu setiap hari jadi hal paling stabil di hidupku waktu itu. Kamu gak banyak bicara, tapi selalu ada. Dan itu cukup. Lebih dari cukup.
Terima kasih sudah jadi temanku. Terima kasih sudah jadi tempat tenangku.
Jangan berubah, ya. Dunia ini butuh lebih banyak orang kayak kamu.
— Kirana
Aku membaca surat itu berkali-kali. Hujan turun malam itu. Aku hanya bisa memeluk suratnya dan membiarkan air mataku jatuh tanpa suara.
Sejak saat itu, aku mulai menulis. Bukan soal angka atau rumus, tapi tentang hari-hari yang kami lewati bersama. Tentang suara tawa yang mengisi ruang kosong. Tentang kehilangan yang diam-diam mengajarkan bagaimana caranya bertahan.
Kini, aku duduk di taman belakang sekolah, tempat pertama kali ia memintaku menjelaskan soal. Aku menulis di buku kecil yang mulai usang. Di halaman terakhir, aku menulis:
Kirana datang tanpa rencana. Pergi tanpa pamit yang cukup. Tapi kehadirannya meninggalkan jejak, lebih dalam dari apa pun yang pernah kutulis. Mungkin kami tidak akan bertemu lagi. Tapi jika suatu hari kamu membaca ini, Kirana, ketahuilah: aku masih Reno. Tapi kini, tidak sepenuhnya sendiri.
Tamat.