Fajar datang ke basecamp pecinta alam dengan surat keterangan pendaftaran wisuda di tangan. Wajahnya ceria, lega, penuh semangat.
“Gimana, Bruh?” tanya Hasan antusias. “Jadi ikut wisuda?”
Fajar melambaikan kertas di tangannya dengan bangga, “Jadi dong! Nih bukti pendaftarannya. By the way, mumpung aku belum balik ke kampung and sibuk sama dunia kerja, arung jeram dulu yuk! Anggap sebagai acara perpisahan kelulusanku. Jangan khawatir soal biayanya, aku yang traktir!”
“Trus mau ngarung dimana?”
“Jagaraga aja gimana? Grade sungainya pas buat olahraga, lokasinya juga nggak terlalu jauh dari sini!” jawab Fajar antusias.
Beberapa kepala menoleh dari kesibukan masing-masing. Riko yang sedang memelototi layar laptopnya mengeluh, “Gua masih ada dua ujian lagi, Bro! Maaf nggak bisa gabung.”
“Gua juga nggak bisa ikut nganter, Bang! Sorry banget, ninggalin tiga mata ujian bisa nggak dapat sangu satu semester ntar,” sahut Rahma tanpa angkat kepala dari buku bacaannya.
Okas yang dari tadi duduk santai di sudut basecamp menyambut antusias. “Sungai Jagaraga? Gua gas, lah! Udah lama enggak turun. Kangen main air.”
“Aku ikut dong, kebetulan ujian terakhir hari ini,” sahut Roro, yang langsung bangkit dari duduknya, bergabung dengan Fajar, Okas dan Hasan. “Kapan?”
“Besok pagi gimana? Dua tim kalau bisa biar ramean,” jawab Fajar.
“Jadi malam ini kita berangkat?” tanya Roro.
“Yes!” Fajar melanjutkan, “Ntar, siapa yang mau ikut suruh ngumpul di sini abis magrib. Tolong bantu siapin logistik, alat, sama perahunya ya, San! Nih duitnya.”
Hasan meringis menerima sejumlah uang yang cukup banyak dari Fajar, “Mantep lah kalau gini!”
Dalam hitungan menit, suasana basecamp berubah sibuk. Hasan dan Roro langsung mengecek lemari perlengkapan, dan mulai membuat persiapan. Sementara Okas menghubungi teman-teman lain mungkin mau ikut bergabung.
Menjelang magrib, satu pick-up pinjaman milik kampus dan satu SUV hitam milik Fajar sudah terparkir di depan basecamp. Perahu karet, dayung, helm, pelampung dan perlengkapan lain dinaikkan ke atas pick-up.
Sebelum berangkat, dua tim yang terdiri dari sepuluh orang berdoa bersama, dipimpin oleh Okas.
Fajar menatap teman-temannya setelah berdoa. “Ini arung jeram terakhirku sebagai mahasiswa, karena setelah ini statusku bukan lagi MAPALA, melainkan alumni. Jadi, ayo kita bikin acaranya semenarik mungkin, biar pantas untuk dikenang setelah aku pulang!”
Beberapa anak ikut berangkat dengan mobil pick-up, yang lain satu mobil dengan Fajar. Tepat selepas magrib, dua mobil meninggalkan gerbang kampus. Menuju utara, ke tempat di mana Sungai Jagaraga mengalir deras dan menantang para petualang dengan kisah baru yang tak terlukiskan.
Esok paginya, kawasan Sungai Jagaraga berselimut kabut tipis. Udara masih lembab dan sejuk oleh embun yang masih tertinggal, aroma tanah basah pun mendominasi area camping.
Suara anak-anak yang tergabung dalam organisasi pecinta alam, yang sudah selesai sarapan dan senam ringan untuk pemanasan sebelum mengarungi sungai terdengar riang dan ceria. Pembagian tim pun telah dilakukan.
“Berarti aku ikut perahu belakang ya? Kali ini aku mau jadi turis ajalah,” kata Fajar, tertawa-tawa sambil membagi dayung.
“Kirain mau jadi skipper,” ujar Okas cengengesan. “Trus ngerjain kita flip flop dadakan (membolak balik perahu)!”
“Kalau itu pasti, tapi nanti di jalur mainstream, sekalian rodeo biar seru!”
Medan menuju sungai adalah jalur sempit yang cukup menurun, dipenuhi akar-akar pohon, dan agak licin karena lumut. Menuntut keseimbangan tinggi saat melewatinya, apalagi kalau harus sambil menggotong perahu.
Tim satu yang dipimpin Hasan sukses sampai tepian sungai lebih dulu. Namun, saat tim dua menyusul ke bibir sungai, tragedi datang tanpa aba-aba.
Perahu tim dua, yang licin setelah terkena embun pagi, terlepas dari pegangan karena terlalu berat untuk ditahan. Perahu itu meluncur langsung ke sungai tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Agung, yang bertugas menggotong perahu paling depan, justru terpeleset saat mencoba mengejar perahu mereka. Tubuhnya terlempar ke dalam sungai menyusul perahu.
Teriakan panik terdengar bersahut-sahutan, baik dari mulut Agung maupun dari tim satu dan dua yang ada di bibir sungai. Memecah suasana pagi yang seharusnya sunyi.
“Tolong Agung! Dia nggak pakai pelampung! Cepat, cepat!” teriak Okas dan Hasan nyaris bersamaan.
Arus deras membawa tubuh Agung makin menjauh ke tengah sungai, dan mulai terombang-ambing tak kendali karena Agung tidak begitu pandai berenang.
Melihat hal itu, Fajar–tanpa pikir panjang, meraih throwing bag dari perahu pertama dan segera saja melemparnya ke arah Agung. “Tangkap, Gung!”
Tali meluncur cepat, tapi hanya beberapa meter sebelum tiba-tiba tersendat. Gulungannya macet, kusut. Hingga tak sampai ke tangan Agung.
“Shiiiit!” pekik Fajar emosional. Ia memutuskan terjun masuk ke arus deras setelah menggenggam tali dengan satu tangan, dan berenang cepat mendekati Agung yang timbul tenggelam di tengah sungai.
Teriakan-teriakan lain terdengar di area tersebut. Sebagian tim mengejar perahu yang mulai terbawa arus. Sisanya berusaha keras menyelamatkan Agung.
Tidak ada yang memperhatikan Fajar setelah dia sukses memberikan tali penyelamat pada Agung. Semua sibuk membantu Agung yang baru saja menangkap ujung tali, dan menariknya menuju tepi.
Sementara Fajar … terseret pusaran arus dalam sungai tanpa sempat minta tolong. Tubuhnya menghilang di antara gulungan air, dan ditelan kedalaman sungai hanya dalam sekejap mata saja.
Agung berhasil ditarik ke arah darat oleh tim satu. Mahasiswa semester empat itu tampak menggigil, kedinginan, shock, batuk-batuk, tapi masih hidup.
“Fajar mana?” tanya Hasan panik. “Fajar mana woi? Kalian nggak ada yang lihat Fajar keluar dari sungai? Ya Tuhan!”
Di bawah komando Hasan, seluruh anggota tim bekerja cepat mencari Fajar. Sebagian menyisir ke hilir sungai sejauh dua kilo meter.
Beberapa anak yang jago berenang dan menyelam langsung masuk ke titik terakhir Fajar terlihat, yakni kedung di dekat bebatuan besar. Beberapa lainnya mencari bantuan ke rumah warga yang paling dekat dengan sungai, juga menghubungi polisi dan tim SAR.
Waktu terus berjalan. Tiga jam berlalu dengan sangat cepat. Namun, hasilnya masih belum ada. Fajar tidak ditemukan dimanapun. Bahkan setelah dibantu oleh tim SAR dan warga setempat, Fajar tetap menghilang tanpa jejak.
Kepanikan dan keributan merambat dimana-mana. Sungai ramai oleh warga sekitar, baik yang datang hanya untuk melihat, atau yang ikut bekerja sama mencari Fajar yang tidak kunjung ditemukan.
Di tengah kebuntuan, seorang pria tua berjalan pelan menuju sungai–membelah kerumunan warga. Wajahnya yang tenang dihiasi janggut putih lebat tak terurus. Namun begitu, sorot matanya jernih dan dalam.
“Biar saya yang coba panggil anaknya, siapa tahu mau menyahut,” katanya lantang. “Siapa nama lengkapnya?”
“Fajar Yudistira, Pak!” jawab Hasan sopan.
“Tolong jangan ada teriakan dan pembicaraan! Saya butuh ketenangan.”
Suasana langsung hening saat pria tua itu berjongkok di bibir sungai. Jari-jarinya menyentuh permukaan air, sementara mulutnya seperti sedang membaca doa tertentu.
Tak lama kemudian, pria tua itu berdiri, lalu tanpa aba-aba, melompat masuk ke dalam air. Menghilang dalam kedung yang sudah berkali-kali diselami oleh teman-teman Fajar dan tim SAR.
Satu menit belum berlalu, ketika permukaan sungai kembali beriak. Pria itu muncul. Tidak sendiri, tapi bersama jasad Fajar yang ditarik dengan tangan kanannya.
Hasan langsung berlari ke arah bibir sungai diikuti timnya. Mereka bahu membahu mengangkat tubuh Fajar ke darat, membaringkannya di atas matras yang digelar tak jauh dari tepian sungai.
Mata Fajar tertutup rapat. Wajahnya pucat dan dingin. Nafasnya tidak ada, air sungai bercampur darah mengalir dari mulutnya yang sedikit terbuka.
Langit yang sejak pagi menahan mendung, akhirnya pecah. Hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah lembab dan wajah-wajah sedih teman-teman Fajar dari organisasi pecinta alam.
“Selamat jalan, Bruh! Kami beneran nggak nyangka kalau kamu ingin diantar pergi ke tempat yang paling kamu cintai–alam ini,” bisik Hasan dengan air mata mengambang.
“Kenangan ini akan abadi di hati kami, tenanglah disana, Bang!” Roro mengucapkan kalimat itu dengan suara sesenggukan, di sebelah Hasan.
Agung berbicara lirih, “Kalau saja aku tidak terpeleset dan jatuh ke sungai, mungkin Bang Fajar masih hidup. Kalau saja kita langsung memakai pelampung setelah senam pagi, semua ini tak perlu terjadi. Maafin aku, Bang!”
Okas menambahkan, “Kita lupa kalau alam tidak akan pernah bisa dikendalikan, tidak akan bisa dilawan dengan tangan kecil ini. Selamat jalan ke peristirahatan terakhir, Seniorku … Fajar Yudistira! Semoga kamu tenang dalam pelukan alam.”
T A M A T
Halo genks, salam lestari and tetap SAFETY, SAFETY, SAFETY FIRST THEN GO WILD!