Olive. Gadis manis dengan senyum yang bisa bikin suasana panas jadi adem. Kulitnya bersih, matanya jernih, dan tutur katanya selalu lembut. Ia bukan cuma cantik, tapi juga punya hati yang tulus dan sabar. Teman-temannya sering bilang, “Olive itu paket lengkap.” Tapi entah kenapa, dari semua laki-laki di dunia ini, dia justru jatuh cinta sama Galang.
Galang, cowok yang wajahnya pas-pasan, dompetnya sering kempes, dan sikapnya... yah, jangan ditanya. Bukan tipe cowok yang bakal ditaksir cewek kalau bukan karena nasib atau silap pandang sesaat. Tapi Olive—karena hatinya terlalu baik—melihat Galang sebagai seseorang yang butuh disayangi.
“Aku nggak butuh cowok sempurna, aku cuma butuh yang bisa setia,” kata Olive waktu temannya, Nia, protes habis-habisan soal Galang.
“Setia?” Nia mengangkat alis. “Liv, cowok itu kalau dikasih kesempatan buat selingkuh, dia bakal ambil. Apalagi Galang. Dia tuh... ya ampun, kamu terlalu baik buat dia.”
Tapi Olive tetap bertahan.
Setiap kali Galang datang dengan wajah cemberut karena kehabisan pulsa atau kehilangan motor gara-gara nggak bayar cicilan, Olive ada di situ. Nggak pernah marah. Nggak pernah protes. Dia bantu sebisanya, bahkan kadang pakai uang tabungan pribadinya.
“Maaf ya, Liv. Aku emang beban banget ya buat kamu,” Galang pernah bilang suatu malam saat Olive mentraktirnya makan.
“Tapi aku sayang kamu,” jawab Olive sambil tersenyum.
Bodohnya cinta, ya?
Sampai suatu hari, Olive menemukan sesuatu yang mengubah semuanya.
Pagi itu, dia sedang iseng buka akun Instagram Galang yang kebetulan login di HP Olive. Galang memang ceroboh soal sandi, dan Olive nggak pernah berniat stalking. Tapi pagi itu, entah kenapa, jemarinya bergerak sendiri.
Scroll... scroll...
Lalu berhenti di satu DM. Cewek bernama Tasya, dengan bio “anak dance kampus sebelah”. Chat-nya manis, akrab, dan terlalu mesra untuk sekadar teman.
> “Sayang, nanti malam jemput aku ya, aku kangen banget.”
> “Kemarin enak banget peluk kamu, Galang. Gak nyangka pacar kamu polos banget ya.”
Mata Olive panas. Tangannya gemetar. Rasanya ingin membanting ponsel, tapi yang keluar cuma air mata.
Galang datang siang harinya. Seperti biasa, dengan gaya santainya, celana sobek di lutut, rambut acak-acakan, dan wajah yang sok innocent.
“Sayang, traktir aku boba yuk, aku lagi pengen yang manis-manis nih,” katanya sambil nyolek pipi Olive.
Olive menatapnya lekat-lekat. Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya dia berkata, “Kamu tau nggak, Galang? Aku selama ini sabar bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku percaya, orang baik itu akan dihargai. Tapi kamu... kamu malah ngajarin aku, kalau kadang, orang baik itu cuma dimanfaatin.”
Galang mengernyit. “Apa sih maksud kamu? Kamu PMS ya?”
Olive tertawa kecil. “PMS? Nggak. Tapi kayaknya aku baru sadar, aku mensyukuri orang yang salah.”
Dari situ, semuanya berakhir.
Galang mungkin sempat ngejar-ngejar. Tapi Olive nggak balik. Dia memilih duduk di kafe kecil tempat biasa mereka kencan dulu, bersama Nia, menikmati es kopi sambil tertawa.
“Galang udah upload foto bareng Tasya. Caption-nya ‘ketemu rumah’. Jijik nggak sih?” Nia menunjukkan layar ponselnya.
Olive tersenyum santai. “Baguslah. Rumahnya bocor, semoga dia kebanjiran.”
Mereka berdua tertawa.
Dan hari itu, Olive belajar satu hal penting: jadi baik itu nggak salah. Tapi jangan buang kebaikanmu buat orang yang bahkan nggak tahu caranya bersyukur.
Siap! Ini lanjutan cerpen Olive yang Terlalu Baik, bagian di mana Olive bertemu cowok baru yang jauh lebih baik dan mulai menyembuhkan diri:
---
Tiga bulan setelah putus dari Galang, hidup Olive mulai terasa ringan. Tidak ada lagi drama tiba-tiba minta pulsa tengah malam, atau panggilan video yang isinya cuma wajah masam karena Galang kalah main game. Rasanya seperti baru bangun dari mimpi buruk.
Olive sibuk dengan kegiatan kampus dan magang di sebuah toko buku kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, penuh aroma kertas, dan suasana hangat. Di sanalah dia bertemu seseorang yang tak pernah ia duga.
Namanya Dion.
Cowok tinggi, berkacamata, dan selalu datang dengan jaket hoodie abu-abu yang sama setiap akhir pekan. Ia sering duduk di pojok toko, baca buku sastra atau novel klasik, dan sesekali menyesap kopi hitam. Awalnya Olive hanya menyapanya dengan sopan, tapi Dion selalu membalas dengan senyum ramah dan ucapan sederhana seperti, “Pagi, Mbak Olive. Semangat ya kerja hari ini.”
Satu hari, toko itu sepi pengunjung karena hujan deras mengguyur kota sejak pagi. Dion datang dengan payung besar dan jaket basah. Melihat Olive menggigil kecil karena AC terlalu dingin, dia menyodorkan satu cup cokelat panas yang dibelinya dari kedai sebelah.
“Kamu kelihatan dingin banget. Ini, hangatkan dulu tangannya,” katanya.
Olive sempat ragu. Tapi senyumnya tulus. Matanya teduh. Tak ada nada basa-basi atau gombal. Dia menerima cokelat panas itu dan mengangguk.
“Terima kasih... Dion, ya?”
“Wah, kamu inget namaku?”
Olive tertawa pelan. “Tiap minggu ke sini, masa aku nggak hafal?”
Sejak itu, mereka jadi lebih sering bicara. Dion ternyata seorang penulis lepas. Ia pernah tinggal di luar negeri beberapa tahun, tapi pulang karena ibunya sakit dan sekarang mengurusnya sendiri. Dia punya selera humor yang lembut, dan selalu memperlakukan Olive dengan sopan dan penuh hormat.
Suatu sore, saat toko akan tutup dan hujan mulai reda, Dion menunggu Olive sambil berdiri di depan pintu.
“Mau aku antar pulang?” tanyanya.
Olive menggeleng. “Nggak usah, Dion. Aku naik ojek online aja.”
“Tapi aku udah mesen dua cappuccino buat kita di tempat biasa. Tempat yang kamu bilang enak banget itu, yang punya roti bakar keju.”
Olive menahan senyum. “Kamu ingat ya?”
Dion mengangguk. “Aku ingat semua yang kamu bilang, Liv. Soalnya kamu bukan cuma manis di luar. Tapi juga manis di cerita-cerita kecil yang kamu bagi.”
Olive terdiam sejenak. Lalu perlahan, dia mengangguk. “Oke. Tapi kamu bayarin rotinya, ya.”
Mereka pun melangkah bersama, payung besar menaungi mereka dari gerimis yang tinggal sisa.
Di jalan, Dion berkata pelan, “Kamu tahu nggak, Liv? Kamu tuh tipe cewek yang bikin orang pengen jadi versi terbaik dari dirinya. Kalau ada cowok yang sia-siain kamu... ya, dia pasti buta.”
Olive hanya tersenyum. Dalam hati, dia tahu, semesta sedang menunjukkan: cinta yang tulus memang datang, setelah kita berani melepas yang salah.
---Selesai---