Setiap pagi, Satya dan Alya punya ritual yang sama. Satya selalu datang tepat waktu di depan rumah Alya. Tak pernah ada hari tanpa tawa dan obrolan ringan di sepanjang perjalanan ke sekolah. Mereka membicarakan segala hal, dari tugas-tugas sekolah hingga film yang baru saja mereka tonton.
Saat tiba di sekolah, mereka biasa berjalan berdua ke kantin untuk sarapan bersama. Satya selalu memesankan roti bakar favorit Alya tanpa diminta, karena ia tahu Alya suka hal-hal sederhana. Setelah makan, mereka duduk di bangku sekolah sambil menunggu bel masuk, saling berbagi cerita kecil, baik tentang teman-teman mereka, atau sekadar bercanda tentang kejadian-kejadian lucu di kelas.
Setelah sekolah usai, kebersamaan mereka tak berhenti. Sering kali, mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke tempat favorit mereka—sebuah taman kecil di dekat sekolah. Di sana, mereka menghabiskan waktu hanya untuk berbicara lebih banyak, mungkin sesekali mampir ke kedai bakso yang selalu mereka singgahi.
Bagi Satya, setiap momen bersama Alya adalah kesempatan emas. Meski perasaannya tersimpan rapi di dalam hati, ia bahagia bisa berada di samping sahabatnya, menikmati setiap hari tanpa harus mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Momen-momen sederhana itu menjadi kenangan manis yang akan selalu ia simpan, meski ia sadar bahwa mungkin kebahagiaan itu hanya miliknya seorang.
"Kadang, jadi teman baik aja nggak cukup. Tapi kalau bukan teman, aku mau jadi apa lagi buat kamu?"
"Aku tahu kamu nggak bisa lihat aku dengan cara yang sama, tapi kenapa rasanya masih susah buat pergi?"
"Lucu ya, aku selalu ada untuk kamu, tapi ternyata aku nggak pernah benar-benar jadi pilihan."
"Mungkin salahku, berharap lebih pada orang yang cuma anggap aku teman. Tapi, gimana caranya berhenti kalau hati nggak bisa diajak kompromi?"
"Senyummu masih jadi alasan aku bertahan, meskipun aku tahu, suatu hari nanti aku cuma akan jadi bagian dari kenanganmu."
Seiring berjalannya waktu, percakapan antara Satya dan Alya mulai berubah. Jika dulu mereka berbicara tentang hal-hal ringan dan tertawa bersama, kini Alya semakin sering bercerita tentang seseorang yang ia sukai—Morgan, ketua OSIS yang berhasil mencuri perhatian Alya. Setiap hari, Alya berbagi cerita tentang Morgan: bagaimana Morgan tersenyum padanya di koridor, bagaimana percakapan mereka semakin akrab, dan bagaimana Alya merasa hatinya berdebar setiap kali Morgan mendekat.
Satya hanya bisa tersenyum tipis setiap kali mendengarnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia hanya menjadi tempat bersandar bagi Alya. Setiap kata yang keluar dari mulut Alya tentang Morgan, bagai pisau yang perlahan menusuk hatinya. Meski rasa cinta pada Alya begitu kuat, Satya tahu bahwa perasaannya tak pernah menjadi bagian dari cerita yang Alya jalani. Mereka duduk di bangku taman, tempat favorit mereka. Sore itu, seperti biasanya, Alya mengalihkan pembicaraan kepada Morgan.
"Aku nggak ngerti deh, kenapa setiap kali kak Morgan senyum, aku jadi deg-degan," kata Alya sambil menatap langit. "Dia bener-bener bikin aku ngerasa beda, Sat."
Satya mendengarkan dengan tenang, menyembunyikan kekecewaannya di balik senyum yang dipaksakan.
Meski begitu, Satya tetap mendengarkan, tetap tersenyum, dan tetap ada untuk Alya. Karena meski menyakitkan, melihat Alya bahagia—meskipun bukan dengannya—adalah hal yang selalu ia inginkan.
Semakin hari, hubungan antara Alya dan Morgan semakin dekat. Alya sering bercerita dengan antusias kepada Satya tentang pesan-pesan yang ia terima dari Morgan. Hari itu, Alya berlari menghampiri Satya dengan senyum yang begitu lebar, matanya berbinar-binar.
"Satya! Kak Morgan ngajakin aku jalan!" kata Alya, suaranya penuh kegembiraan. "Kita bakal pergi makan malam bareng minggu depan. Dia bilang pengen ngobrol lebih banyak sama aku!"
Satya hanya bisa tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan pahit yang sulit dijelaskan. "Wah, senang banget denger kabar itu. Akhirnya ya, kamu bisa jalan sama dia."
Alya tidak menyadari kegelisahan yang tersembunyi di balik kata-kata Satya. Bagi Alya, Satya adalah tempat terbaik untuk berbagi semua kebahagiaan ini. Ia terus bercerita tentang rencana mereka—apa yang akan ia pakai, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, bahkan makanan favorit Morgan.
Sementara Alya larut dalam euforia, Satya hanya bisa mendengarkan, menyimak setiap detil kecil dari kebahagiaan Alya. Di dalam hati, ia merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu, Alya benar-benar bahagia bersama Morgan, dan itu adalah hal yang seharusnya membuatnya senang. Tapi semakin Alya dekat dengan Morgan, semakin jauh ia merasa dari Alya.
Malam itu, ketika mereka duduk di bangku taman seperti biasanya, Alya terus mengoceh tentang Morgan. Satya mendengarkan dengan tenang, senyum tipis masih terpajang di wajahnya. Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alya tentang Morgan seperti mempertegas bahwa tempatnya hanyalah sebagai pendengar. Hanya teman. Tidak lebih.
Di dalam hati, Satya tahu bahwa saat Alya bersama Morgan, tempatnya di sisi Alya semakin pudar. Namun, meski hatinya penuh rasa kecewa, ia memilih untuk tetap ada, tetap mendukung Alya, dan tetap menjadi tempat Alya bersandar. Karena bagi Satya, kebahagiaan Alya adalah yang paling utama, meskipun itu berarti menyaksikan Alya pergi dengan orang lain.
Setelah mendengar semua cerita Alya tentang Morgan, Satya kembali ke rumah dengan perasaan yang penuh beban.
"Ternyata jadi pendengar itu melelahkan ketika yang kamu dengar adalah cerita tentang orang lain yang mengisi hatinya, bukan kamu."
"Kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Tapi di balik semua itu, aku hanya ingin bilang, aku juga ingin diperjuangkan."
"Rasanya berat, ketika orang yang kamu inginkan bahagia bersama orang lain. Aku cuma bisa diam dan lihat semuanya dari jauh."
"Lucu, aku tahu dia nggak pernah lihat aku dengan cara yang sama. Tapi kenapa masih berharap?"
"Hari ini aku sadar, kadang tempatku memang hanya sebagai penonton. Nggak apa-apa, yang penting kamu bahagia, meski bukan sama aku."
Satya sedang membuka ponselnya ketika sebuah notifikasi muncul dari akun sosial media Alya. Rasa penasaran membuatnya mengklik unggahan tersebut, dan di situlah ia melihat Alya dan Morgan bersama. Mereka terlihat di sebuah kafe, duduk berdekatan. Alya tersenyum begitu lebar, senyum yang berbeda dari biasanya. Ada kebahagiaan yang memancar dari wajahnya—bahagia yang tak pernah Satya lihat ketika mereka bersama.
Senyum Alya begitu cerah, dan Satya hanya bisa terpaku menatap layar ponselnya. Hatinya terasa berat, karena ia sadar bahwa Alya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah bisa ia berikan. Melihat Alya bersama Morgan, tawa mereka yang begitu tulus, membuat Satya semakin yakin bahwa ia hanyalah seseorang di pinggiran kehidupan Alya.
Sambil menatap foto itu, Satya merasakan hatinya tenggelam dalam kesedihan yang tak ia ucapkan. Ia ingin bahagia untuk Alya, tetapi semakin ia melihat mereka berdua, semakin sulit rasanya. Perasaan kecewa itu datang tanpa bisa ditahan, dan dalam diam, ia sadar bahwa Alya sudah benar-benar menemukan kebahagiaannya—bukan dengan dia, melainkan dengan orang lain.
Di saat yang sama, Satya menutup aplikasi sosial media itu, meletakkan ponselnya, dan menatap ke luar jendela. Segala kebersamaan mereka yang dulu terasa hangat, kini hanya tinggal kenangan. Alya telah menemukan dunianya, dan Satya tak lagi menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
Hari demi hari berlalu, dan meski hati Satya ingin sekali mengungkapkan kebenaran—bahwa ia tahu Morgan bukanlah orang yang tepat untuk Alya—ia menahan diri. Ia melihat kebahagiaan di wajah Alya, dan itu sudah cukup untuk membungkam semua kegelisahannya. Bagaimana mungkin ia bisa merusak kebahagiaan yang begitu jelas terpancar dari Alya, meski kebahagiaan itu datang dari orang lain?
Satu sore, saat mereka berdua sedang duduk di bangku taman sekolah, Satya akhirnya tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang menggerogotinya. Ia menatap Alya, yang sibuk bercerita tentang hal-hal sepele, sebelum akhirnya bertanya dengan suara hati-hati, "Alya, kalian udah resmi pacaran, ya? Kamu sama Morgan?"
Alya terdiam sejenak, mengalihkan pandangannya ke tanah. "Hmm, kita belum pacaran, Sat," jawabnya pelan. "Kita saling suka, tapi... hubungannya masih ngambang. Gue nggak tau ini mau dibawa ke mana."
Jawaban itu membuat dada Satya terasa semakin sesak. Di satu sisi, ia merasa lega bahwa Alya dan Morgan belum benar-benar bersama. Tapi di sisi lain, ada perasaan sedih karena hubungan itu jelas lebih dari sekadar teman. Alya menyukai Morgan, dan Morgan tampaknya hanya menggantungkan perasaan Alya tanpa memberikan kepastian.
Satya menggigit bibirnya, menahan keinginan untuk berbicara lebih jauh. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Alya pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberikan kepastian, seseorang yang tidak hanya menggantungkan harapan. Namun, kata-kata itu tetap tertahan di tenggorokannya. Karena di balik segalanya, yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan Alya—meskipun ia tahu bahwa kebahagiaan itu mungkin tidak akan datang darinya.
Dan sekali lagi, Satya hanya bisa mendengarkan, menyembunyikan perasaan yang semakin terpuruk di balik senyum yang ia paksa. Setelah percakapan sore itu, Satya merasa semakin tenggelam dalam perasaan yang ia simpan sendiri.
"Dibilang nggak pacaran, tapi saling suka. Dibilang suka, tapi hubungan cuma digantung. Lalu aku di mana?"
"Sulit, saat orang yang kamu perjuangkan lebih memilih seseorang yang hanya menggantungnya."
"Aku cuma bisa diam, padahal aku tahu dia pantas untuk sesuatu yang lebih dari sekadar 'nggak jelas'."
"Kadang gue mikir, ngapain masih berharap, kalau ternyata jadi tempat bersandar aja udah cukup buat dia."
"Ngeliat lo bahagia sama orang lain, gue ikut bahagia. Tapi kenapa rasanya sakit banget, ya?"
Satya menyimpan semua rasa frustrasi dan kesedihannya di sana, di ruang kecil yang hanya ia sendiri yang tahu. Karena ia tahu, di dunia nyata, perasaannya tak pernah sampai, dan mungkin tak akan pernah sampai ke hati Alya.
Setiap sore di rumah Erik seperti biasa Satya bersama dua sahabatnya, Jeri dan Erik. Kedua sahabatnya itu tau kalau Satya yang paling bawel berbeda kali ini, Satya hanya melamun dan merenung. Erik yang sadar dengan sahabatnyua yang tampak sedih, mulai bertanya,”Sat, Lo kenapa diem trus?” tanya Jeri penasaran. Satya akhirnya menghela napas, menundukkan kepala, dan berkata, "Gue suka sama Alya."
Jeri dan Erik saling bertukar pandang, lalu tertawa. “Itu udah ke berapa kalinya lo bilang kayak gitu?” canda Jeri sambil menepuk pundak Satya.
Satya tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. “Gue serius, bro. Udah lama gue suka sama dia, tapi gue nggak bisa ngomong langsung. Apalagi sekarang, Alya lagi deket sama Morgan... tapi mereka belum pacaran kok, cuma... ya hubungan mereka belum jelas.”
Erik menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menggelengkan kepala. “Sat, lo tuh cowok, bukan penonton. Lo harus nyatakan perasaan lo sebelum semuanya terlambat. Morgan bisa aja tiba-tiba mutusin buat nembak Alya kapan aja.”
Satya terdiam, merasa semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tahu mereka benar, tapi mengatakan perasaannya pada Alya sepertinya adalah hal yang paling sulit yang harus ia lakukan. Selama ini, ia hanya menjadi pendengar setia cerita Alya tentang Morgan, tentang perasaannya, dan sekarang, ia takut jika mengungkapkan perasaannya akan menghancurkan hubungan mereka yang sudah ada.
"Entah kenapa, gue nggak sanggup bilang," kata Satya akhirnya, suaranya terdengar lesu. "Gue takut banget kalau setelah gue bilang, malah semuanya berubah. Gue lebih baik ngelihat dia bahagia, meskipun bukan sama gue, daripada harus kehilangan dia sepenuhnya."
Jeri menghela napas panjang. "Tapi, Sat... lo juga nggak bisa terus kayak gini. Lo tersiksa sendiri. Lo nggak akan tahu gimana reaksinya kalau lo nggak pernah ngomong."
Erik menambahkan, "Apa pun yang terjadi, lo harus siap. Karena kalau lo nggak pernah ngomong, lo bakal nyesel selamanya."
Satya mendengarkan, tahu bahwa kata-kata sahabatnya benar. Tapi tetap saja, keraguan dan rasa takut menguasainya. Seolah-olah perasaannya hanyalah sebuah rahasia yang lebih aman jika disimpan di dalam hati—meski itu berarti ia harus menanggung luka sendirian.
Ia hanya bisa menghela napas panjang, menunduk, dan bergumam, "Gue harus berani, ya? Tapi... gue nggak tahu kapan waktu yang tepat buat bilang."
Jeri dan Erik menepuk pundaknya, memberi dukungan, meski mereka tahu Satya masih belum yakin akan langkah selanjutnya.
"Suka sama orang, tapi nggak berani bilang, rasanya kayak berlari di tempat—nggak ke mana-mana, cuma capek sendiri."
"Lucu ya, gue tahu dia bahagia sama orang lain, tapi tetap aja, gue nggak bisa berhenti berharap."
"Mungkin gue pengecut, tapi lebih baik jadi pengecut yang diam daripada ngehancurin apa yang kita punya sekarang."
"Gue bisa dengerin dia cerita tentang orang lain setiap hari, tapi gue nggak pernah bisa cerita kalau hati gue udah lama jatuh ke dia."
"Kata orang, kesempatan nggak datang dua kali. Tapi gimana kalau kesempatan itu bikin lo takut kehilangan segalanya?"
Satya berjalan di belakang Alya, langkah kakinya terasa berat seiring hujan yang mulai turun dengan rintik pelan, seolah menggambarkan kegelisahan di dalam hatinya. Alya di depannya tampak tak peduli, melangkah cepat seperti hari-hari biasanya. Namun, bagi Satya, setiap langkah itu seakan menjauhkan mereka dari kebersamaan yang pernah ia rasakan.
"Satya... Satya..." suara Alya terdengar samar di sela hujan. Ia berhenti di taman sekolah yang biasa mereka lewati, lalu menoleh ke belakang. Wajahnya tampak sedikit bingung, melihat Satya yang berjalan pelan dengan ekspresi yang tak biasa.
“Alya,” Satya akhirnya bersuara, suaranya lembut namun terbungkus oleh ketegangan yang tertahan terlalu lama. "Gue sayang sama lo."
Kata-kata itu jatuh bersama tetes hujan yang mulai deras. Alya terdiam, matanya membulat kaget, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Satya menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Perasaan gue lebih dari sekedar temen."
Wajah Alya menegang, ia tak segera menjawab. Satya bisa melihat keraguan dan kebingungan yang bergelayut di wajahnya. Rintik hujan semakin deras, seolah memeluk keheningan yang mendadak menggantung di antara mereka.
“Dan Morgan bukan orang yang baik buat lo,” lanjut Satya, suaranya kini sedikit lebih keras, berusaha menegaskan perasaan yang selama ini ia pendam.
Alya akhirnya menghela napas, suara yang keluar dari bibirnya terdengar lembut, namun begitu tajam di telinga Satya. “Satya... gue menghargai perasaan lo, tapi gue nggak bisa membalas itu. Hubungan kita udah cukup baik sebagai teman. Gue juga sayang sama lo, tapi cuma sebatas teman."
Setiap kata yang keluar dari mulut Alya seperti pisau yang perlahan-lahan menusuk dada Satya. Hujan yang semakin deras terasa dingin dan kejam, seolah mempertegas betapa sunyinya momen ini bagi Satya. Ia berusaha menahan diri, tapi rasanya perasaan yang sudah ia simpan terlalu lama ini menuntut untuk keluar.
“Lo nggak bisa terus-terusan kaya gini, Alya. Morgan nggak baik buat lo. Hubungan kalian bahkan nggak ada statusnya,” kata Satya, nadanya meninggi, kesal bercampur putus asa.
Alya menatap Satya dalam keheningan sejenak sebelum akhirnya berbalik. “Lo nggak berhak untuk ikut campur dalam urusan gue sama Morgan,” katanya dengan tegas, meninggalkan Satya yang masih berdiri di bawah hujan.
Satya, yang hatinya kini seolah tercabik-cabik, berteriak, “Hubungan apa, Alya!? Bahkan hubungan kalian tanpa status!” Suaranya bergema di tengah derasnya hujan, memantul di antara pepohonan taman yang hening.
Alya menghentikan langkahnya, berbalik dengan tatapan tajam yang menusuk. “Bahkan kita juga cuma sebatas teman, Satya.”
Kata-kata itu menghantam Satya lebih keras dari hujan yang mengguyurnya. Bukan hanya kata-kata, tapi juga kenyataan pahit bahwa dirinya, yang selama ini menjadi tempat Alya bersandar, tak pernah bisa lebih dari sekadar teman. Dan sekarang, di bawah langit yang menangis bersama dirinya, Satya hanya bisa merasakan kesunyian di dalam hati yang semakin tenggelam dalam hujan deras yang tak kunjung reda.
Satya menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, jempolnya menggantung di atas layar, seolah menunggu kata-kata yang tepat untuk memperbaiki segalanya—meskipun jauh di lubuk hati, ia tahu tak ada yang bisa diperbaiki. Notifikasi Alya yang biasanya membawanya pada percakapan hangat kini terasa dingin dan jauh.
"Mungkin gue nggak seharusnya ngomong," pikirnya. "Mungkin lebih baik gue simpan perasaan ini selamanya."
Sekarang, setelah semua terucap, dia merasa hampa. Pernyataan cinta yang ia kira akan merubah segalanya malah memutarbalikkan dunia mereka. Dulu, sebelum kata-kata itu keluar, Alya masih di sisinya. Mereka masih tertawa, berbagi cerita, dan meskipun hanya sebatas teman, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa dekat. Tapi sekarang... sekarang semuanya terasa jauh dan tak bisa diraih lagi.
"Mungkin lebih baik menyesal karena nggak pernah bilang," batinnya getir. "Setidaknya, gue nggak akan kehilangan Alya. Karena sekarang, meskipun perasaannya tetap sama, dia jadi orang yang gue nggak bisa miliki. Bukan cuma karena Morgan... tapi karena perasaan gue sendiri yang udah bikin jarak ini makin lebar."
Satya menghela napas panjang, seakan rindu akan momen-momen kecil yang dulu dianggap biasa. Ia tahu, tak ada yang bisa mengembalikan keadaan. Sekarang, ia harus terbiasa menjadi seseorang yang dulu selalu ada, namun kini terpaksa mundur, menerima bahwa Alya tak akan pernah menjadi miliknya, baik sebagai teman, apalagi sebagai cinta.
"Ada rasa yang gue jaga, tapi akhirnya harus gue biarkan pergi. Mungkin emang gue cuma jadi tempat singgah sementara, sementara lo milih dia yang nggak pernah pasti."
"Kadang yang paling nyakitin bukan perasaan yang ditolak, tapi liat orang yang kita sayang ngejar seseorang yang nggak pernah bener-bener peduli."
"Jadi temen, tapi rasa lebih. Gue berjuang sendirian di cerita yang gue tau akhirnya nggak bakal bahagia."
"Mungkin gue harus berhenti berharap, karena bahkan hujan pun lebih paham kapan harus berhenti."
"Ada rasa yang gue jaga, tapi akhirnya harus gue biarkan pergi. Mungkin emang gue cuma jadi tempat singgah sementara, sementara lo milih dia yang nggak pernah pasti."
"Kadang yang paling nyakitin bukan perasaan yang ditolak, tapi liat orang yang kita sayang ngejar seseorang yang nggak pernah bener-bener peduli."
"Jadi temen, tapi rasa lebih. Gue berjuang sendirian di cerita yang gue tau akhirnya nggak bakal bahagia."
"Mungkin gue harus berhenti berharap, karena hujan pun lebih paham kapan harus berhenti."
"Gue selalu ada, tapi kenapa yang lo lihat cuma dia?"
"Mendengar lo cerita soal orang lain tiap hari, rasanya kayak nonton film yang ending-nya udah gue tahu... dan gue nggak ada di sana."
"Senyum lo itu yang gue pengen lihat, tapi gue sadar, gue bukan alasan di baliknya."
"Jadi pendengar setia buat cerita tentang orang lain yang lo suka, lama-lama bikin gue lupa gimana rasanya didengerin."
"Kadang, lo nggak perlu jauh-jauh nyari kebahagiaan, tapi lo lebih milih jalan yang bikin gue makin nggak kelihatan."